BUKU
Buku
membuat aku jadi pribadi sendiri
Aku
terpisah dari orang-orang
Yang
bekerja membangun dunia
Dengan
pukul palu peluh dan tenaga
Aku
merasa lebih mulia
Karena
memiliki pengetahuan dan mampu membeli
(Wiji
Thukul, 1988)
Buku,
mungkin kata itu tidak terasa asing di telinga kita. Tetapi apakah di dalam
setiap rumah memiliki buku, apakah setiap orang setia bersama buku. Mayoritas
masyarakat hidup tidak bersama dengan buku mereka.
Memilih sibuk dengan
rutinitas masing-masing.
Mereka justru lebih
banyak menghabiskan waktu di dunia kerja, menonton televisi, bermain bersama keluarga, dan mendatangi
tempat-tempat hiburan. Buku dari dulu seperti kehilangan cahaya-nya. Buku seperti
tak memiliki daya pikat kuat. Dan ia (buku) hanya menjadi kudapan, yang tak terlalu sering dikonsumsi. Akhirnya menjadi kudapan yang basi, kering dan
berjamur.
Orang
yang hari-harinya ditemani oleh buku justru dianggap sebagai kutu buku, tidak
gaul, terkadang diremehkan oleh temannya. Apalagi di era modern yang semakin
canggih ini masyarakat dimudahkan oleh teknologi, jika tidak mempunyai gadget
pasti merasa malu.
2017, masak nggak
tahu teknologi, dibilangnya ketinggalan jaman. Setiap ke manapun orang pasti
membawa gadget.
Bahkan seloroh orang berkata, tidak
membawa dompet tidak masalah,
asalkan membawa HP.
Kenapa
ketika tidak mempunyai HP yang canggih merasa malu? Sedangkan tidak punya buku
yang harganya lebih murah dibandingkan dengan HP tidak merasa malu. Akan terasa
aneh jika kita membaca buku, di saat semua orang lebih fokus pada HP-nya
masing-masing. Kita perlu menghela nafas panjang membaca fakta yang diungkapkan
Badan Pusat Statistik (BPS) survey tahun 2012 yang menyatakan bahwa masyarakat
indonesia belum menjadikan budaya membaca sebagai pilihan utama. Presentase
membaca terus menurun sejak tahun 2003 (23,70%), 2006 (23, 46%), 2009 (18,
94%). Di tahun 2012, masyarakat indonesia lebih memilih menonton televisi
(91,68%), olahraga (24,57%), mendengarkan radio (18,57%) dari pada membaca
(17,66%).
Mantan
Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa bangsa yang maju
pasti memiliki masyarakat yang maju pula. Masyarakat maju ditopang oleh
masyarakat yang gemar membaca (buku). Reading society menjadi
persyaratan utama menjadi advance society. Kalau ingin menjadi advance
society, harus berangkat dari reading society. Ini adalah jalan yang
tepat.
Ketika
ada sebuah pertanyaan sudahkah anda membaca hari ini?, pasti jawabannya sudah.
Membaca status di
facebook, SMS, dan membaca berita dari media sosial tetapi jika pertanyaannya
diganti sudah membaca buku apa kamu hari ini?,
pasti jawabannya banyak yang belum.
Di
era modern sekarang ini gadget yang semakin canggih buku semakin dikesampingkan.
Masyarakat lebih memilih membaca
dan
mencari referensi melalui internet dengan berbagai dalih.
Diantaranya, mahal, repot,
dan malas.
Dalihnya, Harga buku
lebih mahal dibandingkan buku elektonik. Kita juga
tidak perlu repot-repot mencari
referensi di perpustakaan(perpus).
Gremengan kerapkali
muncul bila keadaan perpus berdesak-desakan dan tidak
kunjung mendapatkan buku yang dicari karena keterbatasan koleksi. Akibat-akibat yang timbul itulah yang membuat orang
lebih memanfaatkan internet saja. Kemajuan teknologi yang
sangat pesat ini memiliki banyak manfaat tetapi di balik banyak manfaat
tersebut tersimpan sisi negatif yang menjadikan orang menjadi pribadi yang
pemalas, mungkin karena dia terlalu diinstankan.
Mahasiswa
dan perpustakaan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan tetapi mahasiswa
hanya menggunakan jasa perpustakaan untuk mengerjakan tugas kuliah maupun
skripsi saja. secara tidak langsung mereka sudah membaca tetapi ketika tidak
ada tugas masihkah dia menyempatkan waktu untuk ke perpustakaan meskipun hanya
sekedar untuk membaca saja? kegiatan tersebut
sekarang ini rasanya sudah jarang dilakukan.
Kita
perlu mengetahui bahwa buku adalah penggerak dan pendorong kemajuan peradaban.
Buku adalah pencerah kehidupan. Dan buku menjadi basis hidup bagi setiap orang
yang hidup dalam realitas kehidupan ini nantinya. Namun, yang perlu di
pertanyakan lagi adalah mengapa sampai sekarang ini masih banyak orang yang
belum sadar dengan buku? Kalaupun ada orang yang telah menyadari pentingnya
buku tetapi kenapa masih banyak orang yang menyampingkan buku?
Teladan
Wiji
Widodo atau lebih dikenal dengan Wiji Thukul, belajar dari sosok ini. Walaupun dalam suasana
genting saat dia diduga menjadi korban penculikan prahara di dalam tempat
persembunyiaanya dia
masih menyempatkan untuk membaca. Bahkan ketika ada salah satu temannya yang
menjadikan buku sebagai tatakan mangkuk
mie, dia sangat marah sambil bilang,
hargailah buku, itu karya manusia.
Begitu
juga dengan Muhammad
Hatta yang hidupnya dipenuhi
dengan buku.
Ketika ia diasingkan ke Banda Neira bersama Sjahrir, Hatta membawa serta 16
peti buku-buku tebal. Hatta selalu mempunyai jam baca dan bencengkrama dengan
buku-bukunya. Setiap pukul 8 sampai 12 siang adalah waktu membaca. Terkadang ia
juga mengetik untuk mengisi surat kabar. Ia sangat menjaga buku seperti harta
karun baginya, bahkan hatta pernah marah ketika bukunya terkena tumpahan air
karena ulah yang tidak sengaja oleh salah satu anak asuh Sjahrir.
Keseharian
kita yang selalu memposisikan buku sebagai barang mati tentunya akan membuat
kita brak-bruk
(impas) terhadap buku. Ini akan bisa membedakan orang yang memberi penghormatan
terhadap buku dan sebaliknya.
Hidayatus Syarifah*
*Det!k angkatan 2015, ndaftar
ke LPM Paradigma 31 Maret 2015, bareng 4 orang temen
kelas, keempatnya, Tina,
Layyin, Ismah dan Salma, pembaca setia Catatan Lepas
Majalah Paradigma, Perempuan
yang lahir pada September di Jepara tahun 1996.
ilustrasi: mael