“Bagaimana cara tercepat untuk menemukan
jati diri ?” tanya seorang pemuda kepada Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe
“Letto”).
Lagi-lagi terlihat bahwa manusia lebih
tertarik kepada jalan pintas yang tercepat. Instan. Kita tidak pernah ingin
merasakan “kemesraan” dalam proses. Pikir kita kebahagiaan ialah hasil dari
tercapainya suatu tujuan dan tidak bisa diciptakan. Karena hal itu orang
seringkali mengabaikan keselamatan. Akibatnya kita suka mengambil resiko
terbesar. “Contoh kecilnya saat hujan kita lebih rela mempertaruhkan nyawa
daripada basah sebab rahmat hujan yang diturunkan-Nya untuk kita,” kata
Sabrang.
Pencarian jati diri ibarat usaha memelajari
apa yang sudah kita kuasai sejak lama. Jati diri adalah nafs yang
kehadirannya tak bisa kita rasakan dan lihat. Ia berbeda dengan ruh. Nafs
adalah sisi lain diri kita. Ia merupakan gabungan dari pengetahuan, rasa dan
keinginan (baca : ambisi).
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin
mendefinikan nafs sebagai gabungan dari syahwat, amarah dan emosi. Ia
mempunyai sifat yang halus (lathifah) untuk menelisik dan mengendalikan
aliran darah. Muara dari itu semua biasa disebut sebagai qalb (hati).
Maka sebagaimana hadist shahih, ada satu bagian tubuh manusia jika itu
baik maka semuanya akan baik. Dan jika itu buruk maka semua tubuh akan buruk.
Bagian tubuh itu ialah hati.
Jati diri seringkali disinggung Emha Ainun
Nadjib (Cak Nun) dengan suatu hal yang sudah diketahui dan tertanam dalam benak
kita. Jati diri manusia Indonesia adalah individu yang ramah, sopan, dan nerima
ing pandum. Lebih dalam lagi bahwa jati diri manusia pada dasarnya hanya
paham tentang kebaikan. Segala perbuatan buruk manusia sebab dipengaruhi oleh
pengetahuan keinginan tak terbatas dan kebiasaan lingkungannya. Itu didorong
oleh sifat dasar manusia sebagai tempatnya salah dan lupa.
Jika kita kembali pada hadits shahih
tentang hati, maka disitulah tempatnya jati diri. Hati (qalb) merupakan
bagian suci tak bertepi, itulah mengapa ia berkesampatan secara langsung bisa
bertemu dengan Allah SWT. Karena kesucian itu juga hati memiliki kans untuk
melihat hakikat suatu persoalan, benda dan perbuatan. Hati memiliki ruang tak
terhingga untuk dapat memuat apa saja yang dirasakannya.
Yang menjadi masalah ialah tanpa tepiannya
itu. Akibatnya, seringkali hati tersakiti oleh hal-hal sepele yang seharusnya
tidak layak untuk masuk ke dalam ruangannya. Maka diciptakanlah akal sebagai manajer
yang membatasi “gerak” hati. Akal (‘aql) merupakan muara pengetahuan
benar-salah, baik-buruk sebagai bekal dan penyeimbang hati.
Jika jati diri menjadi bagian dari nafs,
maka perlu kita renungi bahwa sebenarnya ia telah lama kita temukan.
Kehidupan sehari-hari kita tidak luput dari jati diri kita. Tabi’at kita. Hanya
saja, sebab ia tak bertepi itu kemudian mendorong kita melakukan apa saja
dengan semaunya. Terlebih ia dekat kepada syahwat. Ini yang menjadikan
seseorang suka mengira-ngira tentang segala yang dicurigainya. Misalnya, jati
diri yang feminis memungkinkan seseorang menangis atas persoalan yang ia yakini
sulit.
Persoalannya ialah kita seringkali lupa
untuk menyeimbangkan keduanya. Antara ‘aql dan nafs mempunyai
hubungan yang saling menyeimbangkan. Dengan ‘aql, jati diri feminis tadi
akan mendapat edukasi tentang kebenaran dan kepatutan untuk menangis. Sejauh
itu memungkinkan kesucian itu dapat dijaga demi kelestarian positif individu
(diri) kita.
Konteks diatas bisa kita qiyaskan dengan
pemanfaatan air untuk mensucikan badan. Sebagaimana sifat dasar nafs itu
suci, maka kesucian itu perlu dijaga dengan tidak membuatnya keruh. Konotasi
air yang suci dan mensucikan salah satunya ialah air mutlak. Yaitu air yang
mengalir langsung dari mata airnya. Tidak tercampur barang apapun. Asli. Tidak
berubah baik itu rasa, bau dan warnanya. Dalam kondisi yang lebih dari dua bak
(kulah) itu sah sebagai alat untuk bersuci. Atau jika terpaksa tidak
mencukupi jumlah itu air tersebut harus dialirkan kepada bagian yang hendak
disucikan.
Maknanya, kemurnian nafs (jati diri)
sudah menjadi ketetapan Sang Khaliq yang diberikan pada makhluk-Nya.
Selanjutnya menjadi tugas masing-masing makhluk itu menjaganya untuk
membersihkan dirinya sendiri dari pengaruh (kotoran) luar dirinya. Yaitu dengan
cara menjaga ideologi, prinsip dan kesejatian nuraninya. Jika tidak bisa maka
dianjurkan untuk selalu berpikir, mengalir untuk mencari pemahaman yang mendekatkan
kepada kesucian tersebut.
Menyangkut ideologi berbangsa dan
bernegara, yang konon Indonesia sedang mengalami darurat akan hal itu, jati diri pun tidak perlu dipersoalkan. Pertanyaan
besarnya ialah bagaimana kita berdiri sebagai bangsa sebesar ini bila tanpa
jati diri. Tentu saja tidak mungkin. Adanya kita sebab jati diri yang melekat
sejak lahir. Itu merupakan bagian dari anugerah Tuhan untuk makhluk-Nya. Jati
diri merupakan pedoman bagi seseorang dalam mengambil langkah dan keputusan.
Kita perlu menegaskan bahwa jati diri
Indonesia adalah Kepulauan Nusantara. NKRI adalah Indonesia itu sendiri.
Sejumlah wilayah dengan tanah gemah ripah loh jinawi. Sebuah negara yang
ditopang oleh perjuangan kerakyatan, dipupuk dengan kemandirian, dan digagas
atas nama persatuan. Holupis kontul baris semboyan kita bertahan dari
ancaman (kotor) sebuah pemahaman. Ideologi Indonesia baru yang tanpa tujuan
atau kemenangan satu golongan patut kita lawan!
Jika kita kembalikan pada pertanyaan
seorang pemuda diawal pembahasan ini, kiranya jelas bahwa jati diri tidak perlu
dipertanyakan kembali. Ia sudah ada, menjadi bagian dari kita sejak lahir.
Nggeh a? Ndak ya? Yaudah….
Oleh : Muhammad Farid,
Pimpinan Redaksi Majalah Paradigma 2017.
Pimpinan Redaksi Majalah Paradigma 2017.