Oleh : Muhammad Farid*
Sebenarnya
ketakutan tentang radikalisme dan penegakan khilafah telah ada sejak beberapa
tahun lalu. Kampus menjadi terdakwa utama dalam peranannya sebagai pemasok kaum
radikalis dan anti-pancasilais. Sebagaimana laporan media massa arus utama
setahun lalu bahwa gerakan
radikalisme semakin hari dikabarkan justru berkembang di kalangan kaum
intelektualis, baik itu dalam komunitas maupun di perguruan tinggi. Artinya,
lingkungan kampus saat ini patut dicurigai sebagai ladang radikalisme (Kompas, 20/02/2016).
Ilustrasi (bidikdata.com) |
Yang
menjadi Pertanyaannya ialah bagaimana bisa di lingkungan yang terbiasa dengan
kegiatan diskusi, gudang ilmu pengetahuan dan pengalaman bisa terjangkit virus
radikalisme?
Pertama, berpijak pada pendapat Marcus Mietzner, ahli
sosial-politik dari Universitas Nasional Australia, wawasan akademisi sekarang,
utamanya mahasiswa telah disempitkan oleh banjir informasi. Budaya diskusi dan
klarifikasi tergerus dengan minat terhadap media sosial dan gawai. Orang lebih
suka membaca dan memilih hal-hal yang sesuai dengan pemikiran mereka tanpa mau
menengok hal lain sebagai perbandingan.
Kedua, pandangan mahasiswa yang masih terfokus pada aksi
massa daripada pemberdayaan masyarakat semakin mendekatkan dirinya kepada arus
radikal. Paradigma mahasiswa semacam itu mengakibatkan pemahaman dan ilmu
pengetahuan apapun akan mengarah pada aksi, demonstrasi yang berujung pada
politik identitas dan fanatisme buta. Itu juga dipengaruhi doktrin keilmuan
yang diambil dari kebijakan (kampus) luar negeri.
Ketiga,
kurikulum kampus kita rata-rata masih berpijak pada
metode dan doktrin-doktrin impor. Ini biasanya dibawa oleh mahasiswa, dosen
atau petinggi kampus alumni program pertukaran pelajar atau studi banding di
negara lain. Dengan itu kampus kita tidak pernah menjadi “dirinya sendiri” yang
belajar dari sejarah dan kearifan lokal masing-masing daerah di Indonesia.
Sikap gengsi dan ambisi untuk setara dengan kampus-kampus dunia tidak jarang
harus mengorbankan ideologi utama keindonesiaan.
Masyarakat
kini dibangun atas dasar kesetaraan dunia bukan pada jati diri bangsa yang
dibangun para pendirinya. Maka tidak heran bila pandangan mahasiswa dan
akademisi semakin jauh dari ideologi pancasila dan kecintaannya kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Baru-baru
ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir telah
mengamanatkan kepada para Rektor seluruh Indonesia untuk mencegah radikalisme
di kampusnya masing-masing. Kebijakan itu nantinya juga disertai sanksi tegas
dan pemecatan kepada rektor jika kampus yang dipimpinnya beredar paham radikal.
Seluruh aktivitas kelompok mahasiswa dan bahan ajar dosen harus dipastikan aman
dari ancaman perpecahan bangsa (Kompas, 07/05/2017).
Mahasiswa
Bela Negara
Implementasi
dari mandat Menteri Mohammad Nasir itu bisa diwujudkan dengan keberadaan
kurikulum bela negara. Didalamnya wajib memuat nilai sejarah, pengalaman dan
pengetahuan keindonesiaan. Doktrin yang dipakai harus menyadarkan mahasiswa
tentang pentingnya menjadi warga Indonesia. Ini menganut ungkapan KH A.
Musthofa Bisri (Gus Mus) Rembang yang seringkali dilontarkan yaitu “Kita adalah
warga Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di
Indonesia.” Begitu pula kita adalah warga Indonesia yang diberi tugas membangun
peradaban terbaik dunia. Bukan sebaliknya, yaitu membangun Indonesia untuk
diakui masyarakat dunia.
Mahasiswa selayaknya memiliki
kecerdasan holistik, intelektual, emosional, dan spiritual secara berimbang.
Menjadi sosok yang mempunyai gebrakan untuk pembangunan dan kemajuan bangsa.
Serta sosok yang dengan idealismenya memegang teguh komitmen nasionalisme
dengan kuat akan kembali muncul ditengah-tengah bangsa Indonesia.
Keharusan
itu kita refleksikan dalam bentuk penguatan karakter
disetiap sendi kehidupan. Karakter
adalah bagian yang terbentuk
oleh kebiasaan (habits) dan gagasan (ideas) yang tak bisa dipisahkan. Untuk
memperkuat hal itu perlu adanya
keyakinan (beliefs), perasaan (feelings), dan tindakan (actions) yang sejalan dan saling terkait. Untuk itu, selain berkumpul dan diskusi dengan rekan satu kampus
mahasiswa juga harus menjejali banyak teori yang menurutnya bertentangan
sekalipun. Mahasiswa harus banyak belajar tentang
agama dari apapun yang bisa dijadikan pelajaran. Mengaji dengan tokoh agama,
buku, diskusi, merupakan beberapa diantaranya.
Mahasiswa juga
harus mau berbaur dan berdialog antar umat beragama. Pruralisme dan toleransi
harus benar-benar ditanamkan dalam jiwa manusia. Hal itu berguna sebagai
benteng kokoh untuk melindungi masyarakat di masing-masing daerahnya dari
ancaman perpecahan, radikalisme, dan perang antar umat beragama. Bersama
membangun Indonesia yang satu, bangsa yang bersatu dalam keragaman adalah
keharusan. Membangunkan lagi semangat nilai Bhineka Tunggal Ika sebagai
semboyan utama dalam berbangsa dan bernegara.
*) Pimpinan Redaksi Majalah Paradigma Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Kudus
Sumber tulisan : Harakatuna.com
( http://www.harakatuna.com/menilik-radikalisme-di-kampus.html )