Berada
di ketinggian sekitar 1.200 Mdpl, Desa Bategede tak hanya menyimpan pesona alam asrinya. Pun
dengan adat istiadat masyarakatnya, nggantalan
adalah budaya khas. Bagi masyarakat Bategede, pembuatan gantal tak sekadar tradisi, itu juga
senjata sekaligus peneguh jati diri.
NGGANTALAN : Terdiri dari daun sirih kapur dll. yang dibentuk sedemikian rupa untuk tradisi di Bategede Nalumsari Jepara. |
Senyum
ramah tersirat dari raut wajah seorang laki-laki separuh baya saat membuka daun
pintu berwarna kuning kembang durian. Pak Kusdi (50) namanya. Sambil
mempersilahkan kami, di tangannya
terdapat sebatang
rokok siap ia hisap. Suasana pegunungan yang sejuk membuat perbincangan kami
nyaman. Semakin jauh mulailah kami pada pertanyaan tentang nggantalan yang erat akan tradisi pernikahan.
Mimik
wajah serius memulai ceritanya pagi itu. Kusdi
mengatakan banyak mitos yang dipercaya oleh
masyarakat Bategede. Banyak juga petilasan dari leluhur desa yang saling
terkait dengan daerah lain yang hingga saat ini masih banyak versi kisahnya.
“Panjang sekali sejarahnya Bategede ini,” ungkap juru kunci makam Simbah Resobumi
itu.
Sembari
duduk bersila di atas kursi berwarna merah muda dan menikmati beberapa pisang,
sesekali menghisap pelan rokok dia mulai bercerita dengan nada pelan, kata
Bategede berasal dari bahasa Jawa, yakni Bate
berarti batu dan Gede berarti besar. Dahulu, ada seorang
yang bernama Resobumi sedang bertapa di wilayah Bategede. Sampai suatu saat lewatlah
rombongan iring-iringan pengantin menaiki seekor gajah, reog dan jaranan. Rombongan itu dari daerah
Menawan Kudus menuju daerah Pancur melalui jalur Bategede.
Namun,
rombongan tersebut tidak meminta izin kepada sang petapa (Simbah Resobumi),
sehingga menyulutkan api kemarahan. Mereka dianggap tidak memiliki etika dan
kesopanan saat melewati wilayah orang lain. Kemudian Resobumi membuat senjata
yang terbuat dari lima lembar daun sirih berisi aphu (kapur sirih) dilinting dan diikat dengan benang putih. Itulah
yang disebut nggantal.
Dengan
perasaan marah itu, konon, Resobumi melemparkan gantal-nya ke arah gajah hingga saat itu juga tubuh gajah terpecah
menjadi tiga bagian. Bagian kepala berada di wilayah Menawan, bagian perut di
bumi Bategede dan bagian ekor berada di daerah Pancur. Bagian perut yang berada
di bumi Bategede itu kemudian berubah menjadi batu, yang hingga kini di kenal
dengan watu ploso. Berawal dari kisah
itulah tradisi nggantalan dipercaya. Masyarakat
meyakini bahwa tradisi tersebut sangat dianjurkan oleh Simbah Resobumi sebagai
perintah leluhur yang harus ditaati.
“Tradisi
yang telah diakui oleh sebagian atau seluruh masyarakat biasanya dianggap
sebagai suatu keharusan dan akan terjadi apa-apa kalau tidak dilaksanakan.
Begitu pula dengan nggantalan oleh masyarakat
Bategede dianggap sebagai syarat wajib saat akan melakukan sesuatu,” Pak Udi bercerita.
Masyarakat
Bategede biasanya melaksanakan nggantalan
itu tujuh hari atau seminggu sebelum acara pernikahan. Hal tersebut juga
berlaku bagi warga Bategede yang meskipun telah berdomisili di daerah lain,
bahkan luar pulau sekalipun. Masih tetap harus melaksanakan tradisi nggantalan dengan alasan masih tersemat
kepercayaan tertimpa bala’ jika tidak
melakukan Nggantalan. Akan tetapi
tidak harus pulang ke Bategede, melainkan bisa dengan memesan kepada keluarga
untuk meminta bantuan kepada sesepuh desa untuk dibuatkan gantal.
Biasanya
pengantin atau keluarganya akan mendatangi sesepuh desa untuk dibuatkan gantal. Sebab memang tradisi gantal ini memang hanya boleh dibuat
oleh orang yang dianggap paling sepuh di desa. Sampai saat ini hanya tersisa
satu orang, yaitu Suminah yang dimintai bantuan membuat nggantalan dan seluruh sesaji yang diperlukan. Yaitu setiap
mempelai pengantin yang merupakan warga asli Bategede harus menyiapkan jarik tawatu, cething jeporo, tebu rejuno,
seekor ayam jantan dan seratus linting gantal.
Setelah siap semuanya, selanjutnya barulah dibacakan hadlarah dan bacaan-bacaan seperti sholawat dan dzikir.
Setelah
prosesi penyiapan nggantalan dan
sesaji sudah selesai, gantal yang ada
ditempatkan di tempat-tempat tertentu seperti di perempatan jalan, sudut-sudut
ruangan rumah serta di sekitaran peralatan dan perlengkapan acara pernikahan. Hal
tersebut dilaksanakan dengan maksud meminta perlindungan dari tuhan agar
terhindar dari bala’ (musibah).
Konon
jika tidak melakukan prosesi nggantalan
sudah pasti ada kejadian yang tidak terkira dan tidak diharapkan. “Pada umumnya
mempelai yang tidak nggantalan,
kehidupan rumah tangganya tidak harmonis dan tidak bertahan lama, salah satu
mempelai atau keduanya akan mengalami gangguan jiwa, dan yang lebih parah lagi
ada yang sampai meninggal dunia dengan cara yang tidak wajar” paparnya.
Senjata Identitas
Selain
untuk acara pernikahan, tradisi nggantalan juga banyak dilaksanakan oleh
masyarakat Bategede untuk acara khitanan, namun tidak wajib selayaknya acara
pernikahan. Ada juga warga yang banyak menggunakan nggantal sebagai “pegangan” atau “senjata” bagi warga yang merantau
keluar daerah atau kampung halaman.
Menyambung
cerita Kusdi, Sutrisno (28), warga Desa Bategede membenarkan bahwa warganya
tidak ada yang berani meninggalkan nggantalan.
Sebab, pernah ada kejadian pernikahan
tanpa nggantalan.”Saat itu malah diselnya
meledak dan menghantam orang sampai meninggal seketika,” terangnya.
Lebih
jauh, dia mengaku membuktikan bahwa sebab nggantalan
kehidupannya tidak direpotkan dengan ujian hidup yang berat selama empat tahun berkeluarga.
Namun hal itu juga tidak menjadi tujuan utama untuk percaya dengan nggantalan sebagai suatu yang
memudahkan. Alasan lain ialah melestarikan budaya dan tradisi yang sudah ada.
”Ini hanya persoalan melestarikan budaya mas, supaya tidak luntur tergerus arus
zaman,” pungkasnya.[]
Faqih Mansyur Hidayat
Eri
Susanti