Di tengah heningnya malam membuat seorang Maru
harus kembali menggoreskan tinta di atas kertas putih yang selama ini terus
terisi.Guyuran hujan yang tak kunjung reda, terasa mendukung apa yang telah
terfikirkan. Ingin bertahan sedikit lebih lama meski tak akan ia dapati
kembali. Pagi itu tepat 3 tahun 10 hari setelah hati kecilnya memutuskan untuk
menyelesaikan perjalanan hidupnya pada sebuah novel tebal bertuliskan
Memorabilia di bagian atas sampul berwarna putih tulang.
Ilustrasi : http://lakaranlukisancatan.blogspot.co.id/2011/03/lakaran-dan-lukisan-pokok-media-pensil.html |
Tibalah
waktu dimana semuanya harus membagi kebahagiaan bersama keharuan. Tetesan airmata
membasahi setiap kelopak mata mereka. Tak bisa dipungkiri, perpisahan sekolah
merupakan hal paling membahagiakan, tapi sekaligus itu merupakan suatu
kesedihan. Sebuah persahabatan yang tercipta dan cinta yang terukir didalam
lubuk hati terasa enggan untuk menerimanya.
Maru
dan Lian termasuk salah satunya, lika liku perjalanan hati mereka belum juga
terjawab sampaiakhirnya hari itu tiba. Guyuran air hujan yang kembali membasahi setiap
langkah seorang yang hatinya sedang berantakan. Setelah hujan mereda dan langit
mulai terang, semua siswa bubar untuk bertukar tanda tangan bersama teman,
sahabat, maupun kekasih hatinya. Taman belakang sekolah yang menjadi kenangan
terakhir dipagi itu, membawa seorang Maru untuk duduk bersebelahan dengan Lian.
“Kenapa sendirian?” tanya Maru. Lian hanya
membalas dengan senyum lembutnya.
“Aku pasti akan merindukan taman ini, karena
disini banyak kumpulan memori yang tergores disetiap keadaannya” Maru tersenyum
haru.
“Iya kamu benar, aku pun sama,” Lian terlihat amat sedih didekat Maru. Itu
karena Maru adalah orang yang disukainya, sedang sampai sekarang dia belum berani
mengungkapkan perasaan yang terpendam bertahun-tahun lamanya. Hanya saja dia
mengaku sebagai penggemar setianya.
“Reda hujan mengingatkanku saat pertama kita
bertemu di tempat ini, apa kau ingat?” Maru mencoba mengingatkan.
“Tentu saja aku ingat, waktu itu kan aku
meminjamkan jaketku karena kau kedinginan” Lian tersenyum mengingatnya.
“Terimakasih ya, maaf baru sekarang,” Maru mengasihkan jaket itu. Lian menerimanya
dengan senyuman lembut meski hatinya sungguh berderai airmata.
“Apakah ada yang ingin kau katakan?” Sejenak Maru
melihat tatapan mata Lian. Dia hanya tersenyum.
“Berbahagialah,” itulah kata yang keluar dari mulut seorang Lian. Dia tetap
memilih untuk tidak mengungkapkan.
“Apakah tidak ada yang tersisa lagi?” tanya Maru
sekali lagi.
“Aku hanya ingin kamu bahagia” Lian tetap
mengatakan hal yang sama.
“Pasti” jawab Maru serentak.
“Kau sendiri, apa yang ingin kau katakan?” kini Lian yang bertanya.
“Tidak ada”
“Apa? Kenapa?”
“Kalau aku katakan sesuatu, seolah kita tidak akan
bertemu lagi” kata Maru.
“Lalu?” tanya Lian kembali.
“Aku akan mengatakannya saat kita bertemu lagi”
“Kapan?”
“Suatu hari nanti. Pertemuan pertama kita, tapi
bukan sebagai seorang siswa SMA.”
“Bagaimana kalau hari itu tidak pernah terjadi.”
“Yakinlah. Kalau kita bertemu lagi aku akan
mengatakannya.”
“Kalau tidak?”
“Berarti kata itu tidak diizinkan untuk kukatakan
padamu” jawab Maru sangat menyayat hati bagi seorang Lian. Dia tersenyum dengan
mata berkaca-kaca.
“Oh ya, mana spidolmu. Aku belum tanda tangan”
Maru mencoba memecahkan suasana yang sangat mencekam itu. Dia tanda tangan di
bagian kerah milik Lian.
“Sudah, sekarang giliranmu” Maru menyodorkan
kerahnya.
Setelah perpisahan itu, mereka tidak pernah
bertemu bahkan saling kontakpun tidak pernah terjadi. Lian benar-benar sangat
merindukan Maru setelah 5 tahun tidak bertemu. Kini Lian menjadi seorang Dokter
terbaik di daerahnya. Suatu hari dia ditugaskan ditetangga desanya untuk
mengobati pasien-pasien yang terkena sakit parah. Perjalanan menuju Rumah Sakit
didaerah itu sangat mendebarkan jantungnya, karena itu merupakan tugas
pertamanya setelah lulus perguruan tinggi Kedokteran. Dalam hatinya berkata
bahwa dia harus melakukan yang terbaik. Dari sekian banyak pasien yang berada
di Rumah Sakit tersebut, Lian mendapat bagian 9 pasien yang menderita sakit
yang sama,yaitu
jantung.Kecualisatu orang yang menderita kanker.
Setelah dia berkunjung dari pasien pertama sampai
pada yang terakhir, dia tidak mampu lagi menggerakkan kakinya melihat pasien
yang terbaring tidak sadarkan diri didepannya. Orang itu tidak lain adalah
Maru, orang yang paling dia rindukan. Hatinya terasa seperti tertusuk ribuan pisau
tajam yang tidak bisa dicabut lagi. Sedikit demi sedikit Maru membuka mata dan
melihat Lian yang masih berdiri dengan tangisan didepannya. Maru hanya mampu
tersenyum melihatnya.
“Lian? Kita bertemu lagi” sapa Maru. Lian masih menangis
memukuli pundak Maru.
“Berhenti memukulku. Sekarang semuanya terasa
sakit, Lian” pinta Maru.
“Bukan hari seperti ini yang kuinginkan, bukan
ini” Lian tersedu-sedu.
“Kenapa kita selalu dipertemukan di musim hujan,
apakah ini takdir? Kuharap ketika musim hujan tiba, kita dapat selalu bertemu, bersama-sama seperti
sekarang” harap Lian. Maru hanya diam beberapa saat sampai keadaan menjadi
tenang.
“Apakah kau Dokter yang akan mengobatiku?” tanya
Maru. Lian mengangguk.
“Bagus, akhirnya kamu bisa menjadi seorang Dokter
seperti yang kau inginkan. Lakukan yang terbaik untukku dan jangan menangis
lagi” Maru mengusap airmata di pipi cabi Lian.
“Apakah aku masih ganteng seperti dulu?” Maru
tertawa lirih. Lian mengangguk tersenyum.
“Apakah kau masih menjadi penggemar setiaku?
Bahkan jika nanti aku sudah menjadi botak dan jelek, apakah kau masih mau
menengok melihatku?”
“Bagaimana pun keadaanmu aku akan tetap menjadi
penggemar setiamu”
“Benarkah? Berarti aku akan menjadi orang yang
paling bahagia di dunia ini”
“Maru, aku ingin meminta kata-katamu yang dulu
pernah ingin kau katakan padaku” pinta Lian.
“Kau sungguh masih mengharapkannya?” tanya Maru
memantapkan.
“Em. . “
“Perkataanku adalah jawaban dari semua pertanyaan
dihatimu,” jawab Maru. Lian melihatinya.
“Bagaimana bisa kau mengatakan kalau perkataanmu
adalah jawaban dari semua pertanyaan dalam hatiku, sedangkan kau sendiri tidak
pernah tahu bagaimana pertanyaan itu” sanggah Lian.
“Jadi kata apa yang sebenarnya ingin kau dengar”
tanya Maru penuh dengan kelembutan.
“Aku ingin perkataan yang tertunda itu kau katakan
dengan lisanmu” tambah Lian.
“Baiklah, kalau begitu aku akan mengatakannya
setelah kau membelikanku ice cream. Bagaimana?” pinta Maru dengan senyum
manisnya.
“Apa?” sambung Lian seketika.
“Dan apakah aku juga dapat mendengarkan kata
hatimu selama ini?” tanya Maru.
“Baiklah, tapi janji ya kau akan mengatakannya”
ancam Lian.
“Siap, dokterku” Maru hormat padanya.
Memang senyum ceria dari seorang Maru tidak akan
bisa digantikan oleh apapun. Sekembali Lian dari membeli ice cream, diruangan
itu sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Hanya selembar kertas yang menggantung di
atas kasur putih. Ada salah satu Suster yang sedang merapikan tempat itu,
kemudian Lian bertanya kepadanya.
“Kenapa semuanya diberesi, bukankah anda tahu
kalau disini masih ada pasien yang harus di rawat?” Lian terlihat bingung.
“Maaf, Dokter. Pasien yang menempati kamar ini
baru saja menghembuskan nafas terakhirnya” kata Suster itu. Seketika ice cream
yang ada ditangannya terjatuh kelantai, dia seperti tidak bisa menerima apa
yang terjadi pada Maru. Semuanya terasa tiba-tiba.
“Apa? Kenapa saya tidak dikabari. Bukankah saya
yang bertanggung jawab atasnya?” tanya Lian kecewa.
“Tadi kami sudah mencari, tapi Dokter tidak ada.
Maafkan kami,”
kata Suster.
“Apa-apaan ini. Barusan dia sama sekali tidak
merasakan sakit apapun, mana bisa tiba-tiba seperti ini. Bahkan dia tidak
mengucapkan salam terakhir padaku,” Lian menangis.
“Pasien meninggalkan kertas ini saat dia merasakan
sakit yang teramat sangat,” Suster memberikan kertas itu kepada Lian.
“Aku mencintaimu, bahkan sampai kapanpun aku akan
tetap bersamamu, hidup didalam hati yang telah kamu berikan ruang kosong
untukku”
Itulah pesan terakhir Maru. Semua terasa seperti mimpi
bagi Lian, pertemuan singkat membuat semuanya berakhir. Maru benar-benar telah
pergi untuk selamanya. Luka hati yang belum pulih harus tergores kembali dengan
luka baru. Tidak disangka, semua pertanyaan dalam hati Lian selama ini terjawab
dengan keadaan yang sangat menyakitkan. Tapi satu yang membuat Lian ikhlas melepas
kepergian Maru. Bahwa Maru telah mencintainya dan akan selalu hidup
dalam ruang kosong hati kecilnya.
“Terimakasih telah mencintaiku, dan aku akan selalu
mencintaimu” itu adalah kata pengantar untuk Maru menuju kehidupan yang abadi.
Karya : Mita el Mianu