Hari Kedua Haflah Ilmiah #3
KUDUS, PARIST.ID – Hari kedua kegiatan Haflah Ilmiah jilid 3 LPM Paradigma
berlangsung seru. Adanya Seminar Nasional di Aula gedung Rektorat STAIN Kudus
menggali banyak pengetahuan baru tentang Kudus dan segala aspeknya. Mulai dari
segi sosial, budaya, agama hingga struktur tanahnya di kupas tuntas pada Selasa
(28/02/17).
Agus Hendratno, Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta terlebih dahulu membuka paparannya dengan anjuran kembali pada
khittah. Maksudnya yaitu kembali ke ayat alqur’an iqro’
bismirobbikalladzikholaq. Untuk memahami Kudus kita harus melihat
berbagai aspek termasuk geologinya. “Kita harus melihat kawasan Kudus mulai
dari gunung Muria sampai selat Muria,” kata Agus.
Di Kudus terdapat dua gunung yaitu Muria dan Pati ayam. Menurutnya
Pati Ayam dahulu merupakan kawasan lautan. Fosil gigi ikan hiu diatas
ketinggian 600 sampai 800 cm menjadi salah satu buktinya. Dari segi ‘umur’ para
ahli geologi menduga Pati Ayam lebih dahulu ada daripada Muria. “Itu
terlihat dari peradaban yang ada di sana,” tuturnya.
Menariknya dosen kelahiran Kudus itu mengabarkan bahwa nama Muria
ternyata ada dua. Yaitu di Timur Tengah, tempat turunnya kitab
Taurat kepada Nabi Musa, dan Muria di Kudus. Penamaan itu digagas oleh Sunan
Kudus yang melihat kesamaan jenis batuan yang menyusunnya.
Menilik ke bagian selatan Kudus mempunyai struktur tanah lempung
dan lumpur yang kemudian menjadi sedimen Selat Muria. “Maka memang menjadi
hukum alam jika Undaan dan sekitarnya terkena banjir” ucap Agus. Meski begitu
Agus menganjurkan supaya masyarakat Kudus tetap bersyukur.
Sementara itu, Moh.Rosyid, peneliti dan Dosen STAIN Kudus mengupas
realita Kudus dari aspek agama dan budaya. Menurutnya saat ini pendidikan
toleransi di Kudus dirasa mengalami penurunan. “Kaum mayoritas kini merasa
lebih unggul dari kaum minoritas,” katanya.
Ia kemudian menjelaskan esensi toleransi yang mengatakan bahwa
manusia memang dititahkan menjadi individu yang berbeda. Landasan itu bahkan
terdapat pada pasal 29 UUD 1945. Sayangnya, beberapa pemimpin kita tidak
mendahulukan aturan undang-undang. “Seperti dulu Presiden Soekarno yang membuat
instrumen bahwa agama konghucu ditiadakan,” sesalnya.
Lintas Agama
Rosyid menilai bahwa seharusnya kita jangan pernah menyalahkan
pihak lain terutama kaum minoritas. Pendeta Abed Nego Wiganti mengatakan dengan
menghormati perbedaan kita akan mendapatkan persaudaraan. “Perbedaan diciptakan
untuk menjadikan kita dapat bersaudara,” katanya.
Tak jauh berbeda Pendeta Erik mengungkapkan kalau perbedaan harus
di syukuri. “Daripada melihat perbedaan sebenarnya antara agama satu dengan
agama lain itu terdapat banyak kesamaan,” kata Erik. Dari ucapan salam
misalnya, antara Islam dengan Kristen memiliki ungkapan salam yang hamper sama
yaitu Assalamu’alaikum dan Siolem Alaikem. Pendapat
itu juga diamini oleh pemuka lintas agama yang hadir dalam acara tersebut.[]
(Vina
Alviani/Ahmad Choliq/Far)