Maulana Habib Lutfi bin Yahya saat memberi ceramah. Foto: ilustrasi |
Ulama
kharismatik asal pekalongan, Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, memang seringkali
mengajarkan banyak hal dengan contoh yang sederhana. Salah satunya yaitu
tentang persatuan dan kesatuan NKRI yang ia analogikan dengan asal usul makanan
dan etika memakannya. Ceramah itu disampakan dalam rangkaian maulid Kanzus
Sholawat dan Haul Mbah Gareng di Kanzuz Sholawat Angudi Barokahe Gusti (ABG), Undaan,
Kudus, kemarin malam (22/01/2017).
Habib
Luthfi menyebutkan bahwa aktivitas makan
merupakan salah satu hal yang membuktikan bahwa perbedaan ialah
keniscayaan. Dalam hal makan meskipun
berbeda lauk pauk, kita akan
tetap bersama tanpa menyalahkan satu dan yang lain. Orang yang suka makan sayur asem tidak lantas menyalahkan orang yang pilih lauk
ayam.
“Ini
lah satu contoh yang indah tentang harmonisme yang patut kita agungkan. Jangan
ribut saja!,” tegasnya.
Menjelaskan
etika makan, Habib Luthfi menceritakan apa yang didapatkannya saat nyantri pada gurunya. Bahwa makan bukan hanya
persoalan mengisi perut, tetapi juga nilai luhur yang memperkuat simpati, rasa
persaudaraan antar sesama. Pada butiran nasi terkandung jerih payah banyak
pihak, mulai dari petani, pedagang, juru masak dan tentunya Allah sendiri
sebagai pencipta dan penentu seonggok padi bisa menjadi nasi.
“Guru
saya mengajarkan agar selalu mendoakan dan mengingat jasa mereka semua ketika
makan. Itulah sebabnya Islam mengajarkan kita dalam doa sebelum makan dengan
sebutan naa (kita), bukan
sekadar barikli, tetapi bariklana,” tuturnya.
Kalau
sudah begitu, kata Habib Luthfi, rasa syukur akan muncul, rasa terimakasih
kepada setiap orang tumbuh. Persaudaraan kuat dan tidak mudah dipecah belah.
Jangan sampai bangsa kita mudah diombang-ambingkan oleh ideologi yang tidak
jelas dan merusak teladan serta rasa persaudaraan yang telah direkatkan para
pendahulu kita.
“Wahai bangsaku relakah negerimu terpecah belah?,” tanya Habib Luthfi tegas.
Persoalan
disharmoni seperti sekarang ini sebenarnya telah ada lama, bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Itu disebabkan adanya benturan antar lapisan masyarakat yang
telah disetting dengan politik adu domba. Pada imperium kehidupan Sultan
Fatah misalnya, raja pertama Kerajaan Demak itu dibenturkan kekuasaannya dengan
nama besar ayahnya, Prabu Brawijaya V. Pihak-pihak berkepentingan yang tak
bertanggung jawab itu sengaja memelintir sejarah untuk mengadu domba rakyat
Indonesia.
Indonesia
itu ibarat perawan yang cantik, maka sewajarnya ia menjadi rebutan
bangsa-bangsa lain. Ketika sudah berbicara soal
ketahanan pangan, di masa depan tidak ada lain Indonesialah
sumber utamanya.
“Makanya
dari dulu kita menjadi incaran negara lain dengan cara diadu domba,
sehingga jatuh dan Indonesia bisa dibagi rata sebagaimana roti. Wahai bangsaku
relakah negerimu terpecah belah?,”
tanya Habib Lutfi lagi dengan tegas.
Tantangan
sebagai bangsa tidak hanya soal beda pendapat, musyrik dan bid’ah.
Itu semua persoalan aqidah yang tiap-tiap orang tiada yang tahu isi hati orang
lain. Kesibukan mengurusi hal itu akan semakin membuat kita semakin tertinggal,
semakin mudah dipecah belah. Kalau terus-terusan seperti itu, kapan
kita maju?
“Maju
tidaknya bangsa ini ada di tangan kalian, bukan basa-basi, NKRI Harga Mati,”
tandasnya.
Sependapat
dengan Habib Luthfi, Kapolres Kudus, AKBP Andy Rifai, mengungkapkan bahwa
Indonesia akan maju dan makmur manakala ada persatuan antara TNI, Polri, ulama
serta rakyatnya. Sebagaimana yang dicontohkan oleh ulama dan santri terdahulu
yang gigih membela negeri ini hingga akhirnya bisa berdiri tegak. Bahkan tidak
bisa dipungkiri
bahwa santri juga pelopor berdirinya lembaga pertahanan seperti TNI dan Polri.
Muhammad Farid