ILUSTRASI : LUKISAN FREUD 1960 |
Jarak
dua meter dari kamarku, sengaja aku pasangi tangga menuju atap. Bukan ingin
terlihat punya lantai dua, lebih tepat lagi untuk memudahkan aku bersembunyi
dari ibu untuk aku pacaran. Malam yang bersahabat. Angin berhembus tak terlalu
kencang. Bulan lolok dengan cahayanya. Berhias taburan bintang kecil bak serbuk
berlian berhamburan. Sesekali bolam lampu kota terayun tak jelas arahnya. Pun
mega mega malam sesekali dengan bulan . Mungkin
ini yang dinamakan syahdu. Syahdu adalah suasana dimana paling tenang kedua
setelah lailatu qodar.
Di depan kaca aku mencoba
membetulkan lengkungan kerudung yang sempat bengkong ke bawah. Malam ini
kurencanakan pacaran di tempat terindah dimana hati kami bertemu pertama kali.
Di atas genteng. Aku tak heran
bila akhirnya hatiku tersangkut denganya. Sejak aku lahir, ayahku membisikan
namanya sesaat setelah aku menghirup udara dunia. Pacarku selalu bertingkah
semaunya. Sampai kita bertemu untuk pertama kalinya, adalah sebagian dari
rencananya. Ada kalanya dia mengajakku kencan di bawah kolong tempat tidur
ibuku. Ada kalanya lagi dia mengajakku bercumbu didalam almari tua milik
bapakku.
Wajahku harus selalu basah, satu syarat untuk
meyakinkan ke dia aku tidak pakai bedak. Pacarku tidak suka dengan debu wangi itu. Alasannya sederhana, dia tak mau kehilangan
rasa asin di pipiku. Ya… itulah pacarku memang sedikit membutuhkan imajinasi. Satu
lagi yang ku suka, sampai saat ini dia masih memegang rekor dengan novel paling
sulit dipahami sepanjang terbentuknya jagad raya.
Perlahan
ku naiki anak tangga satu satu. Tangga yang terbilang cukup langka bagiku.
Bukan saja dalam usianya yang sudah setengah abad, bahan baku dari kayu jati
asli, besar pegangan yang pas kugenggam. Tumpuan kaki sengaja dibuat lebar
dengan panjang 45 cm, lebar 20 cm, serta tebal 2 cm. Belum lengkap ayah
menceritakan sejarah tangga ini, tepat diusiaku yang ke tujuh ayah
meninggalkanku bersama ibu. Aku tak terlalu bisa mengartikan bahasa Ibu bila
menceritakan tangga legendaris ini. Ibu mengalami Stroke stadium menengah
dengan memakan setengah dari tubuhnya. Ibu sulit berinteraksi dengan orang
sekitar dengan keadaan yang menimpanya.
Suasana
malam di atas atap yang jauh lebih tenang dari malam sebelumnya. Atap genteng dengan
angin sepi-sepoi remang-remang dengan hanya diterangi cayaha bulan. Menggugah semua nafsu birahiku. Tak sabar
rasanya memadu cinta, membalas dendam kepada rindu yang menghujam kala jauh
darinya.
Dengan
reflek cepat dengan tanpa pikir panjang aku merebahkan tubuh mungilku di atas
genteng. Tanpa alas, kulit mulusku tepat bersentuhan dengan genteng dari
lempung itu. Tanpa rasa ragu sedikitpun. “Ayolah, tinggal kita berdua
sekarang,” pekik kecilnya. Entah apa yang membuat langit tak menunjukkan
mendung sama sekali. Seolah langit merestui apa yang dilakukan oleh Inayah.
“Ayo jemput aku malam ini tuhan,” Sekali lagi Inayah menjulurkan tangannya ke
atas mengarah tepat ke bulan nan lolok. Seolah tak ada sedikitpun rasa
ragu. Meminta tuhan menjemputnya malam itu juga.
***
Inayah
lahir secara normal di kamar ibunya. Tanpa bantuan dokter kelas premium, hanya
dukun beranak di desa tersebut. Di sebuah bilik dengan ukuran tiga kali dua
meter. Di atas kasur kapuk yang sudah agak kusam. Bukanya menangis, setelah brojol
dari rahim Ibunya Inayah malah tertawa keras.
Dukun Njenggirat “Eh… lah dalah, ini bayi edan tenan.”
Seluruh isian
kamar sontak kaget dengan tingkah menyimpang Inayah. Bagi dukun beranak tingkat
desa memang tingkah Inayah dianggap menyimpang. Seperti ada sesuatu yang ganjal
dengan kelahiran Inayah.
Perlahan
kejanggalan kelahiran Inayah mulai dianggap wajar warga desa sekitar. Inayah
tumbuh seumuran bocah. Tepatnya bocah edan.
Ibunya yang buta karena penyakit bawaan dari lahir pun ia bantu mencari makan. Ayahnya
menhilang dengan ajaib setelah tahu ibunya hamil. Tidak usah susah mencari makan
sampai mana-mana. Inayah cukup meminta kepada pacarnya di atas genteng. Tepat
setelah inayah menyelesaikan tugasnya, memuaskan pacarnya. Ibunya tak pernah
tahu apa yang dilakukan Inayah untuk mencukupi segala makanan sehari-harinya.
Pernah sekali ibunya Tanya tentang hal tersebut. Namun Inayah mengelak dengan
jawaban yang tak memahamkan sama sekali.
Malam yang sama,
Supeno, Kang Jirin, Herman dan Harjo sedang berronda mengelilingi desa.
Seketika mereka terkejut melihat bayangan sesosok wanita telanjang tepat diatas
rumah Inayah.
“Itu Inayah kan
Kang?,” Tanya Herman.
“Iya betul,”
sahut Kang jirin.
“Mana?,” Harjo
mulai pensaran.
“Sssssstttttt,
jangan disoti lampu,” seketika Herman menepis tangan Harjo yang memegang senter
mencoba menghalang senter mengarah ke atap Inayah.
“Pancen wong
edan, selalu saja membuat sensasi,” timpal Supeno.
“Haha…… Jangan
gitu Kang, Inayah melakukan itu karena dia butuh akan seseorang untuk
bermunajad,” Kang jirin dengan genre kalemnya menepis Supeno.
“DIIARRRRR”
Tiba-tiba suara
petir dengan keras menyambar atap rumah Inayah. “Inayah,” Supeno dengan reflek
cepat langsung berlari. Disusul ketiga temannya di belakang. Namun apa yang
dilihat dirumah Inayah membuat keempatnya diam menghela nafas. Tepat dititik
dimana Inayah jatuh tak ditemukan sesosok Inayah yang tergeletak di atas tanah.
Hanya tumpukan tanah menyerupai sepetak kuburan lengkap dengan dua batu nisan
yang tertata di kedua ujungnya.
“Apa apa ini?,”
keempat pasang mata melolok menangkap sesosok wanita paruh baya berdiri di
ambang pintu. Yang muncul tiba tiba dari balik pintu rumah Inayah.
***
Malam itu seolah menjadi malam yang menggetarkan
relung batin keempat perjaka penjaga ronda malam. Hawa malam nan tenang sejuk
dengan gemricik suara jangkrik. Berubah menjadi malam nan penuh teka teki
dengan kejadian ajaib yang menimpa Inayah. Seluruh penduduk yang mulanya pulas
dengan kembang tidurnya. Bergerombol berduyun duyun datang kerumah Inayah
dengan penuh tanya. Ada apa? Pertanyaan yang menyeruak memenuhi isian kepala
mereka. Yang lebih tidak dapat dinalar lagi. Ibu Inayah yang dulunya terhindap
stroke, terbujur kaku dengan bahasa lisan yang tak mudah dicerna. Berbalik menjadi
segar bugar ngomongnya jelas tanpa ada satu cacat pun. Seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
Lutut keempat jejaka jomblo piket
ronda itu tersungkur menyentuh tanah. Tubuhnya gemetar bukan main. Kepalanya tertunduk termangu dengan dagu menyentuh
dada menandakan tubuhnya terkulai lemas. Pasang mata lainnya menyaksikan sebuah
adegan seperti drama. Mimik muka yang terlihat penuh dengan tanya. Ada apa?.
Tidak mampu mendesak keluar melalui ungkapan rongga bernama mulut. Seolah
terhipnotis keadaan yang begitu penuh dengan sesuatu hal yang rumit.
Ibu Inayah maju selangkah dari
ambang pintu yang semula ia terdiam. Mencoba mendekati ke empat jejaka yang
berlutut di depan tumpukan tanah depan rumahnya. Dengan perlahan ibu inayah
mencoba memegang bahu Kang Jirin. Kang Jirin dipilih karena paling tua diantara
mereka berempat. Tetangga-tetangga Inayah dengan rasa penuh penasaran
mengamping di depan pagar. Tetap seksama menyaksikan gerak gerik kelima manusia
yang memaksanya untuk selalu mengerutkan dahi. Tiba tiba telinga mereka
mendengar nada lirih yang keluar dari mulut ibu Inayah. Mungkin sebuah
penjelasan.
***
Yang berada di dalam kuburan ini
memang Inayah nak, semua sudah di takdirkan yang Maha Agung pemilik alam
semesta. Suatu malam Ibu mendapat bisikan dengan suara yang menggetarkan relung
hati Ibu. Inayah tidak akan diterima oleh siapapun dengan keadaan yang dianggap
orang awam edan. Inayah terlalu terpesona dengan cerita ayahnya yang
selalu menceritakan surga. Hingga kata ayahnya yang paling diingat oleh Inayah,
kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu meninggal dengan kedaan mencintaiNya.
Inayah tahu bentuk cinta seperti apa yang digambarkan oleh ayahnya. Dengan
sering bermunajat dan selalu dekat denganNya.
Ayah Inayah selalu berkata, Dialah
yang Maha menguasai langit dan alam semesta. Dengan kata lain, menurut hemat Inayah
kala itu Dia selalu berada dilangit. Memanjat tangga ke atas genteng adalah
satu cara untuk Inayah mendekatkan hatinya kepadaNya. Setiapkali Inayah berada
di atas genteng, suasana rumah sangat tenang. Lebih tenang dari malam seribu
bulan. Sepertinya Dia merestui kedatangan cinta Inayah. Selalu seperti itu
setiap malam. Ibu terlalu merasakan ketenangan dari munajat cinta Inayah.
Sehingga tidak ada sedikitpun rasa khawatir dalam benak Ibu pada Inayah di atas
genteng.
Hingga malam ini-tepat diulang tahun ke tujuh belas
Inayah-di dalam mimpi, Ibu mendapat bisikan kedua. Inayah sudah mencapai puncak
syahwatnya. Semakin celaka bila dibiarkan terlalu lama. Sebagai gantinya Ibu
disembuhkan dari segala penyakit yang Ibu derita. Bukan hanya itu, sebagai
ganti Inayah Ibu diremajakan kembali dengan taraf dua kali lipat lebih muda
dari usia Ibu sekarang. Sekarang Ibu memilih pundakmu untuk Ibu menyandarkan
bahu dan hati Ibu. Bolehkan aku menikahimu?.