Penguasa...penguasa...berilah
hambamu uang
Beri hamba
uang.. Beri hamba uang..
Ya.. andai
kata dunia tak punya tentara
Tentu tak
ada perang yang makan banyak biaya
Oh...ya
andai kata tak punya tentara
Tentu tak
ada perang yang makan banyak biaya
(Cuplikan
Lirik, Pesawat Tempur-Album 1910, Iwan Fals, 1988)
Iwan Fals memang layaknya pesawat
tempur. Ia mahir bermanuver, menukik tajam bahkan menyamar dalam mengancam
kuasa tiran. Lelaki
yang bernama asli Virgiawan Listianto
itu tak hanya menciptakan lagu
sebagai penglipur. Tetapi juga sekaligus “suara
lain”
yang mengkritik habis Pemerintah orde baru (1966-1998) kala itu.
Suaranya lantang nan merdu
mengalunkan nada-nada kemiskinan, penindasan, amarah juga penentang kebringasan
rezim. Saya rasa penilaian itu tidak hanya pendapat saya pribadi. Pasalnya,
saya bahkan menemukan analisis mendalam tentang salah satu lagu gubahan Bang
Iwan.
Tulisan itu diunggah oleh Febrantoro di blog
pribadinya dengan judul Analisis Kritis
Mengenai Ideologi Dalam Lagu Pesawat Tempur Karya Cipta Iwan Fals. Dalam
analisisnya, Febrantoro mencoba memaknai satu per satu dari lirik lagu yang
saya cuplik diawal tulisan ini.
Menurutnya,
dalam hidup tidak bisa kita mungkiri
bahwa segalanya berbasiskan uang. Kalau saja aku bukanlah penganggur sudah
kupacari kau, lirik tersebut seakan menggambarkan betapa menjadi
pengangguran bisa memutuskan harapan. Bahkan sekadar harapan asmara dan
percintaan. Dengan begitu, kita
dapat menyimpulkan bahwa keberadaan
materi adalah segala-galanya. Problemnya adalah bagaimana
kita mengatasi pengangguran?
Ironinya,
pemerintah tetap bungkam menanggapi masalah tersebut. Maka jangan salahkan jika
rakyat terpaksa harus menodong dengan
lirik selanjutnya, berilah
hambamu uang.
Atau jika kita melihatnya lebih
dalam, rakyat bukan hanya menuntut seabrek uang, akan tetapi sebuah rutinitas
penghasil uang. Demikian agar para pengangguran itu lepas dari “jabatan” yang tak menghasilkan.
Pada bait selanjutnya Febrantoro menuliskan bahwa Bang Iwan sedang menorehkan kelihaian imajinasinya.
Andai
kata dunia tak punya tentara//tentu saja tak ada perang yang banyak makan biaya//andai kata dana perang untuk diriku//tentu saja kau mau singgah//bukan Cuma tersenyum.
Lirik yang terasa seimbang dengan sebab akibat yang berujung pada tercapainya
tujuan. Maksudnya, dengan
pilihan diksi itu Bang Iwan menandaskan bahwa kritikan juga bisa dibalut dengan
hiburan. Dan, bila kita amati, itu bukan sekadar ungkapan
puitik biasa, tapi lebih tepat menggambarkan emosi penyair karena nasib yang menimpanya tak
kunjung berubah. Kiranya bisa terlihat betapa luapan emosinya serasa meledak-ledak, hingga tentara pun ingin ditiadakan. Terlebih dalam lirik dibawahnya terdapat bayang-bayang senyum
seorang Westerling.
Tentu kau mau
singgah bukan cuma tersenyum//Kalau hanya
senyum yang engkau berikan//Westerling
pun tersenyum.
Menurut Febrantoro
lirik tersebut merujuk pada kekejaman
Kolonel Westerling yang digambarkan seorang kapitalis yang benar-benar menindas rakyat
kecil. Senyum di situ bisa diartikan sebagai tindakan
yang ramah namun sebenarnya menusuk dan mematikan. Sebab, kalau hanya senyum (tidak melakukan
perubahan) yang engkau berikan, di situlah saat Westerling pun tersenyum (dengan kekejaman tetap mengakar).
Begitulah memang kritik ala Bang
Iwan. Melalui sebuah lagu yang ditambatkan pada kehidupan muda-mudi yang
dilanda asmara, pemberontakannya disampaikan. Sebuah memoar yang unik dan
sah-sah saja saya kira.
Analogi, majas, metafor memang
diperlukan dalam menyampaikan kritik. Itu bahkan nampak luar biasa jika mampu
dikolaborasikan dengan seni dan hiburan. Demikian itu lebih bermakna dan tidak
menimbulkan dampak negatif yang luas. Dibandingkan dengan ketika kritik itu
kita sampaikan secara gamblang, apalagi dengan kata kasar, aksi turun ke jalan
dengan merusak tatanan, bahkan anarkhi dan penuh ambisi.
Sebanarnya bagaimanapun bentuk
kritikan itu boleh
jadi bisa diterima. Apalagi kita dilindungi UUD No. 40 tahun 1999
tantang perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan berpendapat. Namun, tatap
saja ini kembali pada persoalan etika bernegara. Yaitu sikap saling menghargai, saling
menghormati, tenggang rasa, senasib, seperjuangan dan persaudaraan sebagai anak
dari Ibu Pertiwi.
Bang Iwan, lewat lagu-lagu
gubahannya, telah mencontohkan cara menyampaikan aspirasi dan kritikan yang
beretika. Ia menyusun kode-kode khusus dengan analogi kehidupan yang romantis
sampai yang berbau komedi. Tragedi kemanusiaan, perlawanan kepada tiran ia
sampaikan dengan sopan bernada hiburan. Hasilnya, ia tetap bertahan sebagai
orang yang dielu-elukan. Lagu-lagunya dikenang ; Lonteku, Bento, Wakil Rakyat, Oemar Bakri dan masih banyak lagi
hingga kini banyak terngiang. Demikian kritiknya tetap tersampaikan lewat “kode
etik” yang ia ciptakan.
Sampai disini, saat banyak kecanggihan teknologi
dan informasi terus berkembang, tatkala dunia tak lagi tersekat jarak, pilihan
tersedia dengan masing-masing konsekuensi. Apakah kita tetap
mengkritik dengan kebebasan dan akhirnya timbul sengsara, ataukah memilih jalan
etika dalam menyampaikan wacana. Semua ada di tangan kita.
Oleh: Kholidia Evening Mutiara*
*)
Penulis adalah Pencinta Sastra di Paradigma
Institute Kudus.