Istimewa |
Judul :
Nasionalisme dan Islam Nusantara
Penulis :
Said Aqil Siroj, Dkk
Penerbit :
PT. Kompas Media Nusantara
Tahun terbit :
2015
Tebal :
xii+292 hal.; 15 cm x 23 cm
ISBN :
978-979-709-955-8
Nahdlotul Ulama (NU)
sebagai salah satu organisasi massa (ormas) Islam
terbesar di Indonesia telah banyak menyumbangsihkan perjuangan dan pengorbanannya
dalam pembangunan negeri tercinta ini. Namun hal tersebut sering diabaikan oleh
masyarakat dewasa ini. Seperti Resolusi Jihad yang dibungkam sejarahnya oleh
pemerintah. Padahal ulama-ulama NU adalah sosok gigih pejuang kemerdekaan kala
itu.
Nahdlotul Ulama membuktikan nasionalismenya dengan tetap
teguh setia pada NKRI dan ideologi Pancasila. Sebab, hal tersebut dianggap
memang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bagi NU, NKRI adalah harga
mati. Seperti yang termaktub dalam sepenggal lirik lagu Syubbanul Wathon,
“hubbul wathon minal iman” bahwa cinta tanah air (nasionalisme) adalah bagian
daripada keimanan seorang hamba. Syariat agama tidak akan berjalan jika tidak
ada Negara yang mengayomi. Indonesia tidak perlu menjadi Negara Islam, tetapi
Indonesia wajib menjadi Negara yang melindungi umat Islam untuk melaksanakan
syariatnya.
Ulama-ulama NU tidak berkehendak menjadikan Indonesia
sebagai Khilafah Islamiyah, sebab
di Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama saja. Indonesia adalah Negara
yang penuh dengan pluralitas, keanekaragaman ras, suku, budaya, adat dan agama.
Sangat tidak humanis jika memaksakan kehendak untuk menjadikan Indonesia sebagai
Negara yang berdasar syariat Islam. Hak-hak minoritas perlu dihargai sebagai
wujud dari toleransi kehidupan berbangsa.
Akulturasi budaya sebagai bentuk cinta terhadap tanah air
oleh ulama-ulama NU terdahulu dalam mendakwahkan ajaran Islam nyatanya telah
berhasil merebut hati para penduduk setempat sehingga Indonesia kini menjadi
salah satu Negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Penyebaran
ajaran Islam berbasis budaya lokal tersebut telah melahirkan suatu gagasan
solutif dalam kehidupan beragama dan bernegara yang seimbang yakni Islam
Nusantara. Ajaran Islam dapat lebih membumi Indonesia lewat harmonisasi antara
adat dan kebudayaan yang telah lama mentradisi dengan syariat itu sendiri.
Sosok
Dalam buku ini juga mengisahkan Gus Dur dengan segala
keunikan sikap, ide-ide nyeleneh dan catatan kiprahnya dalam berpolitik
dan beragama. Lima tahun telah berlalu namun sosoknya masih hangat dikenang dan
diperbincangkan. Sosok kontroversialnya hingga kini menjadi kisah inspiratif di
hati para penggemarnya.
Sebagai salah satu tokoh besar dalam banom NU, Gus Dur telah
mewariskan pesan-pesan kebangsaan kepada warga-warga nahdliyin bahwa NU itu
memiliki dua sayap kanan-kiri yang harus seimbang agar dapat “terbang tinggi”
yaitu agama di sayap kanan dan Negara di sayap kiri. Gus Dur menjadi pendobrak
kejumudan (stagnasi) di NU dan simbol perlawanan NU terhadap penguasa Orde
Baru. Sebagai putra kiai yang lekat dengan kehidupan pesantren, Gus
Dur pun menguasai iptek yang selalu mengalami progress. Hal ini menyebabkan
adanya perpaduan warna antara modernitas dan tradisionalitas warga NU yang
dikemas secara apik oleh Gus Dur. Gagasan-gagasan yang dilontarkannya kadang
terasa tidak masuk akal bahkan dinilai memberontak oleh orang-orang yang tidak
memahami betul makna di balik pernyataannya.
Empatik, pluralis dan misterius adalah tiga di antara
sekian karakter Gus Dur. Ia adalah sosok yang sangat menghargai hak-hak kaum
minoritas dan berusaha memperjuangkan mereka dengan laku nyata seperti ketika
terjadi peristiwa pembakaran gereja pertama kali di Situbondo pada 1996, Gus
Dur rela meninggalkan Roma untuk mendatangi lokasi kejadian dan meminta maaf
atas tragedi tersebut. Padahal tentu itu bukanlah kesalahannya, peristiwa yang
direkayasa oleh politik namun diatasnamakan agama.
Buku yang disusun dalam rangka menyambut Muktamar NU
ke-33 di Jombang, 1-5 Agustus 2015 ini memuat opini dari berbagai kalangan berkaitan
dengan perjalanan NU selama satu periode dari tahun 2010-2015. Pada periode
kepemimpinan baru ini, ada dua titik tekan yang berbeda dengan periode
sebelumnya yaitu pengarusutamaan semangat nasionalisme dan gagasan Islam
Nusantara yang hendak disegarkan kembali dan dijadikan konsumsi publik untuk
menyuburkan semangat nasionalisme di tengah gejolak yang ada. (hlm ix-x)
Buku ini merupakan kumpulan artikel maupun esai yang
telah dimuat dalam harian Kompas. Terdiri dari 5 bab dan 66 artikel,
buku ini patut dibaca oleh seluruh umat Islam di Indonesia agar dapat
tercerahkan mengenai paradigma keislaman yang sesungguhnya. Buku ini sangat
inspiratif dan menggugah wawasan. Membaca tulisan-tulisan di buku akan mampu
menggelorakan semangat -NKRI harga mati- bagi seorang warga yang beragama dan
bernegara.
Nilam Sari, penikmat buku. Bergiat di KAMMI Kudus