Dibuat pada tahun 1588, benda ini menjadi lambang
keagungan masjid Jami’ Lasem. Makutapraba, sebuah terakota (tanah bakar) juga
menjadi benda kuno yang masih dipertahankan. FOTO : AYU/PARADIGMA |
SEBUAH warung kopi tampak
dari kejauhan. Terdapat papan nama “Damai Kopi”. Namanya menunjukkan sebuah
tempat yang dituju oleh tim reporter majalah Paradigma. Lasem. Ya, Lasem. Nama warung tampak seperti mewakili
Lasem. Damai.
Tim yang terdiri atas
enam orang terus-menerus menarik tuas gas sepeda motor ke arah timur. Tak
terburu-buru juga tak lambat. Truk-truk besar memenuhi ruas jalan di jalur pantai
utara Jawa (Pantura) timur ini. Sebuah jalan yang menjadi saksi mata atas berbagai peristiwa bersejarah dan tenar
setelah dijadikan Jalan Raya Pos di era kolonial Belanda.
Setelah menempuh
perjalanan sekitar 75 kilometer dari
Kudus, tim masuk wilayah Lasem. Sejauh mata memandang, terhampar area tambak
garam milik penduduk setempat.
Bertolak dari Kudus, tim
tiba
di terminal
Lasem setelah sekitar satu setengah jam perjalanan. Perhentian pertama tentu warung
“Damai Kopi”. Sekelompok orang yang telah dihubungi menunggu di warung
tersebut. Mereka berjanji mengantarkan tim untuk menjelajah tempat-tempat
bersejarah di daerah yang terkenal toleransi keberagamaannya ini.
Dua lelaki setengah baya
menghampiri. Meskipun sudah sempat
berkoordinasi, ini pertama kalinya berjumpa.
Namanya Ernantoro,
seorang aktivis yang peduli dengan sejarah dan kebudayaan Lasem. Sebelum bertolak
menyusuri lokasi utama, yakni titik-titik yang terkait dengan perang Lasem atau
lebih dikenal dengan Perang Kuning, tim singgah di markas Forum Komunikasi
Masyarakat Sejarah Lasem (Fokmas) di RT 4 RW 1,
Desa Gedongmulya.
Sumpah tiga serangkai
Masjid Jami’ Lasem adalah
lokasi pertama yang didatangi. Masjid ini memiliki nilai dalam rangkaian Perang
Kuning. Kompleks masjid yang dulu pernah menjadi pusat kota ini terdapat
beberapa saksi bisu peradaban kota Lasem. Banyak cerita tersimpan di sini,
terutama berkait dengan peristiwa yang mengegerkan Lasem pada pertengahan abad
ke-18.
Di sebelah timur pengimaman,
terdapat mimbar khutbah berukuran sekitar dari 3 x 1 meter. Terbuat dari kayu
jati berukir dan terdapat cungkup (kubah kecil). “Meski memang pernah ada
renovasi masjid, tapi beberapa ornamen masih asli. Sama seperti saat pertama
kali dibangun,” ungkap Abdullah Hamid, pengurus Masjid Jami’ Lasem.
Daradjadi (2013), menerangkan
di mimbar tersebut awal pecahnya Perang Kuning. Jumat itu, tiga kekuatan Lasem
bersatu untuk menyerang VOC.
Sebuah
informasi tertulis dalam bahasa Jawa pesisiran terkait sumpah ini:
Sarampungi sembahyang
Jumuwahan Mesjid Jami’ Lasem kang diiimami Kiyai Ali Badlawi, nuli wewara
maring kabeh umat Islam, dijak perang sabilngrabasa nyirnakake kumpeni walanda.
Kalimat tersebut tertera
dalam prasasti yang terletak di barat makam Mbah Srimpet atau Pangeran
Tejakusuma I yang merupakan pendiri Masjid Jami’ Lasem. Diambil dari Babad
Lasem, yang makna intinya menjelaskan kronologi kejadian penyampaian Sumpah
Prasetya oleh Kiai Ali Badawi usai salat Jumat.
Terakoka makutapraba
Satu lagi saksi peradaban
masjid. Dibuat pada tahun 1588, benda ini menjadi lambang keagungan masjid Jami’
Lasem. Makutapraba, sebuah terakota (tanah bakar) juga menjadi benda kuno yang masih
dipertahankan.
Menurut Yon, terakota
tersebut sempat menjadi mustoko (puncak) Masjid Jami’ Lasem. Terakota itu kini
tak lagi di puncak masjid, tetapi tetap menjadi benda berharga, sehingga
dilindungi dengan besi yang mengurungnya setinggi satu setengah meter.
“Detail ornamen mustoko
ini terdapat bentuk semacam barongan, yang mana ini khas bergaya tradisi Hindu.
Ini tentu menjadi bukti bahwa pluralisme di Lasem sudah ada sejak zaman itu.
Ada corak Hindu dalam mustoko masjid,” tambah pria tirus ini.
Jejak lain yang dapat
ditemui di sekitar masjid yakni sebuah prasasti berbentuk papyrus (gulungan
kertas) yang disatukan dengan batu. Prasasti buatan ini menempel pada batu
besar dengan berat mencapai empat ton. Batunya diambil dari Gunung Kendil. “Ini
sebagai pengingat tentang peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Lasem,” sambung
Abdullah.
Makam Kiai Badawi pun
turut melengkapi bukti sejarah di lingkungan masjid. Dalam kompleks pemakaman
di sebelah utara masjid, terdapat makam salah satu dari tiga pemimpin
perlawanan terhadap VOC, Kiai Ali Badawi. Tak ada perbedaan dengan makam-makam
ulama pada umumnya, hanya kain putih yang menutupi kedua nisannya yang menjadi
ciri khas.
Konon menurut penuturan
Yon, dulu Kiai Badawi pernah berjanji untuk sekuat tenaga mengalahkan kompeni.
Hanya dua hal jika kemungkinan kepulangannya. Pertama ketika membawa
kemenangan. Kedua karena ia meninggal dalam peperangan.
Dipicu pembantaian
Di teras Fokmas yang juga
digunakan sebagai kantor Radio Maloka diskusi tentang peristiwa Perang Kuning
lamat-lamat mulai mengemuka kami memulai diskusi ringan tentang peristiwa tahun
1740-1742.
Menurut buku Geger
Pacinan yang tersohor itu, pemberontakan di Lasem dipicu karena pembantaian
besar-besaran VOC terhadap etnis Tionghoa di Batavia. Ribuan etnis Tionghoa gugur
dalam peristiwa ini. Beberapa dari mereka yang lolos melarikan diri ke arah kamiur.
Dan banyak dari mereka yang singgah di Lasem. Kebencian terhadap VOC oleh warga
Tionghoa di Lasem memuncak. Dan pecah ditahun 1740 yang dipimpin oleh tiga
serangkai pemimpin pemberontakan terhadap VOC. Mereka adalah Raden Mas Panji
Margana, Kiai Ali Badlawi dan Raden Ngabehi Widyaningrat.
Dalam lembaran kuning
yang ada di klenteng Gie Yong Bio yang disadur dan diterjemahkan dari Kitab
badrasanti dijelaskan Raden Mas Panji Margana yang menyamar sebagai orang tionghoa
dengan nama Tan Pan Ciang yang berpakaian baju hitam celana pangsi hitam persis
seperti pendekar kungfu pada saat itu. Ia memimpin laskar pasukan pribumi ‘Noyo
Gimbal’ di wilayah barat dan utara Godo desa Punjulharjo hingga masuk
Rembang.
Kiai Ali Badawi atau yang
lebih dikenal dengan Ki Joyotirto, seorang ulama tersohor di Lasem memimpin laskar
santri Lasem di sepanjang pantai di wilayah selatan dan kamiur mulai desa Dasun,
Tasiksono hingga Boning. Menurut penuturan Toro, di sini pernah ditemukan
peralatan pedang arab. Kiai Badawi dulu merupakan orang yang mengumandangkan sumpah
prasetya (sumpah yang menjadi pengikat kaum tionghoa, abangan dan santri di
lasem untuk bersatu menyerang VOC) dalam khutbah sholat jumat di masjid Jami’ Lasem.
Sementara Raden Ngabehi
Widyaningrat alias Oey Ing Kiat, seorang Bupati Adipati Lasem keturunan Islam
Tionghoa yang memimpin laskar tionghoa. Wilayah perlawanannya di pusat
pemerintahan yang sekarang menjadi SMP 1 Lasem. Ini dibuktikan dengan adanya
temuan bekas-bekas pertempuran. Dalam penelitian yang pernah dilakukan Arkeologi
Nasional (Arkenas) pada 1976, antara lain ditemukannya patung ganesha.
Benda-benda tersebut sekarang diamankan di museum Ronggowarsito Semarang.
Gunung bugel
Lepas dari masjid, kami
bertolak ke Gunung Bugel, tempat dimana Oey Ing Kiat dimakamkan. Pemandangan bangunan
kuno khas Lasem turut menyapa kehadiran kami di Karangturi. Suasana khas perkampungan
kuno Tiongkok sangat terasa ketika memasuki gang. Butuh sekitar dua puluh menit
untuk sampai di makam. “Dimakamkan di puncak gunung Bugel dengan menghadap ke barat merupakan permintaan Oey
Ing Kiat sendiri sebelum meninggal,” tambah Yon. Sekarang, tempat tersebut
dijadikan kompleks pemakaman bagi warga Tionghoa sekitar.
Sebutan sebagai Kota
Tiongkok Kecil yang dilontarkan Munawir Aziz dalam buku Lasem Kota Tiongkok Kecil: Interaksi Tionghoa, Arab, Jawa dalam Silang
Budaya Pesisiran (2014) semakin tegas. Bukan hanya bangunan kuno khas etnis
cina saja, di kota yang juga terkenal dengan kopinya ini pun memiliki beberapa
klenteng. Klenteng Bie Yong Gio merupakan salah satunya. Klenteng yang
didirikan tahun 1780 tak lain untuk menghormati pahlawan-pahlawan Kota Lasem
dalam perang melawan VOC pada tahun 1742 dan 1750.
Sebuah klenteng yang
menjadi bukti sejarah bahwa masyarakat Tionghoa di Lasem dapat berbaur dan
melebur bersama budaya dan masyarakat Jawa. Ini terlihat jelas dengan
diangkatnya Raden Panji Margono sebagai satu-satunya kongco (baca:dewa
laki-laki) pribumi. Bahkan di dalam klenteng ini disediakan altar atau ruangan
khusus dimana terdapat patung Raden Panji Margono.
Selanjutnya, di desa
Dorokandang, kecamatan Lasem terdapat Makam Raden Panji Margono. Di kompleks
pemakaman ini terdapat pula dua makam pengawalnya, Ki Galiya dan Ki Mursada.
Menurut kisah yang dikutip dalam lembaran kuning di klenteng Gie Yong Bio, sebelum
meninggal karena goresan pedang di lambung sebelah kirinya Raden panji Margono
sempat meninggalkan beberapa pesan.
Pertama agar jenazahnya
dikubur dibawah pohon trenggulun di Sambong dan kuburannya tanpa gundukan tanah
dan batu nisan. Kedua, meminta isteri dan anaknya diungsikan ke Narukan.
Ketiga, buku-buku suci dan pustaka badrasanti koleksinya agar dititpkan pada Ki
Badraguna, lurah Criwik. Dan yang terakhir tembang sinom gubahannya sewaktu
pulang dari perang juwana agar dilestarikan sebagai kidung para dalang dan
pesinden Lasem.
Masih di Desa
Dorokandang. Titik berikutnya yang menjadi tujuan kami adalah makam Tan Sin Ko.
Seorang pejuang lokal yang sering disebut Singseh. Danang yang ikut menjadi guide
disetengah perjalanan kami menceritakan dulu Tan Sin Ko gugur dan dipenggal
kepalanya saat kalah bertempur melawan VOC. Sebuah makam yang berukuran besar,
khas makam orang cina ini terletak di tengah-tengah persawahan menghadap gunung
bugel.
Titik terakhir yang
berhasil kami kunjungi yakni Klenteng Cu An Kiong. Sebuah klenteng yang
dibangun dengan tingkat seni yang tinggi dengan berbagai macam ukiran kayu
warna-warni. Tempat peribadatan ini diyakini sebagai klenteng tertua di
Indonesia. Dibangun sekitar abad ke-16 sekilas tak banyak perbedaan dengan klenteng
pada umumnya.
Memasuki ruang tengah
klenteng, dua buah kayu jati besar sebagai penyangga bangunan utama berdiri
kokoh menyambut setiap pengunjung yang datang. “Tiang penyangga masih asli,
sejak awal didirikannya belum pernah diganti,” ujar Irawan, penjaga klenteng Cu
An Kiong. []
Diyah Ayu Fitriyani