ilustrasi : ilmaiel |
Di tengah hening malam mereka tak lelah untuk
berlatih. Panggung yang beralaskan porselen putih yang warnanya telah memudar,
menjadi saksi bisu atas lakon para teaterawan.
Kamis malam, 6 Oktober 2016 teaterawan Dewa Ruji
sedang berlatih di Balai Desa Lau Dawe. Mereka tampak duduk di atas panggung
menanti giliran berlatih. Alas keramik, mereka jadikan sebagai panggung latihan
berekspresi menghayati perannya. Teaterawan
merupakan panggilan akrab bagi pemain teater (seni
peran). Di Indonesia, kesenian teater sudah ada sejak dulu. Jenis teaternya pun
beragam. Mulai dari teater yang tradisional sampai modern telah menghiasi
panggung teater nasional. Kudus, sebuah kota kecil yang terdapat banyak sekali
pegiat seni, termasuk teater. Rasa penasaran tentang bagaimana perkembangan teater
yang ada di Kudus menjadi alasan terkuat dalam penulisan ini. Tim Paradigma mencoba menelusuri jejak-jejak
teater di Kudus.
Suara gemercik air menemani iringan musik tradisional
sunda di rumah makan sederhana itu. Terlihat pria tua yang sudah beruban
bermain dengan telepon genggamnya. Aris Junaidi (53), ia merupakan tokoh
kesenian dan Ketua Dewan Kesenian Kudus. Dengan bahasa yang lugas, namun pembawaannya yang santai, ia mengawali pembicaraan tentang perjalanan kesenian teater
di Kudus.
Aris mengatakan, kesenian teater Kudus muncul pada awal
1960-an. Kesenian ini ditampilkan oleh anggota Himpunan Seni Budaya Islam
(HSBI) dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang telah
menggema di masyarakat Kudus. Bahkan teater yang ditampilkan oleh HSBI dulu
terkenal sampai ke kancah nasional. Pementasannya pun sering diadakan di Gedung
Pemuda yang sekarang dirubah menjadi ruko, tepatnya di gang empat Kudus.
Perubahan itu ketika Pemkab Kudus dipimpin oleh Bupati M Tamzil. Puncak
kejayaan seni teater ada dalam kedua organisasi tersebut. Namun, kesenian yang
menggema sampai nasional hanya seni teater dari HSBI dan Sanggar Lukis Merah
Putih.
Walaupun keduanya sama-sama mempunyai seni teater di
dalamnya, mereka memiliki perbedaan. Lesbumi cenderung menganggap teaternya
sebagai teater tradisional. “Teater ini ada beberapa tahapan sebelum
menampilkan lakon teater. Seperti ada pertunjukan musik, lawak, nyanyi baru penampilan
teater,” tandasnya.
Berbeda dengan Lesbumi, HSBI cenderung langsung
memainkan teaternya. Bukan berarti HSBI meninggalkan tahapan tersebut, namun ia
meleburkan beberapa tahapan tersebut ke dalam satu lakon. “Kedua kelompok itu
saling tumbuh bersama untuk menampilkan teater masing-masing. Tapi, keduanya ‘laa
yamuutu wa laa yahya’ (tidak ada kabarnya),” ungkap ayah tiga anak ini.
Setelah seni teater dari kedua organisasi tersebut tak
ada kabar, kemudian munculah beberapa teater modern. Salah seorang pelaku lama
teater, Bambang Sucipto (47), menuturkan bahwa sekitar tahun 1977 di bagian
timur wilayah Kudus tepatnya di Kecamatan Jekulo lahir komunitas Teater Cikal
Bakal. Teater ini eksis dan tetap bertahan sampai tahun 1989. Pada tahun
sekitar 1980-an, untuk mengembangkan seni teater ke wilayah barat Kudus,
beberapa anggota teater Cikal Bakal pun mendirikan teater yang bernama Gema
Budaya di Radio Suara Manggala. “Mereka sudah tidak produktif lagi karena
tergiur menggarap film,” ungkap Bambang atau yang biasa disapa Pak Wo saat
ditemui di kedai kopi langganannya.
Pada tahun 1985-an, lanjut Bambang, muncul teater Aji
Saka yang berada di walayah selatan Kudus, tepatnya di Desa Ngemplak, Kecamatan
Undaan. Teater ini sering mengangkat tema yang berbau religi atau keagamaan.
Mulai tahun 70 – 80-an ini teaterawan benar-benar
memainkan teater secara lahir batin. Artinya, mereka fokus mendharmabaktikan
untuk kesenian teater. Terakhir ada Teater Saka Budaya tahun 1994. Jenis teater
yang dimainkan berupa drama kolosal dan penontonnya kebanyakan dari sesama
komunitas teater sendiri.
Kemudian pada awal 90-an juga muncul beberapa teater.
Wilayah utara Kudus lahir Teater Kuncup Mekar. Teater ini merupakan embrio dari
Teater Samar yang berdiri pada tanggal 1 Maret 1998. Kemudian di Kudus Kota
muncul Teater Lincak, sedangkan bagian barat ada Teater Poentoen. Dari anggota
Poentoen ini juga melahirkan beberapa komunitas teater yang lain misalnya
Teater Koin, Tiga Koma dan Soko Siji.
Banyaknya komunitas teater yang bergeliat di Kudus tak
terlepas dari masyarakat Kudus sendiri. Kebanyakan dari mereka bekerja atau
menuntut ilmu ke luar kota dan di sana mereka masuk ke komunitas teater.
Kemudian setelah kembali pulang, mereka terus mengembangkan jiwa seni teaternya
di Kudus.
Menurut Bambang, sebelum tahun 1994, hubungan para
komunitas teater sifatnya individualis. Artinya hanya sibuk dengan kelompoknya
masing-masing. Tidak ada hubungan kinerja antara teater satu dengan lainnya. Sampai
akhirnya, pada tahun 1996, Teater Lincak mempelopori adanya Kemah Bhakti Teater
1 yang diadakan di Desa Menawan, Kecamatan Gebog. Pesertanya terdiri dari
sembilan komunitas teater. Namun, dari beberapa teater yang disebutkan di atas,
hanya teater Samar, Poentoen, dan Kuncup Mekar yang masih ada sampai sekarang.
Sedangkan yang lain anggotanya pecah entah ke mana. Kesulitan yang dialami
teater pada masa itu adalah regenerasi. “Tahun 1970–1990–an gagalnya pada
regenerasi mas,” ungkapnya sambil meminum jahe hangat.
Bambang juga sedikit menyinggung mengenai identitas
teater yang sebenarnya, yaitu untuk kembali mengedepankan filosofi teater.
“Teater bukan menjadikan orang sebagai artis. Tapi menjadikan seseorang itu
siap memerankan lakon apapun di dunia ini. Kejar tayang perlu, tapi
jangan melupakan filosofi sebenarnya dari teater,” pungkas ayah dua anak ini.
istimewa |
Jago Kandang
Keberadaan teater Kudus pada era reformasi ini semakin
ramai. Hal ini tak terlepas dari adanya Festival Teater Pelajar (FTP) Kudus
yang diinisiatori oleh Teater Djarum secara konsisten setiap tahun. FTP ini
dimulai sejak tahun 2008 silam. Kala itu, seni teater dilombakan dan menarik
minat para pelajar, sehingga lahir beberapa komunitas teater dalam ruang
lingkup sekolah. Kalau dalam dunia sekolah dan kampus terdapat banyak teater,
seperti Teater Apotek dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi Duta Karya
dan Teater Satoesh dari STAIN Kudus. Para komunitas teater tersebut pun ada
yang lahir dari masyarakat, misalnya Teater Keset dan Dewa Ruji sekitar tahun
2009 ke atas.
Jumlah komunitas teater saat ini yang ada di Kudus
sangat banyak. Mulai dari komunitas teater mandiri, sekolah maupun kampus. Asa
Jatmiko (40), selaku praktisi teater terkenal Kudus mengatakan bahwa setidaknya
ada 50 komunitas teater Kudus. Terdiri dari 40 teater sekolah, 6-an teater
kampus, dan 12-an teater mandiri. Dari semua komunitas teater yang ada, diperkirakan
teater pelajar akan bertambah tiap tahunnya. Keberlangsungan teater pelajar,
lanjut Asa, bergantung kepada pihak sekolah (guru dan pembimbing teater).
“Melihat perkembangannya dari tahun ke tahun, sangat mungkin tahun depan
bertambah pesat,” ungkap Asa.
Berbeda teater pelajar, perkembangan teater kampus
menurut Asa sedang stagnan. Syukur-syukur yang ada sekarang bisa bertahan dan
berkarya rutin. Tak jauh beda dengan kampus, teater mandiri pun menunjukan
gejala yang hampir sama, yakni stagnasi. Tetapi kelompok-kelompok yang ada akan
berkembang untuk meningkatan kualitasnya. “Kalau toh bertambah, tidak
akan banyak. Mengingat tokoh-tokoh teater di Kudus masih ajeg. Sedangkan penerusnya masih merasa belum berani. Ini tantangan
buat kita,” lanjutnya.
Dibandingkan kabupaten lain, seni teater di Kudus sekarang dinilai paling aktif dan
konsisten dalam berproduksi. Namun, menurut Asa, teater Kudus hanya jago kandang. Belum berani keluar dan masih banyak persoalan
internal yang perlu diperbaiki. Yang terpenting bagi Asa ialah menghargai
proses. Karena pementasan teater tidak serta merta langsung menjadi baik.
Semuanya membutuhkan proses yang lama.
Solusi
Sambil menyesap rokok yang telah disulut, dia
menyodorkan solusi mengenai permasalahan yang kini dihadapi. Solusi yang
ditawarkan Asa atas masalah tersebut sangatlah sederhana. Ketika latihan,
sesama komunitas teater ini diundang dan disuruh menilai sebelum pementasan.
Mereka boleh mengkritik, ‘membantai’ penampilan saat latihan berlangsung,
kemudian saat memberi saran untuk memperbaiki penampilan yang ada. Ketika
pementasan dimulai, tinggal melihat kekurangan yang ada dan diperbaiki.
Asa mengungkapkan beberapa komunitas teater di Kudus
sekarang kurang saling mendukung. Mereka memiliki egoisme masing-masing dalam
bermain teater. Akibatnya, saat teater lain main, teater yang satu mengkritik
dengan pedas. “Tidak adanya apresiasi sesama komunitas teater lain, sehingga
membuat teater Kudus kurang bersatu,” pungkasnya.
Hal
berbeda diungkapkan oleh Edi Purnomo, salah satu anggota Keluarga Segitiga Teater (Keset) Kudus. Edi, atau yang sering disapa Buseng menjelaskan bahwa
teater Kudus saat ini lebih komunikatif. Namun, ia tidak
menyangkal bahwa sempat ada ketidakharmonisan antar-teater. Menurutnya, ketidakharmonisan
tersebut disebabkan karena masing-masing teater memiliki ideologi dan persepsi
mengenai kualitas penampilan teater.
“Sekarang berbeda, teater kini lebih dekat realis dan
dimodifikasi menjadi drama, absut menjadi sosial, surialis menjadi berkomedi,”
pungkas Edi. []