ilustrasi : http://www.nsecuk.org |
Beberapa hari terakhir ini di LPM Paradigma
membicarakan masa depan dunia pers yang kini sedang menghadapi badai informasi.
Salah satu teman mengatakan bahwa dunia pers sedang dalam ujian identitas.
Banyak media baru terutama di media sosial yang tak terbendung produk
jurnalistiknya. Terlepas itu memenuhi etika jurnalistik atau tidak faktanya
publik mau membaca dan membagikannya di kronologi dinding mayanya.
Sementara itu Harian Kompas menyebutkan dunia
kita sedang darurat kabar bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate
speech). Itu bukan tanpa alasan, adanya hoax pun ternyata telah
memakan korban. Tepatnya di Desa Curug, Kecamatan Kadanghaur, Kabupaten
Indramayu luka itu masih membekas.
Sekitar 2.000 warga desa tetangganya itu tiba-tiba
menyerang rumah warga, melempari rumah dengan batu dan balok. Kerusuhan itu
dipicu kabar bohong oleh salah satu akun Facebook milik warga yang kemudian
membakar amarah. Data tahun 2016 Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI,
menerima 4.426 laporan yang meyoritas menyangkut masalah penghinan, ujaran
kebencian (Kompas, 06/02/2017).
Di Ambon, tahun 1999 lalu pun pernah menjadi korban
kedua penyakit masyarakat itu. Dalam catatan Kardono Setyorakhmadi
(seorang wartawan), Komisioner Komnas HAM Maluku, Jusmalinda Holle pernah
menyatakan bahwa konflik dua dekade lalu merupakan settingan orang luar
yang membuat penduduk Maluku saling baku hantam.
Dugaan itu bukan isapan jempol belaka. Pada 11 September
2011 dua orang beda agama terbunuh. Satu beragama Islam dan satunya lagi
Kristen. Keduanya dibuang di kampung Islam dan Kristen sesuai agama mayat tadi.
Di atas jasad itu diberi tulisan bahwa mereka adalah korban kecelakaan yang
berujung pada perselisihan antaragama. Dan, setelah ditelusuri ternyata
kecelakaan itu fiktif.
Banyak kejadian lain yang mungkin tak terekam.
Kampanye anti hoax pun terus disuarakan. Hari ini (09/02) kegiatan itu
akan dikrarkan serentak secara Nasional dari Ambon. Yaitu bertepatan dengan peringatan
ulang tahun PWI dan Hari Pers Nasional (HPN). Ini menjadi penting sebab banyak
resolusi yang akan disepakati oleh pegiat pers dan literasi di kota bagian
timur Indonesia itu.
Pertama, menghambat laju hoax dan membentuk
kesadaran masyarakat agar tidak mudah terprovokasi. Masyarakat Indonesia ialah
tipe masyarakat eksploratif. Masyarakat kita suka Kepo terhadap suatu
persoalan yang kemudian mencarinya labih jauh melalui media lain yang belum
tentu resmi. Untuk itu penting agar media arus utama menampilkan produk jurnalistik
yang mampu memenangi pola pikir masyarakat secara luas.
Media harus mampu menjadi rujukan publik agar tidak
hanya menuntut rating dan oplah penjualan serta iklan. Artinya berita yang
disuguhkan hendaknya diupayakan juga menampilkan solusi pemahaman yang
menyejukkan.
Kedua, menggiatkan cinta literasi dan sadar bermedia. Tidak
bisa dipungkiri bahwa Indonesia kini masih berada dalam posisi rendah dalam
jajaran negara dengan tradisi membaca terbaik. Waktu luang yang digunakan oleh
orang dewasa di Indonesia (2-4 jam sehari) masih dibawah standar UNESCO (4-6
jam sehari). Ini diperparah dengan kebiasaan membaca berita secara sekilas. Ini
menggambarkan lemahnya fondasi masyarakat untuk berpikir logis dan kritis.
Budaya membaca dan mengedepankan etika menjadi keharusan yang tak bisa ditawar.
Ketiga, Verifikasi media dan pengawasan secara
berkala. Meski langkah ini masih diragukan bisa berhasil setidaknya menurut
saya tetap harus dicoba. Masalah utamanya bukan pada kekhawatiran akan adanya
pembatasan kebebasan berpendapat. Tetapi langkah ini diharapkan bisa memudahkan
masyarakat untuk memilih media yang bisa menjadi rujukan informasi.
Peran Pers Kampus
Ketiga resolusi diatas dan kampanye anti hoax
sebenarnya akan sia-sia manakala ideologi kita tetap keukeuh pada egoisme
dan fanatisme buta. Terlebih saat media tertentu telah condong kepada ideologi
dan pemikiran yang tidak sejalan dengan kepentingan publik Indonesia. Maka
tidak heran jika masyarakat kini seolah dikotak-kotakan oleh pola pikir yang
sulit mencapai kata sepakat.
Dalam moment seperti ini lah pers kampus seharusnya
bisa berperan nyata. Berbekal idealisme dan naluri kritisnya para aktivis pers
kampus bisa menyuarakan potensi dan kearifan lokal disekitarnya. Pers kampus
tidak boleh hanya sibuk mengurusi internal dengan kritikan dan terkadang berita
yang juga dilebih-lebihkan. Banyak pekerjaan dan persoalan diluar kampus yang
juga menuntut untuk dipikirkan.
Sampai sini kita harus sadar bahwa tujuan utama kita
ialah menjaga keutuhan bangsa dan negara. Media massa merupakan salah satu alat
untuk menyatukan pemahaman, mencapai kesepakatan untuk menentukan langkah
membangun bangsa.
Terlebih kita harus juga berpegangan kepada tri dharma
perguruan tinggi. Di dalamnya terdapat sumpah untuk juga melayani kepentingan masyarakat
secara luas. Di tengah era persaingan yang semakin ketat pers kampus juga harus
tetap eksis dengan ciri khasnya. Sebagai agen perubahan untuk kita masyarakat
Indonesia.
HPN di Ambon menjadi titik balik perubahan besar pers.
Sebuah resolusi pemuh makna dari negeri semenanjung raja-raja. Dengan segudang
pengalaman mengatasi konflik sebab media.
Salam Persma!
Oleh : Muhammad Farid