MENGISI : Seorang warga sedang mengisi tangki dengan air dari pegunungan muria. |
PARIST-Krisis air memang menjadi sorotan utama ketika musim kemarau datang,
khususnya di beberapa titik daerah di kota Kudus. Seperti halnya di Kalirejo,
Kutuk, Larikrejo, Kalioso, Karangrowo, Medini dan Glagahwaru yang berada di Kecamatan
Undaan.
Kekeringan yang melanda sebagaian desa di Kudus memang sudah menjadi
bahasan yang tak pernah habis tiap tahunnya. Kekeringan yang melanda seolah
menjadi langganan di Kota Kretek ini. Hal inilah yang membuat resah masyarakat,
termasuk yang berprofesi sebagai petani.
Terkait dengan masalah kekeringan di Kudus, Direktur PDAM (Perusahaan
Daerah Air Minum) Kudus Achmadi Safa (43) mengatakan, bahwa pihak dari
PDAM Kudus telah melakukan penelitian
dengan Tim Ahli dari ITB (Institut Teknologi Bandung). Hasil kajian
dari ITB menyatakan bahwa Kudus akan mengalami krisis air bersih pada tahun
2032 mendatang.
Pemicunya tak lain karena semakin berkurangnya cadangan air
akibat kerusakan hutan yang terjadi di sekitar daerah pegunungan Muria. Semakin
berkurangnya pohon di hutan pegunungan Muria berarti berkurang juga daerah
tangkapan air dan sedikit pula air yang terserap ke dalam tanah.
“Isu kekeringan ini muncul pada tahun 2012, yang mana kita
di dampingi Tim Ahli dari ITB meneliti tentang potensi air baku. Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa, tahun 2032 deposit air bawah tanah
kritis. Artinya, air bawah tanah yang kita ambil tidak maksimal dibandingkan
dengan laju pertumbuhan penduduk yang begitu pesat,” jelas Safa saat ditemui Paradigma di kantornya 26/10/2015.
Jika keadaan normal dari 40 sumur yang dimiliki PDAM dapat
menghasillkan 10 liter/ detik, di kondisi tidak normal seperti sekarang ini
debit air berkurang 30 % menjadi 7 liter / detik air yang dapat dihasilkan.
Posisi pompa berada di kedalaman antara 25 – 100 m dan air yang bisa diambil
itu pada kedalaman 40 - 50 m.
Eksploitasi
Tak Terkontrol
Selain daerah tangkapan air yang semakin berkurang. Penurunan
debit air terjadi karena adanya eksploitasi yang tidak terkontrol oleh
oknum-oknum tertentu yang masih kita temukan. Jika kita cermati sebagai warga Kudus,
khususnya masyarakat yang bertempat tinggal di daerah sekitar pegunungan Muria
pasti sering melihat tangki-tangki pengangkut air.
Tangki-tangki berkapasitas 3000-7000 liter air ini pulang-pergi
dari gunung Muria. Berdasarkan keterangan Hadi (30), kernet salah satu truk
tangki yang sedang mengisi air di pengisian milik Muryanto dukuh Panggang Colo,
ia mengisi air dari sana, dengan membayar Rp. 30.000-40.000 per tangki. Kemudian
ia menjualnya kembali ke pengusaha air isi ulang dengan harga yang bervariasi.
“Ini mau tak kirim ke Jakenan Pati dengan harga Rp. 460.000.
Kalau ke Rembang dan Blora Rp. 480.000. Pokoknya harganya di bawah Rp. 500.000,”
jelasnya.
Pengeksploitasian air di sekitar pegunungan Muria kini
menjadi masalah yang serius. Tak hanya berdampak pada ekosistem yang tidak
seimbang, pengeksploitasian secara tidak terkontrol juga mengakibatkan masalah
bagi warga yang bertempat tinggal di sekitar pegunungan Muria.
Kepala Desa Colo, Joni Awang Istihadi mengungkapkan, saat
menghadapi musim kamarau masyarakat mulai resah, karena debit airnya mulai
berkurang. Apalagi dengan adanya eksploitasi air yang tak terkendali seperti
yang terjadi.
Pemerintah desa
sendiri berharap adanya payung hukum yang mengatur tentang pemberhentian
eksploitasi atau pencabutan izin perusahaan yang sangat meresahkan warga. Karena,
selama ini belum ada payung hukum untuk menghentikan eksploitasi air pegunungan
itu. Sehingga eksploitasi terus berlanjut dan seakan sulit untuk dikendalikan.
“Kami, Pemerintah Desa Colo dan Kajar telah mendatangi Balai
Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kudus untuk menyuarakan aspirasi warga. Kami
ingin eksploitasi itu dikendalikan dan juga terukur. Kalau diteruskan tanpa pengendalian,
bisa menyebabkan debit air di-sumber-sumber air itu berkurang. Kami sudah
menyerukannya berkali-kali, tapi tak pernah ada tindak lanjutnya,” kata Joni saat ditemui Paradigma.
Meskipun belum mendapat tanggapan yang serius dari pemerintah,
Joni berharap dari pihak warganya sendiri sudah ada peraturan kelompok masing-masing untuk
mengendalikan eksploitasi air. Bagi
warga yang tidak mengindahkan peraturan kelompoknya, maka ia akan dikenakan
sanksi. Sanksi dari setiap kelompok sendiri bervariasi tergantung keputusan
kelompok penyalurnya.
Direktur Muria Research
Center (MRC) Indonesia Widjanarko berharap adanya peraturan daerah (perda) atau peraturan desa (perdes) untuk
mengendalikan eksploitasi. “Iya, sangat perlu ada instrumen yang
mengatur, baik itu bentuknya Perdes atau Perda. Jika perdes, maka pihak desa
bisa mengatur pemanfaatan air di sekitarnya,” ungkapnya.
Ia juga berharap, perlu ada langkah tegas dari pihak
desa, perhutani dan pemerintah kabupaten Kudus. “Segera buat rekomendasi untuk
menghentikan eksploitasi air di Desa Colo dengan mencabut ijin pengambilan air
yang sudah ada dan menata ulang penggunaan air termasuk untuk kebutuhan
peziarah (kamar mandi dan wc yang tersebar di Colo),” pungkasnya.
Afandi & Mahya