Demi
sebuah jabatan dan pendapatan, seseorang rela membeli sebuah ijazah. Berapapun
harganya. Beberapa orang menganggap, title adalah tolok ukur kesuksesan
seseorang. Bahkan ada yang menganggap bahwa dengan mengoleksi serentetan title,
orang akan lebih terhormat.
Zaman
melaju pesat. Pendidikan tidak lagi menjadi tempat, wadah, bahkan media untuk
mendidik siswa menjadi lebih berakhlak. Tanggung jawab untuk mendidik akhlak
seorang anak memang dari keluarga. Tapi sekolah atau madrasah, merupakan salah
satu media untuk mentransformasikan ilmu ke anak didiknya. Salah satunya untuk
menjadi lebih berakhlak.
Thomas Lickona, seorang profesor
pendidikan dari Cortland University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh
tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda ini sudah ada, maka
itu berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang
dimaksud, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan
kata-kata yang memburuk, pengaruh peer-group
yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. Semakin kaburnya pedoman moral baik
dan buruk, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang
tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian di
antara sesama.
Tanda-tanda tersebut nampaknya sudah
mengakar di negeri yang konon selalu menjaga teguh adat ketimuran ini. Bahkan,
sekolah yang mestinya menjadi pencegah itu semua, kini tak lagi peduli. Mereka
berdalih, jika sudah diluar sekolah, bukan lagi tanggung jawabnya. Jika ada
siswanya yang tertangkap karena narkoba misalnya, pihak sekolah justru tidak
mendidiknya untuk mengembalikan moralnya, tapi malah mengeluarkannya dari
sekolah. Inilah yang disebut dengan memutus rantai tanggung jawab.
Maklum, guru kini bukan lagi profesi, tapi
pekerjaan. Guru bukan lagi pengabdian, tapi sarana untuk mencari uang. Hal ini
nampak jelas ketika ada kasus para guru unjuk rasa menuntut gaji. Ini adalah
pengalaman paling buruk bagi guru. Mereka mestinya menjadi contoh yang baik,
tapi malah memberi gambaran yang buruk bagi anak didiknya. Dan sekolah, bukan
lagi tempat pendidikan, tapi ladang bisnis paling menggiurkan.
Pendidikan Karakter
Seorang guru di Australia pernah berkata,
mereka tidak terlalu khawatir kalau anak didik mereka yang masih duduk di
bangku SD tidak bisa matematika. Mereka lebih khawatir kalau anak didik mereka
tidak pandai mengantre. Mereka beranggapan, belajar matematika hanya butuh
waktu dalam hitungan menit atau jam, tapi belajar mengantre butuh waktu
bertahun-tahun.
Pasalnya, banyak hal yang dapat dipetik
dari pelajaran menngantre. Diantaranya, anak akan tahu betapa berharganya waktu
ketika mengantre. Jika mereka ingin berada di deretan antrean paling depan,
mereka harus datang lebih awal dengan persiapan yang lebih awal pula.
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari
mengantre adalah mereka akan lebih disiplin, lebih bisa menghargai hak-hak
orang lain, dan masih banyak lagi. Gambaran tersebut berbalik dengan kondisi di
Indonesia. Pendidikan di Indonesia, lebih mengedepankan Inteligence Quotiens
(IQ) dibanding Emotional dan Spiritual Quotiens (ESQ).
Siswa di Indonesia akan sangat
membanggakan jika mereka bisa menjadi juara di olimpiade sains. Tidak sedikit
dana yang akan digelontorkan pemerintah, jika ada anak didiknya yang bisa
membanggakan dibidang sains. Tak heran, jika mulai sejak duduk di Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD), siswa sudah dituntut untuk belajar berhitung dan
membaca. Tapi karakter mereka tidak dibangung dengan intens.
Belajar dari pengalaman anak saya. Ketika
dia hendak dinyatakan lulus dari bangku PAUD. Saya cukup tercengan ketiak
membaca kisi-kisi ujian akhir sekolahnya. Bukan ketangkasan atau karakter anak
yang dinilai. Tapi siswa yang rata-rata belum genap lima tahun itu harus
mengerjakan soal yang mestinya untuk anak TK B atau bahkan mungkin Sekolah
Dasar. Mereka disuruh menghafal ayat-ayat, doa sehari-hari, dan disuruh menebak
pertanyaan matematika.
Dari pengalaman tersebut saya berfikir,
adakah yang salah dengan pendidikan di Indonesia? Jawabnya tidak ada. Yang
salah adalah ego manajemen pendidikan yang tidak memikirkan output
peserta didiknya. Setiap lembaga pendidikan selalu lebih bangga jika peserta
didiknya lulus dengan nilai cumloud.
Nilai, itulah yang selalu dikejar dalam
kehidupan ini. Bukan nilai diri, tapi nilai yang lebih bersifat administratif. Dengan
mempunyai nilai administratif yang tinggi, akan lebih mudah masuk ke
perusahaan-perusahaan yang menjanjikan. Demikian pula dengan perusahaan
penyedia tenaga kerja. Pertama kalai yang mereka tanyakan adalah ijazah,
lulusan dari lembaga pendidikan mana, dengan IPK berapa.
Ujung-ujungnya, jika seseorang ingin mempunyai pekerjaan yang layak, tidak tanggung-tanggunng mengeluarkan uang besar demi sebuah ijazah. Ada lagi cara yang lebih halus, yakni dengan mengikuti ijian paket yang sebenarnya masih dipertanyakan kredibilitasnya.
Padahal, kebanyakan orang sukses di
Indonesia, bahkan tingkat dunia, mereka hanya mengantongi ijazah yang tidak
terlalu tinggi. Misalnya Adam Malik, salah satu Duta Besar di zaman Presiden
Soekarno ini, hanya mengantongi ijazah setingkat Sekolah Dasar. Agus Salim,
salah satu tokoh yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet
Syahrir I dan II ini, juga hanya mengantongi iajazah setingkat SMA saja.
Ajip Rosidi, orang yang tidak tamat SMA
ini, mendapat kehormatan menjadi Dosen Luar Biasa di Fakultas Sastra
Universitas Padjajaran Bandung. Buya Hamka, Dahlan Iskan, Andy F Noya, mereka
semua bukan sarjana, tapi kiprah mereka tidak perlu ditanyakan lagi. Bukan
ijazah yang membuat mereka sukses, tapi rajin membaca dan belajar dari pengalaman,
yang menngantarkannya pada pintu kesuksesan.
Masihkan Ijazah diperlukan? Bukan perlu
atau pula jawabnya. Tapi tekad dan niat untuk mengembangkan diri dalam bidang
yang kita sukai. Itulah yang akan membawa diri kita kedalam kesuksesan pada
arti yang sebenarnya.[]
M.
Nasrurrohman
Pemimpin
Redaksi LPM Paradigma 2004