Istimewa |
Judul Buku : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit : Cetakan I, Juni 2015
Tebal Buku : 135 halaman
ISBN :
978-602-03-1843-1
Sapardi Djoko
Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Ia adalah seorang guru besar pensiunan Universitas
Indonesia (sejak 2015) yang mengabdikan dirinya sebagai penulis. Melalui
puisinya yang berjudul Hujan Bulan Juni,
SDD (begitu sapaan akrabnya) mengembangkannya menjadi sebuah novel dengan judul
yang sama.
Puisi
“Hujan Bulan Juni”
tak ada
yang lebih tabah
dari
hujan bulan juni
dirahasiakannya
rintik rindunya
kepada
pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada
yang lebih arif
dari
hujan bulan juni
dibiarkannya
yang tak terucapkan
diserap
akar pohon bunga itu
Bercerita
tentang lika-liku kehidupan Sarwono sebagai tokoh utama, SDD seolah mengungkap
kisah pribadinya yang sedang menjalani kehidupan di latar Universitas
Indonesia. Alkisah, dosen muda di bidang Antropologi bernama Sarwono sedang
jatuh cinta kepada Pingkan, pengajar prodi Jepang di universitas yang sama.
Jauh sebelum itu, Sarwono dan Pingkan
sebenarnya sudah lama saling mengenal. Lantaran hubungan pertemanan antara
Sarwono dengan Toar, kakak Pingkan. Perjalanan kedua insan yang
ternyata saling mencintai itu
tak selalu mulus. Begitu
banyak aral yang melintang, termasuk perbedaan suku, budaya dan agama. Meskipun
demikian, mereka tak mempersoalkannya. Mereka tetap menjalani romantika di
sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.
Awal kisah diceritakan tentang
kekaguman Pingkan pada Sarwono. Selain sebagai peneliti, tulisan-tulisan
Sarwono juga selalu menghiasi media cetak. Bisa dibilang ia menjadi pengisi
tetap, terutama melalui sajak puisi-puisinya. Kepiawaian Sarwono dalam membuat
bait-bait puisi itulah yang membuat Pingkan semakin jatuh hati. “Kata temannya yang menjadi redaktur
budaya koran Swara Keyakinan,
puisinya akan dimuat hari itu. Koran sore yang menyediakan ruangan
khusus sastra setiap Sabtu.” (Hal.2)
Suasana Bulan
Juni yang biasanya diselimuti panas tinggi kini berubah seketika. Entah mengapa
hujan tiba-tiba datang. Padahal
Bulan Juni tidak bisa dipisahkan dari bedhidhing.
Kalau siang panas minta ampun. Tidak ada awan di langit, masih juga ditambah
dengan polusi. Tetapi kalau malam panas bumi membubung ke atas atmosfir dan
dunia ini ditinggalkan dalam keadaan kedinginan. (Hal.
15)
Dingin yang
selalu menetap dalam kegelapan malam itu terkadang memaksa Sarwono untuk selalu memakai
jaket kesayangannya. Demi menutupi tubuhnya yang kerempeng karena batuk-batuk yang diderita.
Keadaan lemah Sarwono itu sebenarnya sudah diketahui oleh kekasihnya, namun
tetap saja Pingkan selalu mencintainya.
Studi ke Jepang
Kehidupan di
Jakarta kini rasanya mulai berubah, bagi Sarwono. Karena seiring berjalannya
waktu, Pingkan harus melanjutkan studinya ke Jepang. Saat itulah Sarwono mulai
takut akan kehilangan kekasihnya. Bukan karena meragukan cinta Pingkan, namun
karena di Jepang ada sosok sontoloyo Katsuo yang dulu pernah sangat dekat
dengan Pingkan.
Akhirnya
saat-saat yang dikhawatirkan datang juga. Pingkan yang sudah berada di negeri
Jepang, kini menikmati indahnya pohon sakura yang berbusana bunga putih dan
kemerahan berkemerkahan bersama Katsuo. Hal yang selalu diimpikan itu benar-benar dilihatnya sampai
puas. Karena ia tahu lembar demi lembar keindahan bunga yang ia lihat harus segera gugur untuk melepaskan
diri dari sisa-sisa udara dingin yang menerpa.
Sementara itu, Sarwono yang masih menetap di
negerinya hanya bisa
berhubungan melalui WA dengan Pingkan. Ia hanya bisa berharap agar waktu dapat secepat
mungkin mempertemukannya dengan Pingkan. Namun, apalah daya. Nasib memang
diserahkan kepada manusia untuk digarap. Tetapi takdir harus ditandatangani di
atas meterai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau
buruk. (Hal.20)
Sarwono yang sekian lama ditinggalkan
oleh Pingkan kini diketahui jatuh sakit. Ia menderita paru-paru basah. Keadaan
yang cukup parah, ditambah dengan benak dan hatinya yang basah karena menahan
rindu ingin bertemu dengan Pingkan, kekasihnya.
Cerita yang mengharukan akhirnya
ditutup dengan “Tiga Sajak Kecil” karya Sarwono yang dulu pernah dimuat di koran Swara Keyakinan.
Sajak ke tiga, Kita tak akan pernah bertemu;//aku dalam
dirimu//tiadakah pilihan//kecuali di situ?//kau terpencil dalam diriku (Hal.133)
Ini yang menjadikan para pembaca
masih menebak-nebak ending-nya.
Terkesan menggantung, sehingga dianggap cukup membingungkan. Apakah akan menjadi
sad ending atau malah sebaliknya.
Atau bisa jadi novel ini masih akan dilanjutkan dengan sequel atau seri lainnya yang akan datang. Mungkin itu memang salah
satu taktik yang dipilih penulisnya dan menjadi sebuah keunikan tersendiri.
Novel “Hujan Bulan Juni” ini
bersampul menarik. Ketika pertama kali melihat sampulnya, terasa daya tarik
yang bisa memikat siapapun yang memandangnya untuk segera membaca. Bersampul
sederhana namun elegan. Ditambah penulisan judul buku dengan efek terlihat
pudar seakan terkena rintik hujan.
Alur cerita yang disuguhkan memang bisa membuat baper (baca: bawa perasaan) bagi
para pembacanya. Buku “Hujan Bulan Juni” ini di dalamnya juga tak jarang
disisipkan beberapa syair atau bait puisi. Namun saya merasa bahasa sastra yang
digunakan dalam novel ini terlalu tinggi. Sehingga
saya agak kesulitan memahami makna per kalimatnya. Waktu yang digunakan untuk
menghabiskan satu buku ini pun menjadi cukup lama.
Terlepas dari hal itu, sosok penulis
Sapardi Djoko Damono dapat menginspirasi kita, terutama bagi kalangan muda. Karena penulis
yang sudah mencapai usia 75 tahun itu masih saja produktif dalam melahirkan
karya-karyanya.[]
Qurrotu A'yun