Posisi duduk para penonton tak beranjak saat
menatap gerak tubuh pemain teater. Pandangan mereka menyorot setiap gerakan di
panggung. Saat itu, teater yang dipentaskan mengenai kritik sosial masyarakat
sekarang dengan judul “Petuah Tampah”. Pementasan Teater Djarum ini sudah
memiliki tempat tersendiri di hati penonton. Tak salah jika yang datang untuk
melihat pementasan tersebut pun dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar,
pecinta teater, pegawai pabrik, hingga masyarakat umum.
Pandangan masyarakat
terhadap teater sudah mulai membaik. Tak seperti dulu yang menganggap bahwa bermain teater
cenderung urakan, kotor, tidak rapi bahkan “gila”. Pada akhirnya, masyarakat awam
masih susah memahami teater. Pun demikian
hingga kini masih ada sebagian masyarakat yang beranggapan seperti itu.
Akibatnya, apresiasi
dari masyarakat mengenai teater masih
sangat kurang. Namun kejadian tersebut muncul atas dasar dari pemain teater itu sendiri. Mereka bebas berekspresi tanpa ada yang membatasi.
Menurut Edi Purnomo salah satu anggota Keluarga Segitiga Teater (Keset) Kudus, seseorang yang menilai teater
dari sisi negatif adalah orang yang masih tahap mencari jati diri.
Edi juga menambahkan,
jiwa para seniman memang tidak ingin dibatasi. Berbeda dengan orang yang sudah
mapan dalam berteater. Ia mempunyai visi dan misi yang jelas. Untuk mengubah mindset masyarakat awam
tidaklah mudah. Semuanya membutuhkan proses yang
panjang.
Tim Paradigma menyusuri
sepanjang Jalan Ahmad Yani untuk bertemu dengan tokoh teaterawan Kudus. Berhenti
di depan kantor pabrik rokok Djarum, kami menemui laki-laki yang berambut
gondrong, Asa Jatmiko, pertengahan Oktober 2016. Berbicara tentang stigma, ia berpendapat bahwa pemain teater
harus membuktikan bahwa dalam dunia teater itu ada nilai-nilai positif.
“Insan
teater harus membuktikan ada nilai kedisiplinan, kesetiakawanan dan keberanian
berpendapat,” ungkapnya selaku sutradara “Petuah Tampah” itu.
Menurutnya, ketegasan
seorang pemimpin teater akan
mempengaruhi kedisiplinan anggotanya. Ketika seorang pemimpin menanamkan
sikap–sikap positif, anak buahnya pun akan mengikuti. Selain itu
harus ada kerjasama, baik
dari internal maupun eksternal sesama komunitas teater.
Mulai
Diminati
Sebagai
penikmat teater,
Maftuhan (26) melihat teater saat ini sudah berkembang dan mengalami kemajuan. “Banyaknya penonton sekarang
dipenuhi dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, wirasuwasta, dan pelaku
seni,” ungkapnya.
Pengamatannya terhadap dunia teater pun tak sebatas
satu atau dua pementasan. Tercatat hampir 30 lebih Maftuhan menyaksikan
pementasan teater. Ia merasa tertarik terhadap pementasan teater ketika pertama kali
milihat di SMK Duta Karya Kudus. “Ketika saya melihat pementasan teater di SMK
tersebut, jiwa seni saya mulai tergugah. Sehingga saya menikmati pemestasan teater yang diadakan pada
tahun 2014 dulu,” pungkasnya.
Apresiasi penonton semakin menanjak ketika hadirnya
pementasan teater yang semakin aktif. Ini dikarenakan informasi-informasi
pementasan yang terjamah sampai semua kalangan. Untuk itu adanya inovasi dalam
menerapkan strategi penjaringan penonton perlu diterapkan.
Anggota Teater Keset sendiri memiliki ciri khas dalam
penjaringan penonton. “Kami memiliki jaringan luas antar pemain dan penonton,” ungkap Wisnu Bayu Prasetyo selaku Pimpinan
Produksi (Pimpro) Keset saat ditemuai di kediamannya, (17/11/2016). Penjaringan
penonton mulai dari lingkup sekolah hingga
masyarakat umum.
Dengan
begitu penonton tidak akan didominasi
orang dewasa saja, melainkan dari berbagai kalangan. “Anggota Keset sendiri
bervariasi, ada siswa, guru, seniman, bahkan
pekerja,”
tambahnya.
Wisnu membenarkan jika kalangan pelajar sekarang juga
ikut meramaikan dunia teater. Bisa dilihat dari antusiasme mereka dalam
mengikuti Lomba Festival Teater Pelajar (FTP) 2016.
Acara tersebut diselenggarakan
oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kudus dan Teater Djarum. Kebanyakan penonton
teater didominasi oleh para pelajar. Sekali pentas, pernah mencapai angka fantastik. “ Untuk pementasan teater khusus pelajar bisa
menghabiskan tiket 400 lembar,” ungkap Wisnu yang juga hobi mengkoleksi batu
akik.
Walaupun ada Harga Tiket Masuk (HTM), teater Keset ini
memiliki banyak penggemar di hati penontonnya. Sejak 2009 ketika awal
pementasan Keset yang berjudul “Sugeh
Mblegedu” banyak penonton yang menikmati pementasan tersebut. Secara umum, HTM
di Kudus dibuka dengan harga Rp 5 ribu. “Saya sebagai Pimpro memberikan beberapa inovasi,
berupa pre-season, maksudnya untuk
memberikan apresiasi kepada penonton yang memesan tiket terlebih dahulu,”
ungkapnya.
Wisnu menambahkan Ketika harga tiket Rp 10 ribu, pre-season
untuk penonton menjadi Rp 7 ribu. Namun untuk pelajar masih tetap Rp 5 ribu. “Ini bertujuan untuk menghargai mereka
yang antusias menonton pementasan Keset,” terang Wisnu seraya menyuruh kami
untuk meminum teh yang sudah disuguhkan.
Harapan
Nyata
Teater milik semua kalangan, tidak untuk umum ataupun
pelajar saja. Semua bersama-sama untuk menjaga dan melestarikan kesenian yang
ada di Kudus. Mumpung bangsa ini memiliki kebebasan berapresiasi seluas mungkin.
Untuk itu para teaterawan harus mampu menunjukkan kualitasnya sebagai pemain
seni.
Aris Junaidi (53) Ketua Dewan Kesenian Kudus berharap kepada seluruh
teaterawan untuk semangat berlatih. “Bangkitlah jangan patah
semangat, angkatlah tema-tema kekinian yang mudah dipahami masyarakat, agar misi teater sebagai pencerahan masyarakat bisa tercapai,” ungkapnya.
Aris juga berharap kepada pemerintah sekarang untuk lebih memperhatikan teater. “Teaterawan juga butuh
pembinaan,” ungkapnya. Di akhir perbincangan, ia menandaskan kembali bahwa “Seni
dan budaya adalah investasi jangka panjang untuk generasi selanjutnya.”
Mengutip dari perkataan Najwa Shihab,”teater tak
cuma menggambarkan kehidupan, sering pula menjadi agen perubahan”. Teater Kudus mampu menjadi agen perubahan
masyarakat, baik kepada pemain atau pun penonton yang menyaksikannya.[]
Yaumis Salam
Mahya Hidayatun Ni’mah