Istimewa |
Senja yang merah. Senja yang
menyiratkan kekalahan siang. Atau hanya sekedar waktu bertemu dan kawin antara
siang dan malam, cahaya dan gelap, yang nyata dan yang maya, mungkin juga aku
dan kau. Senja itu, tiba-tiba kau memintaku menemuimu di taman kota. Tak
biasanya. Biasanya kau memintaku langsung ke rumahmu, atau paling tidak
menemuimu di rumah, baru memutuskan ke suatu tempat untuk melanjutkan obrolan
kita, memperpanjang kisah intim kita. Kali ini rumah tak cukup ramah bagimu ku
kira.
Ya, aku akan menemuimu. Ya,
karena kita telah punya ikatan. Kau adalah calon istriku. Sebulan lalu kita
telah bertunangan bukan? Menjemput ke rumahmu pun akan aku lakukan, seperti
biasanya. Tapi kenapa kali ini tidak? Aih, sudahlah. Mungkin kau ingin
memberiku kejutan, atau ingin membuktikan kini kau sudah tak terlampau manja.
Itu saja.
Usia kita hanya terpaut dua
tahun. Kemarin usiaku tepat genap kepala tiga. Tapi kau tetap gadis manja. Tak
beda dengan anak SMA. Mungkin sifatmu tak beda ketika kau SMA dengan saat ini.
Bodohnya, aku suka manjamu meski kadang menjengkelkan, sehingga aku terpaksa
menyindir tentang usiamu. Kau ulet tapi suka mengeluh. Kau cantik dengan
kesederhanaan tampilanmu, tapi selalu menganggap serius setiap masalah. Aku tak
balas pesan singkatmu dalam satu jam misalnya, kau anggap aku marah. Seperti
kejadian seminggu yang lalu. Kau pun mengirim puluhan pesan singkat berisi
tanya dan permohonan maaf. Tak cukup dengan itu, kau mencoba menelpon tapi tak
kunjung ku angkat. Tidak, sayang, aku tidak pernah marah padamu. Manjamu,
keceriaanmu selalu bisa meredam marah, luka, sedih, dan drama galau. Sungguh
waktu itu aku sedang ingin istirahat. Sengaja tak ku aktifkan nada dering agar
tak ada yang mengganggu. Kau bisa mengerti bukan?
Aku akan datang ke taman senja
ini, sayang. Sesuai permintaanmu. Aku pasrah dengan segala kejutanmu. Asal
jangan kau tunjukkan satu hal padaku; air matamu, juga jangan perdengarkan
padaku lirih tangismu. Aku akan memakai pakaian terbaik yang ku punya. Kemeja
warna senja pemberianmu. Aku akan memakai minyak wangi yang aromanya kau suka,
wangi kamboja. Aku tak tahu kenapa kau begitu suka dengan hal-hal yang
menyiratkan keberakhiran, berbau kematian. Senja dan kamboja indah, tapi selalu bermakna mati
bukan? Senja serupa sinyal kematian cahaya. Lalu kamboja, bukankah itu bunga
kuburan, bunganya orang mati?
Tak apa, akan tetap ku pakai
meski dengan aroma seram itu. “ya, senja bukan akhir karena selalu berulang.
Dan kamboja bukan kembang kematian, justru bunga keabadian. Mencium wanginya,
mengingatkan nama-nama orang yang kita cintai yang telah mati. Kamboja merawat
memori bahagia sekaligus duka dengan mereka yang telah tiada,” yakinku.
Maaf, sayang, mungkin kini kau
sudah sampai di taman. Kau tengah duduk manis dengan hati gelisah menunggu aku,
calon suamimu yang tak kunjung muncul.
Saat ini mungkin kau khusyuk menatap jalan. Berharap pengendara atau pejalan
kaki itu aku. Aku agak lama berias, sayang. Aku ingin tampil sempurna untuk
pertemuan kali ini. Tampil necis yang jarang ku lakukan, hanya untuk dirimu. Ku
harap kau juga dandan cantik sore ini, hanya untukku. “aih, aku harus bergegas
ke taman. Aku tak ingin kecantikan gadisku diteguk gratis oleh orang-orang yang
lalu lalang di taman.”
Baru kali ini ku rasakan
perjalanan dengan sepeda motor begitu nyaman. Tak ada keluhan dan berontak diri
atas debu, asap hitam knalpot, lama nyala lampu merah, juga senggolan genit
pengendara lain. Tak seperti biasanya yang aku selalu dibuat merah padam oleh
pembawa identitas kota itu. Nanti perasaan ini akan aku ceritakan padamu, dan
ku bayangkan kau akan begitu senang dengan ceritaku ini. Apalagi jika ku
ceritakan pula sebabnya; “itu karena kau” pasti kau akan beringsut dan tersipu
malu. Ya, biar kau nanti tersipu. Kau lebih cantik jika wajahmu kemerahan.
Seperti yang ku duga, kau telah
sampai di taman. Kali ini kau tak ingin membuktikan bahwa kau tak lagi manja.
Kau masih diantar oleh sopir ternyata. Tak apa sayang.
Wajahmu, lalu disusul gerak
tubuhmu memandang kehadiranku. Kau tersenyum menyambutku lalu mempersilahkan
aku duduk. Aih, kenapa kini ku merasa kau adalah putri raja yang mempersilahkan
sang pangeran yang datang melamarmu. Tapi jangan kau berpikir seperti itu. Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan cara yang sederhana. Tidak seperti
pangeran yang selalu melakukan dramaturgi hanya untuk mencium tangan putri.
Atau juga harus membunuh naga untuk mendapatkan cinta putri, juga harus
melakukan serangkaian sayembara hanya untuk memikat hati raja agar merestui
hubungan. Aku sederhana dan akan mencintaimu dengan sederhana saja. Aku duduk
seperti biasa tanpa kikuk, tak memeluk, menyentuh tangan pun tidak. Hanya
menatap wajahmu yang mulai diterpa cahaya senja. “aduhai, cantik benar kamu,”
kata hatiku, mencuri kesempatan mulut untuk mengutarakannya secara langsung.
“maaf, mendadak menyuruhmu
datang kemari,” katamu membuka percakapan intim kita. Kata yang cukup dewasa ku
kira. Kau tak pernah mengucapkan kata sejenis itu, dengan nada sayu itu pula.
“aku ingin membahas rencana pernikahan kita,” lanjutnya. Tanganku dipegangnya.
Genggamannya terasa dingin.
Kau berkata banyak saat itu.
Kau berkisah panjang, sesuai dengan ide yang ada di kepalamu tentang pernikahan
kita. Aku hanya diam. Sementara, biar kau bicara dulu. Biar ku nikmati tarian
Asmat di mulutmu. Biar ku khidmat menerjemahkan desah ratu Solo napasmu. Kau
bercerita tentang rencana ke penghulu, tentang bentuk dan jenis undangan, teman
dan kerabat yang diundang, tempat memesan gaun, lokasi akad nikah, lokasi resepsi,
acara-acara dalam resepsi, penyanyi yang diundang, makanan, minuman, tukang
foto, dan bulan madu. Seakan semua telah kau atur sempurna, tak meninggalkan
celah untuk aku berpendapat. Memang aku tak menahu soal itu. Jarang ku
menghadiri resepsi mewah memang. Paling hanya resepsi sederhana ala kampung
dengan ritual-ritual sederhana; tamu datang, duduk, makan-makanan kecil dalam
kardus, mendengarkan ceramah, makan hidangan inti, foto bersama, mengucapkan
selamat disertai pemberian amplop berisi uang saat bersalaman, lalu pamit
pulang. Itu yang ku tahu.
Pesta pernikahan yang kau ceritakan jauh dari yang ku tahu,
juga berbeda dengan resepsi pernikahan termewah yang pernah ku hadiri. Pesta
pernikahan kita akan jauh lebih mewah ku pikir. Wajar, kau lahir dari kalangan
berpunya. Untungnya, kau tak pernah mengungkit kesederhanaanku. Aku minder
sebenarnya.
“dalam resepsi pernikahan kita
nanti, kita akan berganti pakaian lima kali. Ya, agar tamu kita tak bosan.
Nanti kita akan duduk bersanding di kursi indah yang sudah ku pesan jauh-jauh
hari. Di sana kita tunjukkan kemesraan kita seperti biasanya. Aku yakin,
kebahagiaan kita akan memunculkan iri di hati para hadirin. Kita juga akan
memberi kesempatan tamu-tamu yang iri itu berfoto dengan kita. Dan biar mereka
mencuri kembang pernikahan yang ku pakai. Ini pesta sekali seumur hidup, harus
meriah nan mewah bukan?”
Aku senang kau ingin
menunjukkan bahagia kita. Kau begitu senang dan tak sabar dengan pernikahan
kita yang hanya menyisakan hitungan minggu. Tapi maaf, aku tak suka dengan
pesta resepsi pernikahan kita, yang kita
harus duduk, berdiri, dan duduk kembali di hadapan tamu. Bukan masalah lelah
atau malu.
“lalu kenapa?” tanyamu
mendesak. “apa kau ingin pernikahan kita tanpa resepsi? Kau tidak ingin berbagi
bahagia dengan kawan dan sanak?”
Ah, sungguh ku ingin berbagi
bahagia. Aku hanya tidak ikhlas, tak merestui, jika tamu-tamu itu menikmati
wajah gadismu, wajah ranum pengantin, menjelajahi tubuhmu dengan pandangan
genit dan nakal mereka. Aku juga tak rela jika mereka merawat wajahmu dalam
gambar, lalu mereka membawanya pulang, dilihat dan diingat sebagai kenangan,
lalu memuja cantikmu. Aih, aku tak rela.
“kau cemburu? Itu cemburu
berlebihan, sayang?”
Apa salah? Di resepsi nanti kau
resmi istriku. Ranum wajah pengantinmu, indah tubuhmu hanya untukku. Senyummu,
matamu, bibirmu, luka, tawa, sedih, gundah, dengan segala keindahan yang dibawa
harus aku yang menikmati, bukan orang lain. Tamu-tamu itu akan memandangmu lalu
merawat wajahmu dalam memorinya. Tidak, hanya bingkai otakku yang boleh
menyimpan wajahmu. Aku sedang merayumu? Tidak, aku hanya tak tahu harus
mengatakanya dengan diksi apalagi, dengan nada apalagi dan dengan cara
bagaimana lagi. Cemburu? Mungkin kesimpulanmu benar. Entahlah, hanya itu yang
bisa aku jelaskan, hanya itu yang bisa ku katakan.
Sudah ku katakan bukan? aku
hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Aku tak ingin orang lain memandangmu
terlalu lama. Itu sederhana bukan? Bukan cinta dramatis layaknya cinta para
pangeran, bukan pula kisah cinta tragis para dewa dalam epos Ramayana dan
Mahabarata. Juga kisah cinta bebelit layaknya Bandung Bondowoso, Ken Arok,
Malin Kundang, atau juga roman Romeo-Juliet. Ya, aku ingin mencintaimu
sederhana saja. Seperti ku menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi di pagi
hari. Semudah, seindah, dan senikmat itu. Apa itu salah? Apa itu berlebihan?
Tidak ku pikir.
Tiba-tiba kau beranjak dari kursi panjang tua di taman itu.
Sekujur tubuhmu diraba senja yang tak rata karena tertutup daun. Senja semakin
remang, mungkin karena takut kau pandang. Kau berdiri membelakangiku. Aku tahu,
kau malu bukan? Ku lihat wajahmu dari samping memerah. Kau tersipu dengan
senyum yang tertahan. Merah senja tak cukup menutupinya.
“tapi aku ingin pesta meriah,”
katamu sambil membalik tubuh.
Aku tidak melarang, sayang.
Hanya, serangkaian ritual duduk berdua di depan tamu, lalu foto bersama hapus
dari cerita sakral resepsi kita. Biar kita membaur saja, berpakaian tak beda
dengan tamu. Agar kau nampak biasa, sehingga mereka tak meruwatmu dengan pikiran
dan kenangan macam-macam.
“begitu?”
Ya, biarkan hanya aku yang
menikmati riasan pengantinmu sendiri. Kau pun tersenyum lebar, menuntunku
berdiri lalu memelukku dan berbisik; “terserah kau saja. Terimakasih atas cara
mencintaimu.” Kau mencium pipiku dan beranjak untuk pulang, tanpa kata. Hanya
kecupan sekali lagi, lalu senyum, lalu melambaikan tanganmu dari jarak jauh.
***
Sampai di situ, sayang, aku
bisa merawat memori bersama dirimu. Hanya satu pertanyaan yang belum bisa ku
temukan jawaban darimu; kenapa kau begitu suka senja dan wangi kamboja? Atau
inikah jawabannya? Agar aku selalu mengunjungimu saat senja dan menabur bunga kamboja
di rumah barumu?
Kudus, 2012
Adi Purnomo
Penikmat Sastra. Aktif di Komunitas Sastra Qov Kudus