Pentas Produksi Teater Dewa Ruji
“Kobongan…Kobongan…
Tolooong…” teriak Lek Paidi.
Tidak
maklum diketahui bahwa terbakarnya pasar tidak lah murni adanya kecelakaan. Sebagian
justru terjadi karena sebab ulah yang sengaja. Itu karena ada niatan mengejar
target pembangunan dan relokasi sebagaimana kehendak penguasa. Rakyat jelata
hanya mampu meratap, melihat fakta adanya tarik ulur kepentingan. Mereka hanya
bisa melawan semampunya, meski akhirnya kalah jua.
Penggenjotan
pembangunan pasar yang kini marak dilakukan oleh pemerintah menuai kritik dari
Teater Dewa Ruji. Melalui seni teater Dewa Ruji mencoba memberi nilai bahwa
penggusuran dan pemindahan pasar bukanlah suatu jalan terbaik. Kelompok teater
dari kaki gunung Muria ini menampilkan pementasan naskah Pasar Kobar karya Eko
Tunas di Auditorium Universitas Muria Kudus pada Rabu (03/05).
Naskah
itu berkisah tentang perlawanan kaum urban yang menolak pembangunan dan
penggusuran pasar. Lek Paidi, sebagai sesepuh pasar dan simbol rakyat merasa
pembangunan itu penuh dengan intrik dan kepentingan salah satu golongan. Ia
kemudian mengutuk para pemangku kebijakan yang akhirnya memantik sumbu api. Den
Bagus adalah simbol kaum intelektual yang digilakan oleh penguasa. Ketakutannya
terhadap segala kemungkinan risiko dan kepada penguasa membuat Den Bagus kemudian
diperalat Demang (pengurus pasar/penguasa). Pada akhirnya dia lah yang kemudian
membakar pasar itu sehingga para penghuninya terpaksa pindah.
Sutradara
pentas produksi Pasar Kobar, Dono, mengungkapkan proses ini dilatar belakangi adanya
kebutuhan dan keinginan untuk pentas sekaligus menyampaikan gagasan kepada
publik. Keinginan kuat dari para anggota itu kemudian ditentukan dengan pilihan
naskah yang relevan.
Naskah
karya Eko Tunas, budayawan kelahiran Tegal itu dianggap relevan dengan
penggenjotan pembangunan infrastruktur yang kini menjadi program prioritas
pemerintah. Oleh Teater Dewa Ruji naskah itu disadur untuk dipentaskan yang
disesuaikan dengan realitas kehidupan pasar yang ada di Kudus dan sekitarnya.
“Proses
itu menghabiskan waktu selama enam bulan dan dipentaskan keliling ke Sudo di
Kandang Mas, Jepara dan mungkin terakhir malam ini disini (Auditorium UMK/red),”
paparnya.
Sementara
itu, Asa Jatmiko, pakar seni teater di Kudus mengapresiasi pementasan ini. Menurutnya
pilihan Dewa Ruji mengangkat kembali naskah ini sangatlah relevan. Ditengah
maraknya pembangunan infrastruktur, utamanya pemindahan pasar, terkadang
pemerintah memang tidak begitu jeli memerhatikan kaum urban.
Lebih
lanjut, Ia juga menyarankan kepada para pegiat teater di Kudus supaya betul
memerhatikan gagasan yang diusungnya kala pentas. Terkadang ini jarang
diperhatikan oleh teaterawan. Masih banyak yang beranggapan bahwa pentas hanya
sekadar pentas dan mendapat tepuk tangan penonton.
“Pentas
teater itu bukan sekadar pentas lalu mendapat apresiasi dari penonton, tetapi
juga harus ada nilai dan gagasan yang sampai kepada masyarakat,” bebernya.
Sesepuh
Teater Dewa Ruji, M. Ulul Azmi mengatakan, pemilihan naskah itu berangkat dari
kegelisahan para anggota. Teater Dewa Ruji merupakan komunitas teater lokal
Kudus yang digawangi oleh anak-anak muda dari lereng Pegunungan Muria yang
selalu resah dengan keadaan. Sewajarnya kaum muda, pikiran mereka tak pernah
berhenti mengkritisi kebijakan. Amat liar dan hampir tidak peduli batasan.
FOTO-FOTO : MAEL/PARAGRAPHFOTO |
“Mereka
selalu mengeksplorasi detil kehidupan dalam mematangkan keterampilan seni peran
yang mereka tekuni. Banyaknya persoalan di negeri ini membuat Teater Dewa Ruji
semakin produktif dan getol menampilkan gagasannya melalui seni teater,” kata lelaki
yang akrab disapa Citul ini.[] FAR