www.Parist.id - KUDUS - Hari Minggu (12/10) pertengahan Oktober lalu, para penulis di Kudus berkumpul di acara Panggung Sastra Keluarga Penulis Kudus (KPK). Acara diadakan di Gedung Rektorat Universitas Muria Kudus (UMK) dan dihadiri oleh penulis dari Keluarga Penulis Kudus, Lembaga Pers Mahasiswa Paradigma dari STAIN Kudus, mahasiswa dari UMK dan SMA 2 Bae, SMA 1 Gebog, dan pecinta sastra dari Kudus lainnya.
“Dalam dunia literasi. Di mana-mana acara yang demikian ini. Memang selalu demikian. Sunyi senyap,” ungkap Maria M Bhoernomo, ketua panitia dalam sambutannya. Penulis yang akrab dipanggil Pak Bur itu menambahkan, KPK biasa bekerja di kamar masing-masing, sehingga sudah biasa dengan suasana sunyi senyap. “Meski begitu karyanya bicara di banyak media,” lanjutnya.
Komunitas yang berdiri sejak 3 Februari 1991 ini mengadakan panggung sastra yang dimeriahkan dengan parade pembacaan puisi, musikalisasi puisi, sampai sarasehan sastra. Pembacaan puisi dari para senior seperti Pipiek Isfianti, Puntodewo, Thomas Budi Santoso, Maria M Bhoernomo, Jumari HS, Mukti Sutarman ESPE. Ada pula pembacaan puisi dari anak muda yang diwakili oleh Adinda dari SMA 2 Bae, Angela dan Anggara dari SMA 1 Gebog serta Busem, Mahasiswa dari STAIN Kudus.
Regenerasi
Sebelum sarasehan, penonton dimanjakan dengan musikalisasi puisi dari Sang Swara, teater dari kota Kudus. Dalam sesi itu puisi karya penulis Kudus digubah jadi lagu. Ada pula pantomim berlanjut sarasehan tentang regenerasi KPK dipandu oleh Jimat Kalimasadha.
Musikalisasi dari Sang Swara
“Setelah kita (KPK) “berkeluarga”, tujuan hidup selanjutnya adalah “regenerasi”,” kata Jimat saat membuka diskusi. Penulis cerpen dan puisi Maria M Bhoernomo, KPK agak risau bila sudah membicarakan regenerasi. Sebab sekarang ini hanya muncul satu dua-nama penulis dari Kudus.
Mukti Sutarman ESPE kemudian mencerita KPK di masa lalu. Menurut Mukti Sutarman, KPK tidak lahir kalau tidak ada Yudhi MS, salah seorang pendiri KPK. Sayang, Yudhi yang waktu itu hadir tidak mau berbicara.
“Tahun 1990 saya masuk ke Kudus. Waktu itu Sudah dengar nama beberapa penulis kudus seperti Thomas Budi Santoso, Yudi MS dan lain sebagainya. Namun masih samar-samar,” katanya. Keberadaan KPK berawal dari adanya Keluarga Penulis Semarang, yang mau mendirikan Keluarga Penulis di beberapa daerah lain. Keluarga Penulis Semarang lalu meminta Mukti mendirikan KPK. Lahir pula Keluarga Penulis Jawa Tengah, ada pula komunitas semacam di Kendal, Temanggung. Sayang, yang masih aktif saat ini tinggal KPK.
“Nafasnya KPK panjang karena ada orang yang “gila”. Pada waktu itu orang gilanya Yudi MS, yang mau berkorban tenaga, pikiran, waktu, biaya,” jelas Mukti yang menulis kumpulan puisi Bersiap Menjadi Dongeng (2013) ini.
Disayangkan, ketika tiba waktunya tongkat estafet dikasih ke generasi selanjutnya, tidak ada yang tertular dengan “kegilaan” Yudi MS. “Mumpung belum mati . Mumpung belum-belum benar-benar menjadi dongeng, saya imbau anak muda segera merembukkan kelanjutan KPK,” pinta Mukti. Ia memberi istilah pas untuk KPK saat ini, yakni Ono ketoke, Oraono ketoke ono. (Kelihatannya ada. Tak ada tetapi kelihatannya ada).
Jumari HS menambahkan, untuk menjadi seorang penulis perlu tahan banting baik soal ekonomi, dan psikologis. “Kalau tidak kuat tidak bisa menjadi sastrawan,” ujar sastrawan yang dulu mengaku tidak tahu soal sastra itu. Meskipun tidak dari lingkungan sastra, Jumari HS tiba-tiba tertarik dengan sastra. Hingga ia belajar sastra lewat KPK.
Acara panggung sastra itu menunjukkan, KPK terbukti masih ada dan peduli keberlanjutan literasi di Kudus. Tugas generasi muda untuk mempertahankan komunitas ini. Sayang masih sunyi.[]
Arif Rohman
*Penulis bergiat di Paradigma Institute, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Kudus. Mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Kudus