Oleh : Faqih Mansyur Hidayat*
PT Freeport Indonesia (FI) menyatakan tidak dapat menerima syarat-syarat yang diajukan pemerintah dan tetap berpegang teguh pada kontrak karya. Penyelesaian sengketa di Mahkamah Arbitrase Internasional akan menjadi pilihan jika tidak ada jalan keluar, (Kompas, 21/2).
Sejak terbitnya Peraturan Menteri (PERMEN) Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) Nomor 1 Tahun 2014 yang mulai berlaku 12 Januari 2017 membuat hubungan pemerintah Indonesia dan FI memanas. Dalam peraturan itu disebutkan perusahaan pertambangan hanya dibolehkan mengekspor konsentrat (mineral hasil pengolahan) sampai 11 januari 2017.
Namun pemerintah cukup baik hati dengan memberikan solusi berupa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang berlaku sejak 11 Januari 2017. Dengan PP itu Freepot Indonesia (FI) tetap bisa mengekspor konsentrat sampai lima tahun kedepan dengan syarat bersedia mengubah status operasi dari kontrak karya (KK) menjadi ijin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Dalam IUPK, FI dikenai kewajiban membangun smelter, wajib divestasi saham sedikitnya 51 persen dalam masa 10 tahun ke depan dan mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku (prevailing). Divestasi tersebut naik dari sebelumnya 30 persen. Dan hingga saat ini Freepot Indonesia baru melepas 9,36 persen saham.
Ketentuan itu yang membuat FI cukup berat hati. Keberatan itu terutama pada syarat kewajiban divestasi 51 persen dan skema perpajakan prevailing. Dalam siaran pers, FI menyebutkan permintaan pemerintah agar mereka mengakhiri kontrak karya tahun 1991. Selanjutnya akan digantikan dengan izin operasi yang tidak pasti dan persetujuan ekspor 1,1 juta ton konsentrat dari Januari 2017 sampai Februari 2018 dengan syarat Freepot Indonesia memenuhi persyaratan di dalam PP.
Ketidaksetujuan itu membuat wacana bahwa FI akan menggunakan hak untuk arbitrase serta meminta ganti rugi kepada pemerintah di Mahkamah Arbitrase Internasional sebagai lembaga yang berwenang.
Menariknya, Menteri ESDM Ignasius Jonan merespon dan meladeni Freepot Indonesia. Menurutnya langkah arbitrase sebagai jalan yang lebih baik ketimbang menggunakan isu pemecatan karyawan sebagai alat untuk menekan pemerintah.
Jika seperti itu Pemerintah nampaknya perlu membuka kembali memori bahwa Indonesia juga pernah menempuh jalur arbitrase di Mahkamah Arbitrase Internasional. Yaitu antara PT Pertamina dan Karaha Bodas Company (KBC) yang berakhir kekalahan di pihak PT Pertamina.
Berawal dari adanya dua kontrak mengenai Proyek PLTP Karaha yaitu proyek pengembangan listrik panas bumi 400 mega waatt yang ditandatangani pada 28 November 1998 dalam bentuk dua kontrak. Pertama, Joint Operation Contract yang melibatkan Karaha Bodas Company (KBC) dengan Pertamina. Dan, kedua, Energy Sales Contract yang melibatkan Pertamina, Karaha Bodas Company dengan PLN. Dalam kontrak ini PLN bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan.
Sayangnya, karena terjadi krisis ekonomi di Indonesia Proyek PLTP Karaha itu ditangguhkan melalui Keputusan Presiden Nomor 39/1997. Saat itu lah Pertamina menghentikan kegiatan yang berhubungan dengan Proyek PLTP Karaha.
Hingga pada April 1998, KCB menggugat Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss. Meski pada kenyataannya tindakan itu dilakukan oleh Pertamina sebab daya paksa atau forje majeure akibat adanya Keputusan Presiden. Namun KBC tidak memedulikan hal itu sebab kontrak telah disepakati.
Akhirnya pada tahun 2000 Mahkamah Arbitrase International Swiss mengabulkan gugatan KBC dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi US$ 111,1 Juta untuk kerugian pengeluaran dan US$ 150 Juta untuk kerugian keuntungan (lost of profit) ditambah bunga 4% per tahun sejak 1 Januari 2001.
Kita tentunya tidak menginginkan hal serupa terjadi lagi. Kalau kita amati, ada dua alasan mendasar penyebab kekalahan Pertamina. Pertama, kurang memperhatikan kondisi ekonomi dalam negeri saat menyetujui kontrak. Kedua, lemahnya kapabilitas kuasa hukum yang diajukan. Ketiga, kurangnya konsolidasi dan kekompakan antar lembaga yang terlibat, yaitu BUMN, Kementrian ESDM dan Legislatif.
Kalau memang jalur hukum arbitrasi sudah menjadi pilihan utama pemerintah. Pemerintah harus memperhatikan segala aspek, termasuk kelemahan hukum Indonesia itu. Patut diingat juga bahwa PT Freepot Indonesia telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia, khususnya Papua. FI juga termasuk “pemain lama” dalam percaturan bisnis di Indonesia. Maksudnya, ada kemungkinan bahwa FI juga telah banyak mengetahui peta politik, sosial dan ekonomi masyarakat kita.
Dalam hal ini pemerintah harus lebih jeli dalam menyiapkan langkahnya. Selain itu, pemerintah juga tetap harus waspada dengan tangan-tangan “hantu” yang bisa merugikan pihak Indonesia. Ketegasan tetap diperlukan sebagai upaya mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Indonesia sebagai suatu Negara.[]
*) Faqih Mansyur Hidayat, Mahasiswa Jurusan Syariah dan E.I. STAIN Kudus, bergiat di Paradigma Institute Kudus di Divisi Pusat Data dan Dokumentasi
Tulisan ini dimuat di Tribun Jateng, Kamis (22/02/17) rubrik forum mahasiswa. http://jateng.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=2