Foto: Istimewa |
“Pangan
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang tidak pernah bisa ditunda,
karena manusia tidak bisa menimbun pangan di dalam perutnya”- (Fransika
Z Rungkat)
Pangan,
dalam UU No 18 tahun 2012 merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama
dan pemenuhannya merupakan hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar
untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sedangkan kata “pangan”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai padanan kata dengan “makanan”.
Sebagai
kebutuhan dasar, makanan tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Pedagang
nasi harus bangun jam 03.00 dini hari demi menyiapkan sarapa untuk pelanggannya.
Ia tak mau pelanggannya yang ingin sarapan kecewa hanya karena makanan yang
dibutuhkan belum matang. Seorang ibu harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan
sarapan keluarganya. Bahkan ketika salah satu anggota keluarganya tidak sempat
untuk makan di rumah, seorang ibu membawakan bekal makanan. Ia tak mau anak
atau suaminya sakit. Urusan makanan adalah urusan kebutuhan tubuh, dan dengan
demikian adalah uruan kesehatan.
Ihwal
Makanan (Tho’am), Allah Sw menyebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 48 kali.
Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kata selainnya. Begitu urgen makanan
bagi kita. Purwiyatno Hariyadi dalam bukunya Ulas Pangan menyebutkan“ Jika
dianggap paling tidak setiap orang makan 3 kali sehari, setelah berumur 30
tahun, maka seseorang itu telah menyantap makanan sebanyak 30X365X3 atau
32850 kali”. Itu baru makanan berat alias nasi, belum
termasuk makanan ringan, jajanan dan lain-lain. Sebanyak itukah yang kita
konsumsi?
Al-Qur’an
membatasi makanan yang layak konsumsi dan tak layak konsumsi. Bahkan dengan
jelas ada pembatasan makanan yang halal dan yang haram. Hal ini disebabkan
karena tidak semua makanan yang masuk ke dalam tubuh kita mempunyai dampak
positif. Ada makanan-makanan yang dapat merusak kesehatan. Ada makanan yang
mempunyai dampak negatif bagi tubuh kita.
Meminjam
istilah Purwiyatno Hariyadi (2015) banyak penyakit yang diderita manusia adalah
penyakit yang berhubungan dengan pangan (foodborne diseases). Oleh karena
itu berlebih-lebihan dalam hal makan tidak dianjurkan dalam agama. Bahkan ada
perintah membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh (Wawasan
AlQur’an, 1996:136) Inilah bentuk kasih sayang sang Kholiq kepada makhluq-Nya.
Kesejahteraan
Dalam
KBBI menyebutkan kata “sejahtera” sama artinya dengan “aman sentosa” dan “makmur”,
“selamat” (terlepas dari segala macam gangguan). Terkait dengan kesejahteraan,
Allah telah memberi peringatan kepada Adam (QS. Thaha (20): 117-119). Quraish
Shihab menjelaskan bahwa istilah tidak lapar, dahaga, telanjang maupun
kepanasan dalam ayat tersebut adalah kebutuhan sandang, pangan dan papan yang harus
terpenuhi. Kebutuhan primer tersebut menjadi unsur pertama dan utama
kesejahteraan sosial (Wawasan Al-Qur’an, 1996:128)
Saya
teringat pada pelajaran IPS sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. Selain
sebagai negara maritim, Indonesia juga dijuluki negara agraris. Ya, negara yang
mayoritas penduduknya bekerja di bidang pertanian. Selain itu, Indonesia juga tersohor
dengan gemah ripah loh jinawi-nya. Tentram dan makmur serta sangat subur
tanahnya. Saya juga teringat lagunya Koes Plus “Kolam Susu”, orang bilang
tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, begitu kutipan
syairnya.
Indonesia
tanah surga, bisa dibilang seperti itu. Perumpamaan yang selaras dengan
peringatan Allah Swt ketika Nabi Adam berada di surga, di mana kebutuhan
tercukupi, dan—menurut Quraisy Shihab, merupakan unsur utama kesejahteraan.
Kemudian, benarkah Indonesia merupakan tempatnya orang-orang yang sejahtera,
tempatnya orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya?
Data Food
Agriculture Organization (FAO) memperkirakan sebanyak 19,4 juta penduduk
Indonesia masih mengalami kelaparan, (Pikiran Rakyat, 2015/06/11). Beberapa
bulan yang lalu, di NTT terancam kelaparan, (Tempo.co, 2016/01/11). Dan
saya kira masih banyak orang kelaparan yang tidak terekspos oleh media. Dua
tahun silam, bahkan sebuah media menerbitkan sebuah berita bertajuk,
“Kelaparan, 10 Desa Perbatasan Ancam Pindah Warga Negara Tetangga.” Sungguh
ironi[]