Beberapa hari
terakhir saya sempat berpikir apa yang membuat seseorang itu berubah? Mengapa
Ia harus berubah? Lalu kapan dan siapa yang menuntut ia berubah? Dan bagaimana
proses perubahan itu terjadi? Pertanyaan itu muncul sebab kegelisahan yang
muncul ditengah perjalanan internal organisasi yang semakin hari semakin tak
bergairah. Beberapa hari, bulan bahkan tahun kita seolah hanya menuruti
rutinitas yang stagnan. Tidak ada perubahan apalagi pelajaran tambahan.
Saya
teringat pada firman Allah SWT bahwa Dia tidak akan merubah nasib orang kecuali
orang itu sendiri yang mengubahnya. Sampai di situ hipotesis saya mengatakan
bahwa perubahan harus dilakukan oleh masing-masing individu tanpa ada pengaruh
dari manapun, siapapun dan apapun. Tetapi disatu sisi saya juga ingat bahwa
semua kejadian yang terjadi telah ditakdirkan oleh Tuhan. Merujuk pada Sujiwo
Tejo dan Nur Samad Kamba dalam buku Tuhan Maha Asyik (2016) bahwa
manusia adalah wayang yang tinggal menunggu titah dari sang dalang (baca:
Tuhan). Dari situ hipotesa saya mulai runtuh. Satu per satu kata itu berguguran
dari susunan kalimatnya.
Ilustrasi : https://www.finansialku.com/cara-mengubah-kebiasaan-buruk-yang-perlu-segera-dipraktekkan/ |
Pikiran
itu semakin dalam hingga ketika saya makan pisang goreng buatan ibu saya yang
mengingatkan saya kepada sosok K.H Wahid Hasyim. Bukan bermaksud menyamakan
diri dengan beliau, tetapi saya ingat betul kesukaan saya makan pisang goreng
itu meningkat setelah membaca kisah hidup beliau yang konon suka makan pisang
goreng buatan ibunya. Dalam novel biografinya dituliskan bahwa KH Wahid Hasyim
seringkali meminta kepada ibunya, Nyai Nafiqoh, untuk dibuatkan pisang goreng
(Aguk Irawan MN, Sang Mujtahid Islam Nusantara, 2016).
Setelah
membaca kisah itu saya seolah-olah “diwejangi” untuk rajin-rajin makan pisang
goreng dengan maksud ittiba’ kepada orang sholeh. Mungkin saja kisah
saya itu terlalu ‘lebay’ untuk masuk dalam bahasan ini, tetapi hal kurang masuk
akal itu –untuk tidak mengatakan sebagai kekonyolan- ternyata juga pernah
dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA. Dalam satu kisahnya ia berkata
kepada hajar aswad, salah satu batu yang dimuliakan umat Islam, bahwa “Andai
saja aku tidak melihat Rasulullah menciummu (hajar aswad) maka aku tidak akan
melakukannya kepadamu,” begitu kira-kira Sayyidina Umar RA berkata.
Dalam
konsep Islam kita sering menyebutnya ittiba’ (mengikuti tingkah laku
seseorang) dalam rangka tabarruk (mencadong berkah). Nah, praktik itu
berawal sebab ada wejangan atau nasehat. Ada banyak jalan datangnya nasehat. Salah
satunya yaitu dari dalam diri seorang individu (self-advice). Dari dalam
diri biasanya nasehat itu berupa kegelisahan, penasaran dan sifat eksploratif
yang akhirnya mendorong seseorang kepada suatu perbuatan.
Saya
kemudian ingat dengan Cerpen karya Indra Tranggono berjudul Sumur Gumuling. Dalam
cerpen itu dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai sisi lain (baca : nurani) yang
seringkali diingkari. Sisi lain itu lah yang sebenarnya menyimpan banyak
pertanyaan terkait keputusan yang diambil di dunia nyata. Misal saja, kenapa
kita korupsi padahal tahu itu salah? Karena khilaf. Khilaf kok terus? Eh,
karena ada setan. Tidak usah bawa-bawa setan nanti dia marah! Maaf bukan setan
tapi iblis. Apa lagi iblis?! Dia sudah pensiun karena merasa kalah licik dengan
siasat manusia modern (Kompas, Minggu, 16/04/17).
Sayangnya
sisi lain itu tidak pernah dipercaya sebab sifat dasar (nafsu) manusia yang menuntut rasa nyaman dan aman
tanpa beban. Pertanyaan-pertanyaan dalam cerpen itulah nasehat dari dalam diri (self-advice)
yang kita butuhkan. Itu tidak hanya berlaku sebagai wejangan tetapi juga
pedoman dalam kita mengambil keputusan. Tidak hanya dalam satu kasus korupsi
saja, tetapi juga tanggung jawab yang telah menjadi konsekuensi atas pilihan
yang kita putuskan.
Ada
beberapa alasan mengapa saya awali tulisan ini dengan pertanyaan yang hampir
memuat unsur-unsur penulisan reportase. Pertama, bagi yang sedang belajar
mengenali dirinya ataupun melakukan penelitian apapun itu carilah banyak
pertanyaan dan kegelisahan atas pilihan yang kita putuskan. Harun Nasution,
mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah pernah
mengatakan bahwa jurus utamanya dalam berbagai penelitian adalah menguasai
unsur 5w+1h, sebagaimana wartawan dalam mencari berita.
Kedua,
pertanyaan adalah hulu dari segala solusi kehidupan, dari situ kita bisa
menemukan jawaban sebagai (wejangan) tambahan pembelajaran. Dengan wejangan
kita akan lebih mantap karena telah memiliki pertimbangan dan risiko dalam
pengambilan keputusan. Ketiga, dengan pertanyaan kita bisa mengenali dengan
mantap identitasnya sebagai manusia. Dari situ kita akan belajar menjadi
manusia seutuhnya, yang tidak lupa akan tanggung jawabnya sebagai pengelola
bumi dan segala isinya.
Sebab
dalam prinsipnya kita adalah gembala (baca : hamba) yang dilepaskan untuk
mencari 'majikan' yang sesungguhnya. Sebanyak hitungan napas makhluq disediakan
sebagai jalannya. Tiga kitab suci dan satu sebagai penyempurna diberikan
sebagai pedoman. Sebagai pembimbing banyak guru dan media pembelajaran telah
disediakan. Tinggal bagaimana dan kapan kita mau melakukan, menembus tantangan
untuk mencapai derajat yang lebih dari mapan. Jika tidak berhasil, mungkin
memang ini lah akhir dari kehidupan. Hmmm…[]
Oleh :
Muhammad Farid, Pimred LPM Paradigma STAIN Kudus 2017