ISTIMEWA |
Barangkali geram menghujam dalam, ketika berbagai jurus diperagakan
menangkal banjir, mental. Peristiwa alam yang kedatangannya dapat dipastikan
oleh ilmu pengetahuan itu sering dibicarakan. Hasilnya tidak jauh beda dengan
tahun-tahun sebelumnya. Mungkin yang membuat bergairah adalah adanya temuan
baru pada daerah langganan banjir. Dari segi asal muasal banjir, kata kuncinya
tidak jauh bergeser, atas ulah manusia sendiri!
Namun apakah kita pernah memikirkan jalan lain yang nampaknya
berpotensi menangkal banjir? Bukan dari sisi ilmu pengetahuan atau sekedar
pengalaman. Tetapi sebuah nilai yang tak lekang zaman. Nilai itu menjaga dan
mengawal prilaku manusia agar sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Tidak rasional
memang, tetapi nilai itu tidak untuk dirasionalkan. Nilai itu berada di
belakang gerak manusia. Sangat sakral dan tidak ada yang berani melanggar. Ada punishment
jika melanggar, dan sebaliknya mendapat reward jika melaksanakannya.
Mukallam dalam tulisan berjudul “Ketika Mitos Memiliki Nalarnya
Sendiri” (Kompas, 17/01/09) menjawabnya. Nilai itu adalah mitos. “Mitos
merupakan semesta pengetahuan manusia tradisional dalam memaknai eksistensi
diri, asal-usul alam semesta, dan berbagai peristiwa dramatis dalam kehidupan,”
tulisnya pada awal alinea.
Mitos bukan sekedar isapan jempol di kala jadul (jaman dulu), namun
menciptakan segumpal tindakan bijak, kearifan lokal. Bagaimana mitos menabrak
kucing akan menimpakan kesialan, menebang pohon yang disakralkan penduduk desa
melahirkan petaka, atau membunuh satwa tertentu juga berarti celaka akan
datang.
Nilai humanisme mendekam dalam kearifan lokal.
Manusia bersikap layaknya manusia normal, saling asah, asih, asuh terhadap
sesama mahluk hidup. Karena manusia bukan hewan yang seenaknya berkehendak. Manusia
dianugrahi Tuhan sebongkah akal, untuk berpikir mana yang baik dan buruk. Apakah
menebang pohon dengan membabi buta, suatu tindakan baik? Apakah membuang sampah
sembarang juga tindakan terpuji? Demikian seterusnya. Maka jika, manusia
membelot dari humanisme, apakah tepat dia dikatakan manusia?
Mitos Air
Adalah Masaru Emoto seorang pengagum kristal air asal
Negeri Sakura mulai menciptakan mitos tentang air. Melalui penelitiannya yang
kontroversial, Emoto mendedahkan kepada dunia bahwa “Air itu hidup dan dapat
membaca pesan, lalu meresponnya”. Di dalam bukunya The True Power Of Water, Hikmah
Air Dalam Olah Jiwa, MQ Publising, 2006, kita bisa menyimak kehebatan air. Air
mampu menjadi media penyembuhan. Bahkan dia menegaskan melalui buku The
Secret Life Of Water, bahwa bencana Tsunami di Aceh bisa jadi karena
akumulasi ketegangan dan ketakutan akibat perang RI-GAM sehingga air
benar-benar membaca kecemasan seluruh masyarakat Aceh (2006: x-xi).
Dengan penelitian itu, Emoto berpesan untuk
menghormati air. Artinya kelestarian dan siklus air harus diperhatikan. Bencana
Banjir yang menyapa hari-hari terakhir ini, menyiratkan pesan akan minimnya
sikap penghormatan itu. Buktinya air tidak lagi bersahabat dengan manusia. Sungai-sungai
tempat air mengalir telah dikotori dengan zat-zat kimia. Pembuangan limbah
pabrik dan sampah rumah tangga menjejal
pada aliran sungai. Akibatnya air pun, dalam pandangan Emoto, memberontak.
Karena mendapat pesan negatif dari ulah manusia.
Temuan Emoto, baiknya kita dudukkan sebagai
sebuah mitos tentang air. Dalam buku The Untrue Power of Water, Yoroshii
Haryadi dan Azaki Karni, 2007, Hikmah (Mizan Group), ditarik konklusi, bahwa
penemuan Emoto tidak sesuai dengan standar ilmiah. Dengan kata lain, hasil
penelitian itu tidak dapat diterima, sebagai produk ilmu pengetahuan.
Anti tesis atas Emoto itu telah melalui proses kajian
ulang. Emoto salah menggunakan prosedur penelitian. Emoto tidak mendasarkan
eksperimen yang bersifat double blind. Maksudnya, peneliti yang memilih
sampel air, menuangkan ke wadah, memberi label dengan kata-kata, dan
membekukannya, haruslah orang yang berbeda dengan peneliti yang menganalisis es
untuk difoto.
Jika hanya satu orang yang mengerjakan kedua
tahap penelitian itu, maka dia bisa dengan mudah memllih bagian dari air beku
itu sesuai apa yang dikehendaki. Hal itu dikenal dengan istilah corfirmation
bias—memilih yang cocok dengan pendapat semula (2007 : xxiii). Dalam buku
itu juga dikisahkan Emoto ditantang untuk membuktikannya di tempat umum, namun
tidak digubrisnya, meskipun jika berhasil, mampu memertahankan penemuannya,
akan mendapat hadiah 1 juta dolar dari sang penantang Jamer Randi.
Merajut Kearifan
Namun sayang, masyarakat terlanjur memercayai
temuan Emoto. Sangat sulit kiranya menghapus memori kolektif kehebatan air dari
benak masyarakat awam, meskipun dalam persepektif ilmu pengetahuan, Emoto gagal.
Setidaknya Emoto sendiri, secara tidak langsung menciptakan Mitos Air.
Sisi positif dari Mitos Air adalah adanya
kehendak menghormati air, tidak mencemari sungai dengan zat-zat kimia,
misalnya. Mitos Air dari Emoto harus didengungkan di setiap saat. Karena
bencana banjir selalu mengintai di setiap waktu. Selama perusakan dan pebalakan
liar terhadap hutan terus berlangsung dan minimnya pernghargaan terhadap bumi
dan alam maka, mitos itu akan selalu berkibar.
Belum terlambat jika kita mempercayai bahwa air
itu hidup, mampu membaca pesan yang ditebarkan manusia dan meresponnya. Sepak terjang
manusia terekam di dalam memori air, suatu saat air akan memberitahukan kepada
manusia tentang apa saja yang telah dilakukannnya, baik atau burukkah? Dan
itulah yang akan menjadi cerminan.
Menilai sesuatu memang tergantung dengan sudut
pandang yang digunakan. Mitos Air akan menjadi mantra ampuh penangkal banjir,
jika melihatnya dengan kacamata tradisional (local wisdom). Sebaliknya
Mitos Air adalah bualan Emoto dan keyakinan nirfakta.
Dengan demikian, Mitos Air adalah lempeng besi
panas yang akan dibuat sesuatu, tergantung pandai besi dan tujuannya. Dan kini
kita menjadikannya penangkal bencana banjir yang menyembulkan kepedihan.[]
Zakki Amali
Wartawan Suara Merdeka