ILUSTRASI : PEKANBARUMX.CO |
Hari ini telah tiba. Bagaimana perasaanmu? Wajahmu
sangat berbeda dari biasanya. Cara dudukmu tenang, lalu lekas matamu menerawang
segala ruang. Tak ada siapa-siapa di sana. Kau bisa melakukan apa yang ingin
kau lakukan. Bukankah banyak sekali keinginan yang harus kau tuntaskan?
Sudah lama kau ingin duduk di kursi besar itu. Dan
sekarang kau bahkan bisa lebih dari sekadar duduk, rebahan misalnya. Tentu
lebih menyenangkan. Bantal-bantal empuk itu jangan hanya kau tepuk-tepuk.
Ganjalkan di kepalamu, siapa tahu ide cemerlang berdatangan.
Kursi itu memang bukan kursi biasa. Pemiliknya tidak
pernah tidak memujinya di hadapan orang baru yang sedang bertamu. Bahannya dari
kayu Jati tua yang umurnya hampir setengah abad, ukirannya rumit, modelnya
unik, dan hanya satu-satunya di dunia. Pemiliknya mengatakan harganya bisa
sampai dua ratus juta. Harga yang berat. Sebanding dengan berat kursi itu yang
konon hanya bisa diangkat oleh lebih dari lima belas orang laki-laki asli.
Pembuatan kursi itu memakan banyak waktu, kau sendiri
saksi matanya. Sembilan bulan. Seperti bayi saja, katamu. Waktu itu kau pernah
bertanya-tanya mudah mana membuat kursi itu dengan membuat bayi. Kau tertawa
sekarang.
Kursi besar itu ada dua. Orang-orang menyebutnya kursi
sepasang. Kau amati lagi berkali-kali, dan ternyata keduanya memang pantas
diibaratkan lelaki dan perempuan. Se-pa-sang! Diam-diam kau iri. Kapan kau
kawin?
Hari ini kau seperti raja, tanpa permaisuri tentunya.
Rumah yang sering dibicarakan
orang-orang kini ada dalam kuasamu. Kau berjalan, menelusuri apa saja yang
selama ini membuatmu penasaran. Beberapa kali matamu terbelalak. Beberapa kali
kau juga merinding. Benda-benda di dalam rumah itu tak berhenti membuatmu
takjub, pun berdegup. Kau berjalan lagi, lebih dalam lagi, lebih dekat lagi,
meleburkan diri dengan benda-benda di sana hingga lupa dengan sapu, gunting
besar, dan kawan-kawannya yang menjadi bagian keseharianmu di beberapa bagian
rumah itu.
Kau seseorang yang penurut, ulet, dan mempunyai semangat
kerja tinggi. Setidaknya itu menurut Wicak, pemilik rumah sekaligus juraganmu.
Enam tahun masa kerjamu di sana sangat membuatnya percaya, kau orang baik. Maka
dari sekian banyak pekerja hanya kau yang mendapatkan kesempatan ini. Menjaga
rumahnya.
Wicak lelaki kaya, perawakannya gagah dan berwibawa.
Pantaslah dia disebut sebagai pengusaha. Usaha kerajinan ukirnya memang sudah
tersebar ke mana-mana. Rumah Wicak tidak begitu besar. Tapi dengan pahatan dan
ukiran di sana-sini membuat rumah itu ramai diperbincangkan. Di saat semua orang
menggandrungi rumah minimalis, Wicak memilih rumah yang cenderung kuno. Wicak
dan rumahnya menjadi masyhur. Ada yang bilang rumahnya sangat unik, pun ada
yang bilang rumahnya sangat aneh. Entahlah, mungkin unik dan aneh beda tipis.
Mulai pagi hingga sore kau habiskan waktu di sana.
Tanganmu memang ramah dengan alam. Lihatlah, tanaman di rumah itu tumbuh dengan
baik. Taman depan dan samping rumah begitu rapi dan indah. Pekerjaan yang
katamu menyenangkan itu sebenarnya selesai sebelum matahari benar-benar di atas
kepala. Tapi kau enggan pulang, ada saja yang kau lakukan.
Sorenya kau menuju bangunan belakang rumah, berbaur
dengan pengrajin dan sibuk mengambil kayu-kayu yang sudah tidak terpakai untuk
kau jual ke tetanggamu yang juga pengrajin itu. Wicak mengizinkan kau mengambil
kayu sesuka hati, dengan catatan sudah tidak terpakai. Wicak memang baik, kalau
tidak, mana mungkin kayu sisa itu boleh kau ambil.
“Kalau kayunya kualitas nomor satu, meski pun cuma sisa,
ya, tetap berkualitas, Pak.” Alasan pertamamu.
Wicak tertawa mendengarnya. “Benar kau, Pri. Sebenarnya
di dunia ini tak ada sesuatu yang diciptakan dengan sia-sia. Hanya saja kita
tidak tahu bagaimana cara yang pas untuk memanfaatkannya. Seperti kayu sisa
itu. Bagimu berguna, tapi bagi orang lain bisa jadi kayu itu tak lebih dari
sampah. Ambil saja sesukamu, tapi yang sudah tak terpakai, jangan yang utuh.”
Wicak tertawa lagi.
Baik, dermawan, gagah, kaya raya. Kurang apa hingga
Wicak tak memilih istri yang jelita. Wicak yang menurutmu serba sempurna itu istrinya
tidak begitu cantik, seorang perempuan biasa dan sederhana. Percaya diri sekali
kau berkomentar. Kau lupa dengan statusmu yang hingga kini masih lajang
selajang-lajangnya? Usiamu hampir kepala empat!
“Kursi sontoloyo!”
katamu menghadapi kenyataan. Kursi sepasang rupanya membuatmu tidak betah
berlama di ruang tamu. Ingat kawin.
Rumah Wicak memang terkesan mistis. Tapi jika dilihat
dari luar, rumah itu bernuansa alami dan segar. Depan rumah ada Gebyok
berukir dikelilingi berbagai macam tanaman. Bunga-bunga, rumput-rumput, hingga
apotek hidup. Dindingnya berbahan kayu Jati, atapnya sengaja dibuat motif kepang,
ada dua kerajinan dari akar besar di sebelah kanan dan kiri pintu. Di rumah itu
serasa tak berlaku musim panas.
Benar saja, sekarang kau begitu betah berada di
dalamnya. Mistis tapi adem saat musim panas, dan hangat saat musim hujan. Kau
menatap lekat lukisan yang entah maksudnya apa, hanya saja bagimu lukisan itu
menarik, tapi juga mistis. Lama berpikir dan tak mendapat jawaban, pandanganmu
bergeser menuju sesuatu di atas meja. Warnanya coklat pekat, bentuknya bulat,
luarnya ada tulisan huruf Jawa. Ternyata
itu stoples kayu yang berisi permen. Ada-ada saja.
“Enak.” Satu permen berada di mulutmu sekarang.
Baiklah, Pri. Aku pergi. Jaga rumah ini baik-baik. Oh,
ya, hati-hati kalau menyentuh benda di rumah ini, tiap benda ada penunggunya,
lho! Kau tiba-tiba teringat
dengan perkataan itu. Tapi sejauh ini tidak terjadi apa-apa. Esoknya, kau tetap
melihat-lihat semua benda dalam rumah itu seperti menyaksikan acara pameran
benda langka yang tak pernah selesai.
“Wicak, oh, Wicak, dari mana kau dapatkan benda-benda
seperti ini?” gumammu ketika menyentuh miniatur perempuan cantik berselendang
tapi telanjang. Matamu makin melek.
Di rak susun teratas kau melihat ada miniatur burung
Garuda yang mungkin lupa dibersihkan. Bentangan sayapnya sedikit kusam. Benda
itu membuatmu teringat sesuatu. Sesuatu yang ingin kau lupakan.
Apa yang merasuki jiwamu tiga bulan lalu hingga tanganmu
yang ramah dengan alam ternyata tega mengambil miniatur Garuda di tumpukan
kayu-kayu sisa. Saat itu kau sadar di tempat itu tugasmu hanya mengambil kayu
yang sudah tidak terpakai, bukan kerajinan yang hampir jadi. Hatimu sempat
berontak melihat tanganmu mengais benda yang bukan milikmu, tapi akhirnya kau
tetap mengambilnya lalu memasukkannya ke dalam karung.
Pengrajin yang bekerja sempat digegerkan dengan
hilangnya miniatur Garuda yang seharusnya ada dua. Wicak marah besar. Matanya
tajam seperti mampu menusuk siapa saja yang ketahuan panjang tangan. Kau aman,
tidak ada yang menuduhmu.
Kau memang beruntung karena miniatur Garuda itu laku
sepuluh juta. “Burung Garuda melambangkan kekuatan. Jumlah masing-masing
sayapnya ada tujuh belas yang berarti tanggal kemerdekaan Indonesia. Bulu ekor memiliki jumlah delapan yang
melambangkan bulan kemerdekaan Indonesia, yakni bulan Agustus. Dan bulu-bulu di pangkal ekor berjumlah
sembilan belas helai dan di lehernya berjumlah empat puluh lima helai. Jadi
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Selain itu, lima simbol di
tengah-tengah burung Garuda melambangkan Pancasila. Setiap sila memiliki makna
sangat dalam dan menakjubkan. Miniatur ini bisa jadi oleh-oleh istimewa dari
Indonesia yang tiada duanya.” Demikian panjang kalimatmu pada seorang Bule yang
kau kenal dari pengrajin ukir tetanggamu. Kau benar-benar cerdik.
Bayangan rupiah membuatmu tersenyum. Benda di sebelah
perempuan tanpa baju tadi sangat mudah untuk kau masukkan ke dalam tas sebelum
Wicak kembali. Benda itu miniatur kucing berwajah garang. Kalau dijual mungkin
harganya berkisar lima juta. Lumayan. Kau benar-benar mengambilnya. Toh, di rak
susun itu banyak sekali benda. Tak ada satu, siapa yang tahu.
Besok pagi Wicak kembali. Malam ini malam terakhir
bagimu menikmati segala yang ada di sana. Ada dua ruang yang belum pernah kau
pijak. Malam terakhir membuat penasaranmu memuncak. Kau masuk tanpa pikir
panjang. Kau merinding, karena tiba-tiba malam itu sangat berbeda dari malam
sebelumnya. Mistisnya tidak main-main.
Bau buku menyengat merasuki hidungmu. Rak-rak buku
berbaris rapi. Buku-buku lama banyak sekali di sana. Mulai dari yang tebal
hingga yang setipis dompetmu, ada. Di belakang rak buku kelima kau dapati sofa yang modelnya sama sekali tidak modern.
Itu perpustakaan mini tempat koleksi buku-buku Wicak sejak sekolah menengah.
Kau begitu antusias melihat buku-buku dari rak ke rak. Dan….
Jantungmu berdegup kencang. Kau terperanjat dengan mata
membelalak. Tanganmu spontan memegang dada, khawatir jantungmu jatuh tiba-tiba.
Telingamu tidak salah dengar. Barusan memang ada suara seperti kucing sedang
bersin. Aneh. Kau semakin merasa ada yang tidak beres karena ruangan itu
tiba-tiba wangi. Bulu kudukmu berdiri, tapi kau memilih bersikap seperti tak
ada apa-apa. Kau memang pemberani.
Delapan belas menit kemudian suara kucing bersin itu
terdengar lagi. Aroma wangi semerbak lagi. Entah mengapa kau tak juga keluar
dari ruangan itu. Kau justru sibuk membolak-balikkan satu buku usang yang kau
ambil dari rak. Buku itu hanya berisi peta tidak jelas, warnanya saja sudah
pudar. Buku itu apa gunanya? Tubuhmu sebenarnya sudah gemetar. Keluar!
Kau menghapus semua bayangan tentang penunggu benda
seperti yang dikatakan Wicak tempo lalu. Konyol. Tidak mungkin. Miniatur kucing
dan kejadian barusan tak bersangkutan. Miniatur kucing berbahan kayu jati
terlalu sia-sia jika hanya didiamkan di rak susun, kau memutuskan untuk
mempertahankannya. Lima juta.
Satu ruangan lagi menjadi tempat tujuanmu. Tempat luas
tanpa jendela, seolah menandakan betapa besar rahasia di dalamnya. Langkahmu
sempat terhenti, di kepalamu terngiang satu kata bernama lancang. Tapi sudah
tanggung. Sudah sejauh ini aku melangkah dan menjamah, pikirmu. Tinggal satu ruang terakhir yang tersisa dan
kau memutuskan memasukinya.
Kanvas kosong terpapar. Lukisan-lukisan terpajang.
Rupanya ruangan itu milik Rinto, istri Wicak. Rinto seorang guru seni, tapi
baru ini kau melihat lukisan Rinto macam apa. Lukisannya tak ada yang
berbentuk. Di matamu lukisan-lukisan itu terlihat aneh, membingungkan,
cenderung mirip coretan anak-anak TK. Lukisan yang banyak kau temui di rumah
itu kemungkinan sebagian besar karya Rinto. Lukisan tidak jelas.
Tanganmu tertarik menyentuh lukisan yang seolah punya
mata tajam, tapi tetap saja bentuknya tidak berbentuk, tapi kau tahu ada mata
tajam. Kucing! Kucing lagi? Kau menebak itu lukisan kucing. Ingatan kejadian
tadi menyeruak di permukaan otakmu. Dan tiba-tiba suara kucing bersin kembali
terdengar. Aroma wangi memenuhi ruangan. Lehermu kau sentuh berkali-kali. Wangi
itu makin wangi.
Kau terbirit-birit menyadari banyak kejanggalan malam
ini. Pikiranmu sibuk mengira-ngira miniatur kucing yang kau ambil tadi membawa
petaka. Brak! Kau menabrak kursi ruang tengah. Kau lari lagi. Ada
sesuatu yang kau tabrak lagi. Bukan kursi.
“P… pa… pak Wicak?” Tubuhmu gemetar, keringatmu
bercucuran. Bug! Tasmu terjatuh. Satu benda keluar. Menggelinding begitu
lancar.
Wicak menatapmu. Rinto menatapmu. Mata mereka melebar
luar biasa. Sebentar lagi mulutmu itu berbusa-busa mengeluarkan pengakuan.
Hancur kau! Mati kau!
Kau ingin bertanya mengapa Wicak tiba-tiba sudah di
rumah? Bodoh! Mengapa kau setakut itu pada kucing, suara kucing bersin, dan
aroma wangi? Kenapa pula kau ceritakan miniatur Garuda dan miniatur kucing itu?
Supri, Supri, bodohmu ternyata berangkap-rangkap. Asal kau tahu, suara bersin
dan aroma wangi itu berasal dari pengharum ruangan model terbaru yang seminggu
lalu dibeli Rinto di supermarket.
Lupakan tentang pernikahan kita! Mencari uang saja kau
tidak becus! []
Kudus, 25/04/15
Sitta Zukhrufa