ISTIMEWA |
Pembajakan buku dengan
cara menggandakan (fotokopi) marak dilakukan, terutama di kalangan akademisi yang
memang membutuhkan buku sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Ranking yang
paling tinggi pembajakan buku terjadi di lingkup perguruan tinggi. Umumnya dilakukan
oleh dosen dan mahasiswa (Kompas, 22 April 2015 ). Padahal seharusnya di
perguruan tinggi, penghargaan terhadap karya intelektual digalakkan.
Penggandaan buku
menjelma sesuatu yang lumrah dilakukan. Jika ditelisik lebih dalam, penggandaan
buku tidaklah sesederhana seperti kenyataan yang biasa terjadi. Di belakangnya
ada UU No 28 Tahun 2014 tentang hak cipta. Hak cipta sudah diatur sebatas mana
penggandaan diperbolehkan. Pengguna boleh menggandakan untuk pribadi tanpa izin
penerbit hanya satu salinan, itu pun tidak diperbolehkan mencakup satu buku.
Merebaknya
penggandaan buku tidak terlepas dari seberapa dalam pengetahuan seseorang
mengenai UU No 28 Th 2014 tentang hak cipta. Berdasarkan polling (jajak
pendapat) yang dilakukan Paradigma Institute di Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Kudus, dari 90 responden hanya 17,8 persen yang mengaku mengetahui mengenai Undang-undang
tersebut, dan 82,2 persen mengaku tidak tahu-menahu jika sebuah buku yang
diterbitkan memiliki hak cipta yang dilindungi hukum.
Ketidaktahuan
tentang undang-undang hak cipta itu memberikan imbas pada pemahaman seseorang,
jika menggandakan buku tanpa izin merupakan hal yang biasa saja. Kenyataan ini
terbukti karena 86,6 persen responden
menganggap penggandaan buku untuk kepentingan pembelajaran tidak termasuk
pelanggaran.
Berdasarkan
aturan itu, penggandaan buku harus mendapatkan izin terlebih dulu dari pihak yang
bersangkutan, sekali pun untuk kepentingan pembelajaran. Tapi hasil jajak
pendapat menunjukkan sebaliknya. Sebanyak 92,2 persen responden tidak pernah
meminta izin pada penulis atau penerbit ketika akan menggandakan buku.
Hal tersebut
semakin diperkuat dengan data jika 83,3 persen responden menyatakan penggandaan
buku tidak layak untuk dihukumi, menggandakan buku bukanlah perkara besar.
Dalam polling
itu, salah seorang mahasiswa yang menjadi responden bahkan mengatakan
memfotokopi buku sudah menjadi tradisi.
Memfotokopi buku
di lingkup perguruan tinggi telanjur masif. Meski pun demikian, 92,2 persen
responden sebenarnya berkeinginan memiliki buku baru daripada memfotokopi. Adapun
alasan sebagian besar responden tetap memfotokopi buku karena alasan memfotokopi
buku memang mudah dilakukan. Harganya lebih murah, tidak perlu mengurus izin
dan bersusah payah mencari buku baru di toko buku.
Salah satu
responden yang juga seorang dosen berdalih, jika buku sudah tidak ditemukan di
pasaran maka jalan yang paling mudah adalah memfotokopinya.
Dalam UU No.28 Th
2014 disebutkan, pelanggaran hak cipta dapat dikenakan ancaman penjara selama 1
hingga 10 Tahun penjara atau denda Rp 100 Juta-Rp 4 miliar. Sudah saatnya menghargai
karya intelektual orang lain. Hal terkecil dimulai dari diri sendiri, salah
satunya menjadi pengguna buku yang bijak.
Khoerul Anas dan Sitta Zukhrufa
Presentase hasil
polling
1.
Tahu: 17,8%
Tidak tahu: 82,2%
2.
Pelanggaran: 11,2%
Tidak Pelanggaran: 86,6%
Tidak diisi: 2,2%
3.
Layak: 15,5%
Tidak Layak: 83,3%
Tidak diisi: 1,2%
4.
Beli buku: 92,2%
Memfotokopi: 7,8%
5.
Pernah: 2,2%
Belum pernah sama sekali: 92,2%
Kadang-kadang: 4,4%
Tidak diisi: 1,2%