Parist.Id, JEPARA – Budayawan Jepara, Hadi Priyanto (58), menyampaikan
bahwa masyarakat kita tidak paham atas ritual budaya yang seringkali dilakukan.
Hal itu ia katakan dalam acara bedah buku Mitologi Ritual Budaya Lingkar Muria (MRBLM)
yang diadakan oleh IPNU-IPPNU Desa Tulakan bekerja sama dengan Pemerintah Desa
Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara di Balai Desa Tulakan, Jumat,
(28/7/17).
Menurut Hadi mayoritas masyarakat hanya mengikuti apa
yang menjadi kebiasaan orang-orang. Seperti saat hari Kartini, banyak wanita
memakai kebaya dan menganggap dirinya telah mengikuti jejak Kartini. Atau saat
sedekah bumi banyak yang hanya ikut pesta.
“Padahal mereka hanya sebatas mengenal Kartini itu
sebagai pahlawan emansipasi, bukan yang lain” tutur penulis Mozaik Seni ukir
ini.
Hadi mengatakan jika krisis pemahaman budaya ini terus
berlangsung akan berimbas pada hilangnya budaya. Pemuda Indonesia secara umum akan
banyak yang tidak mau dan peduli untuk melestarikan budayanya.
Kearifan sejarah lokal, lanjut Hadi, semestinya bisa
diajarkan lewat sekolah dan para pemerhati budaya di masing-masing daerah.
Sayangnya, tidak ada ruang dan waktu untuk mempelajari budaya tersebut lebih
dalam dan sepesifik.
“Mewariskan budaya itu adalah pekerjaan berat. maka,
kita harus bersyukur masih ada pemuda seperti yang tergabung dalam Parist mau
mengenal budaya,” katanya.
Muhammad Farid (20), narasumber dari Paradigma
Institute Kudus menuturkan bahwa ide membuat buku adalah kegelisahan dari anggota
LPM Paradigma STAIN Kudus terhadap generasi sekarang yang kurang mengenal
budayanya. Terbitnya buku Mitologi Ritual Budaya Lingkar Muria menjadi
alternatif untuk mengenalkan budaya yang tersebar di daerah sekitar Pegunungan
Muria.
“Mengenal budaya berarti mengenal dirinya sendiri.
Artinya manusia dibesarkan agar tidak lupa dengan sejarahnya,” kata Farid.
Farid menganalogikan bagaimana seorang anak yang sejak
kecil sudah mengenal kedua orangnya. Anak tersebut tidak akan disesatkan dan
akan selalu mengingat-ingat jasa orang tuanya. Sebaliknya anak yang tidak kenal
atau bahkan tidak punya orang tua, ia akan kebingungan untuk menentukan arah
tujuan kehidupannya.
Sejarah kearifan lokal harus dipahami sebagai
asal-usul sebuah peradaban. Jika generasi kita dijauhkan dari sejarah dan
budaya, maka akan terlihat kehancuran pada diri sendiri. Lebih lanjut Farid
mengatakan supaya kegigihan merawat budaya ini juga dimiliki oleh mayoritas
pemuda, utamanya di Desa Tulakan.
“Budaya dan sejarah harus menjadi kebanggaan yang harus
dirawat untuk bersama kita kenalkan pada dunia,” ujarnya.
Sementara itu, Soebekti Sahlan, penulis babad Donorojo,
menceritakan asal usul budaya Desa Tulakan dan sekitarnya. Hadir dalam acara
tersebut perangkat Pemerintah Desa Tulakan, anggota Karang Taruna, dan beberapa
tamu undangan termasuk para penulis buku lainnya. (Salim/FAR)