SUMBER : PIXABAY.COM |
Air
diterjemahkan dalam pelbagai tafsir: biologi, kimia, agama, kapitalis….
Mengingat air, melemparkan memori pada lembaran buku pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) di sekolah dasar. Kita dipahamkan jika sifat air menyesuaikan ruangan yang ditempati,
menekan ke segala arah, mengalir dari tempat tinggi ke tempat
yang rendah.
Kita juga dibuat mafhum, mengimani jika air merupakan sumber kehidupan semua
makhluk di bumi. Ia tak pernah absen dari aktivitas manusia. Mulai dari bangun
tidur hingga akan tidur kembali. Kebermanfaatan air sangat membantu manusia
dalam menyelesaikan tugasnya sehari-hari. Kebutuhan manusia akan air, mutlak. Mulai
dari sisi rumah bagian depan hingga belakang air selalu eksis.
Sebagai negara
maritim, kita dianggap beruntung. Wilayah negara kita lautannya lebih luas daripada daratan.
Agus S Djamil dalam buku Al-Qur’an dan
Lautan memuja
kondisi ini. Bahwa Indonesia
memiliki kombinasi dua potensi khas,
yaitu penduduk muslim terbesar di jagat (190 juta) dan negara kepulauan terluas
di muka bumi, 80 lautan dengan 18.108 pulau.
Keberlimpahruahan air yang
ada, mengharuskan untuk selalu bersyukur. Dari sisi teologi, banyak kalam ilahi yang menjelaskan
tentang kebermanfaatan air. Sebagaimana dalam Surat Ibrahim (14) ayat 32. Disebutkan, Allah menurunkan air hujan dari langit kemudian mengeluarkan
(dengan air hujan) itu dengan berbagai buah-buahaan. Buah-buahan itulah sebagai
rizki kita. Lantas apa yang harus kita lakukan, ketika sang Kholiq telah
memberi fasilitas yang begitu besar? Tugas kita adalah memanfatkannya sebaik
mungkin apa yang ada di bumi pertiwi.
Tapi air kerap
bersahabat. Tragedi Tusnami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 lalu menjadi bukti bahwa air tidak hanya
menghidupkan tetapi memusnahkan. Tsunami yang menghantam rakyat Aceh setidaknya
memberi pelajaran untuk tidak terlena terhadap pemberian Tuhan. Pemanfaatan
sumber daya adalah keniscayaan. Pemanfaatan, bukan mengeksploitasi berlebihan.
Air adalah
anugrah sekaligus petaka. Penyair
Ismaiil Marzuki
merangkumnya dalam syair yang kerap kita
nyanyikan kita
duduk di bangku sekolah dasar, dengan
mengenakan seragam merah putih. Simaklah:
“Kulihat ibu pertiwi/ Sedang bersusah hati/ Air matamu berlinang/ Mas intanmu terkenang/ Hutan gunung sawah lautan/ Simpanan kekayaan/ Kini ibu sedang lara/Merintih dan berdoa/”
Syair tersebut mengandung makna
tersirat bahwa kekayaan Indonesia ada di setiap tempat. hutan, gunung, sawah
lautan. Dan tempat-tempat tersebut tak pernah nihil akan air. Sejatinya begitu. Di sisi lain, air menjadi
simbol kepedihan sebuah negara yang tengah dalam kondisi kesusahan. Bisa jadi,
Ismail Marzuqi menggambarkan kondisi air di negeri ini dengan air juga.
Buktinya, berbagai media baik cetak maupun elektronik
mengabarkan bahwa kekeringan melanda sejumlah desa Jawa Tengah akhir-akhir ini.
“Belasan Desa Terancam Krisis Air” dan
“Air Delapan Sumur PDAM Susut (Suara Merdeka,4/08)” mungkin bisa mewakili
pernyataan bahwa air kian sedikit. Hutan yang dulunya penuh tumbuhan hijau,
kini nampak tak berpenghuni. Maraknya illegal Logging oleh oknum tak
bertanggungjawab kerap kali terjadi. Belum lagi penambangan pasir illegal yang
tidak segan-segan menggunakan ekskavator telah merambah ke daratan memicu
kelangkaan air (Fokus Jateng, 6/08). Kelangkaan akan air mungkin salah satu
maksud kata “lara” yang tersurat dalam syair lagu diatas.
Komersialisasi air pun kian
kentara. Tiap kali ada acara yang mengundang
banayak orang, air minum kemasan tak pernah ketinggalan. Air yang disuguhkan
setidaknya mampu menunjukkan rasa berbagi kepada orang yang hadir. Tak hanya
satu merek, berbagai merek air kemasan sudah menjadi privat
oleh perusahaan. Bagaimana dengan privatisasi air? Beberapa orang memafhumkan bahwa privatisasi atas air dibenarkan
selama masih dalam batas rasional sesuai kebutuhan. Artinya, selama tidak
merugikan pihak lain privatisasi air adalah kebolehan.
Mungkin kita
masih dihibur dengan sikap menghargaan terhadap air dalam konteks mistis dan
spiritual. Sebagian
orang masih percaya akan kemujaraban air putih yang diberikan Kyai. Air
yang sudah didoakan oleh Kyai, diminum. Hal itu dilakukan sebagai perantara wasilah
agar menjadi obat atas penyakitnya. Bagi yang yakin akan hal itu,
kesembuhan akan diperoleh tanpa bantuan medis.
Belum lagi dengan air zamzam yang sudah mendunia. Air yang tak
pernah kering. Air yang berangkat dari kisah Nabi Ismail as dan ibu Hajar. Selain itu ranah religiositas air juga
tercermin dalam kegiatan bersuci. Ketika seorang hamba menghadap kepada
Robb-nya. []
Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab,
tinggal di Demak