SUMBER : WWW.SILATBEKSI.COM |
Kita perlu secangkir kopi untuk
sekedar mengingatkan bahwa hidup tak selalu manis. Pun dengan perjalanan bangsa
Indonesia.
Ingatan saya terbentur bahagia,
membaca catatan komoditas unggulan di Indonesia, yang dalam masa jayanya
menguasai perdagangan dunia. Beberapa komoditas unggulan itu di antaranya adalah kopi, gula, dan kapuk. Dalam buku Ekspedisi
Anjer-Panaroekan, laporan jurnalistik Kompas (Kompas: 2008) dikisahkan
Kopi Jawa dulunya menjadi primadona bagi orang-orang kulit putih (baca: Eropa).
Kopi Jawa dulunya diekspor ke
daratan Eropa, pamornya sama seperti kina, karet, tebu, dan teh. Kini seiring
perkembangan zaman,
beberapa komoditas unggulan itu meredup.
Di Bandung ada kedai Kopi Jawa
bernama “Aroma Kopi”, yang
berdiri sejak tahun 1930. Widya
Pratama sang pemilik kedai mengklaim kopi terbaik dunia adalah Kopi Jawa. Curah
hujan dan tingkat keasaman tanah di Jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh
lebih baik ketimbang tanah Afrika dan
Amerika Latin,
katanya.
Kejayaan Kopi Jawa berawal dari
politik tanam paksa (cultur stelsel),
bikinan Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch (1830-1833). Dalam
kebijakannya itu petani diwajibkan mengalokasikan seperlima lahan untuk tanaman
pasar Eropa, yaitu kopi, tebu, nila, teh, dan tembakau. Eksotisme Jawa pun
menuai ketenaran berkat hasil buminya.
Sayang, nasib komoditas Kopi Jawa
kian meredup seiring sistem budidaya pertanian yang coba sana coba sini
sehingga kehilangan fokus. Ditambah banyak pengusaha kopi yang hanya mengejar
omzet belaka tanpa memedulikan mutu. Hal ini turut menyumbang episode “senja kala Kopi Jawa.”
Tak hanya kopi, komoditas lain
yang turut memberi andil kemashuran bumi Jawa adalah gula. Industri gula di
Jawa pernah merajai pasar dunia hingga melahirkan konglomerasi pertama di Asia
Tenggara melalui sosok Oei Tiong Ham (1866-1924) asal Semarang, Jawa Tengah.
Masih dalam buku yang sama, Masa
itu John D Rockefeller pemilik Standard Oil ditahbiskan sebagai raja
minyak awal abad ke 20, sementara Oei Tiong Ham adalah raja gula. Diberitakan
dalam surat kabar berbahasa Belanda waktu itu, seperti De locomotief
(Semarang) dan Java Bode (Batavia), ketika wafat raja gula itu memiliki
total aset senilai 200 juta gulden.
Yang Hilang
Pada masanya produksi gula turut
menyumbangkan laba yang tidak sedikit bagi pemerintah kolonial. Namun ironis, di
masa kemerdekaan, gula lokal
malah terkapar tak berdaya, tidak lain karena kebijakan impor gula (raw
sugar: gula rafinasi) untuk industri yang tentunya sangat merugikan.
Lebih menyedihkan lagi ketika
membaca riwayat komoditas pertanian kita yang lain semacam kopra dan garam,
dalam buku Membunuh Indonesia; Konspirasi Global Penghancuran Kretek (Katakata:
2011) tulisan Abhisam DM dkk.
Industri kopra dan garam
disingkirkan dengan tidak sehat, sebab mitos-mitos kesehatan diciptakan bukan
semata kejujuran ilmiah. Demikian pernyataan dr. Saraswati, Mpsi, peneliti pada
lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas, Malang. Ada agenda licik di belakangnya.
Lucunya hal itu didukung pemerintah hingga mengkerdilkan ekonomi lokal.
Rasa sesak di dada membaca
kebesaran komoditas pertanian Indonesia yang begitu membanggakan, namun kini berantakan
dan ah susah ngomongnya .....
Hari ini kita kehilangan. Selera
kopi kita “dijajah” lewat serbuan “kedai kopi impor.” Meminum
kopi sudah urusan gengsi. Tak masalah bila harga secangkir kopi berkali-kali
lipat harga kopi di warung pinggiran jalan.
Kita kehilangan martabat, sebagai negara yang diibaratkan
Cak Nun sebagai negeri penggalan surga, seakan-akan negeri ini kecipratan
berkah surga. Yang
diimajikan pula oleh Koes Ploes sebagai tanah surga: tongkat kayu dan batu jadi
tanaman. Namun nyatanya hari ini kita “beli” gula dari tetangga, bahkan negeri
dengan wilayah lautan yang dominan ini juga harus beli garam dari tetangga. Duhh,
negeri ini kaya namun tak menyejahterakan warganya.
Menutup tulisan ini, ada pepatah Jerman dalam buku Mencari Setangkai Daun Surga (IRCiSOD : 2016) besutan Anton Kurnia, berbunyi: “Orang boleh kehilangan semua,
cinta, keluarga, harta, hingga harga diri, namun satu hal, jangan sampai kita
kehilangan harapan.” Hmm... harapan, saya rasa harapan memang harus terus
disemai dalam angan dan mungkin harus tertanam erat dalam pikiran.[]
Penonton Si Doel Anak Sekolahan