Oleh : Al Mahfud
Lima belas meter dari gerobak bakso Kirman, Juki duduk
termenung menunggu pembeli datang. Sejak sore tadi, hanya seorang pembeli yang datang
menghampiri. Juki tak tahu, mengapa kian hari dagangannya kian tak laku.
Pikiran
Juki menerawang jauh ke belakang. Mengenang masa-masa awal berjualan bakso. Kala
itu, seakan semua telah dimudahkan. Lima
bulan pertama berjualan, Juki bersyukur bisa mencukupi
kebutuhan hidupnya. Selain kebutuhan sehari-hari untuk istri dan seorang anak,
ia masih bisa menyisihkan sebagian untuk ditabung. Sungguh, sebagai pedagang baru
waktu itu, Juki merasa beruntung.
Menurut
perkataan para pedagang di pinggiran alun-alun, butuh waktu untuk bisa
mendapatkan pelanggan. Pertama-tama, jangan terlalu
memikirkan keuntungan. Yang penting, mencari pelanggan
dengan cara memasang harga cukup murah, namun dengan rasa yang tak mengecewakan. Itu
kesimpulan yang Juki dapatkan dari perbincangan ringan dengan para penjual di pinggir-pinggir
jalan sekitar alun-alun suatu sore. Ia sengaja mampir ke beberapa penjual
makanan untuk sekadar bertanya-tanya sebelum memulai usaha jualannnya.
Tentu saja, dengan memesan makanan sepantasnya.
Selang
seminggu kemudian, setelah mendapatkan gerobak dan beberapa kali melakukan
percobaan membuat bakso, Juki dan istrinya mantap berjualan bakso di alun-alun
kota. Mereka mulai berjualan sore hari dan pulang pada malam hari. Anak mereka
yang masih duduk di bangku sekolah dasar, terpaksa
mereka titipkan di rumah neneknya saat mereka berjualan.
Juki bersyukur.
Hari pertama berjualan, waktu itu para pembeli banyak berdatangan. Sejak buka sore
sampai malam hari, ada saja yang mampir membeli. Itu membuat Juki dan istrinya semangat
bekerja sebagai bentuk syukur atas larisnya dagangan mereka. Memang, Juki sempat
berfikir, apa yang ia dapat mungkin hanya keramaian yang datang di hari pertama
berjualan. Namun, ia dan istrinya tetap berharap pembelinya puas dengan
baksonya dan menjadikannya sebagai langganan.
Waktu
terus berjalan. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, dan bakso Juki tetap ramai
pembeli. Juki mengamati, kebanyakan pembeli yang datang pada minggu-minggu
setelah minggu pertama adalah pembeli yang sama. Itu menunjukkan mereka puas
dan cocok dengan baksonya. Juki tak menyangka, ia bakal secepat itu mendapatkan
pelanggan.
Seiring
larisnya dagangan, pundi-pundi uang yang bisa ditabung kian banyak. Pada bulan
kedua, Juki merasa perlu seseorang untuk membantunya. Di samping itu, Juki ingin
istrinya di rumah saja, menenami anak semata wayang belajar, bukan menitipkan
buah hatinya itu ke neneknya. Istrinya cukup membantu membuat bahan-bahan bakso
dari rumah, tak perlu ikut berjualan.
Maka
pada bulan kedua, Juki berjualan dibantu seorang anak buah. Seorang pemuda, tetangganya
sendiri, bernama Pardi. Pardi baru lulus SMA, namun tak punya biaya untuk
melanjutkan kuliah. Ia seorang anak yatim, hidup hanya dengan ibunya. Juki tahu,
Pardi pemuda cekatan, bisa diandalkan untuk diajak berjualan. Di samping itu, hitung-hitung bantu anak yatim, pikirnya.
Dua
bulan, tiga bulan, empat bulan berlalu, bakso Juki kian laris. Seperti yang
Juki duga, kerja Pardi begitu memuaskan. Dengan cekatan ia melayani tiap
pembeli yang datang. Mulai dari mengambil bola-bola bakso, membubuhkan mi, dan
berbagai bahan ke dalam mangkuk, menuangkan kuah, hingga menghidangkan dengan
sopan dan ramah ke
hadapan pembeli. Semua dilakukan Pardi dengan baik.
***
Lambat
laun, larisnya bakso Juki menjadi perbincangan pedagang-pedagang lain sekitar
alun-alun. Mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin Juki mendapatkan banyak
pelanggan secepat itu. Mereka yang sudah bertahun-tahun berjualan di sana, pada
kenyataannya mesti banyak
bersabar untuk sekadar bisa mendapatkan pelanggan. Pelanggan itu tak datang seketika,
seperti yang dialami Juki.
Tengah
malam ketika alun-alun mulai sepi dan pembeli tak banyak lagi, beberapa
pedagang kerap nongkrong di sebuah warung di
pojok alun-alun untuk ngopi. Mereka berbincang apa
saja, paling sering tentang dagangan masing-masing. Karena Juki terus
sibuk melayani pembeli, ia tak pernah ikut ngopi. Saat
itulah, beberapa pedagang di warung kopi mulai membicarakan mereka.
Mereka
penasaran, apa yang Juki lakukan hingga daganganya bisa laris setiap hari.
Beberapa spekulasi terlontar dari mulut para pedagang. Ada yang menganggap itu biasa,
memang sudah rezeki Juki. Namun, kecurigaan-kecurigaan yang tak enak didengar
juga bermunculan. Kirman, yang
juga penjual bakso tepat di sebelah tempat Juki berjualan, paling bersemangat
saat membicarakan Juki. “Pasti
ada sesuatu, tak mungkin bisa laris secepat itu,” katanya suatu ketika pada pedagang lain saat ngopi bersama.
“Maksudmu?” seorang pedagang nasi goreng bertanya sembari menyeruput kopi panas yang masih mengepul.
“Ya, kita sesama pedagang tahulah, mana jalan lurus dan mana jalan pintas,” balas
Kirman, lalu menjepitkan sebatang rokok di bibir dan menyulutnya. Para pedagang
mengangguk-anggukkan kepala, seolah paham yang dimaksud Kirman.
“Aku dengar, sekarang barang yang dipakai semakin aneh!”
“Aneh gimana sih Man? Paling-paling jimat. Atau
si Juki pakai cincin akik penglaris,” ucap pedagang ketoprak dengan santai.
“Bukan, beda lagi!”
“Lalu apa?”
“Dengar-dengar, sekarang
pakai kaus kaki bekas. Direndam!” Kirman
berbisik, nyaris tak terdengar.
Sontak yang lain terkejut. Pedagang nasi goreng yang
tengah meneguk kopi, tersedak dan terbatuk-batuk. “Yang benar kau
Man?” tanyanya. Kirman hanya menggeleng-geleng, sambil
menatap ke arah Juki di seberang jalan yang tengah sibuk melayani pembeli, seolah memberi isyarat pada
temannya bahwa ia sendiri tak
percaya dengan apa yang diketahuinya.
***
Sejak
saat itu, suara sumbang tentang bakso Juki kian terdengar berkumandang. Dari
mulut-mulut pedagang sekitar alun-alun, sampai akhirnya merembet ke telinga
para pembeli mereka. Lambat laun, suara itu sampai juga
ke pelanggan Juki. Meski hanya kabar burung, namun cukup
membuat orang berfikir dua kali sebelum membeli bakso Juki.
Kian hari,
dagangan Juki kian sepi. Tak jarang, Juki dan Pardi pulang dengan bola-bola bakso
dan kuah yang masih penuh tinggi. Namun, dengan kondisi seperti itu, Juki masih
berbaik sangka kepada Yang Maha Kuasa. Mungkin Allah sedang memberi jeda baginya untuk istirahat. “Toh,
namanya jualan, memang kadang ramai dan kadang sepi,” ucapnya ringan pada Pardi
suatu malam saat keduanya mendorong gerobak bakso
untuk pulang.
Sejak
pembeli berkurang, Juki mengurangi dagangan dari rumah. Bola-bola bakso, mi,
racikan bumbu, sampai saus dan kecap, ia bawa secukupnya, tak sebanyak ketika ramai
dulu. Sebenarnya, Juki cukup bersabar dengan kondisinya. Hanya saja, ia sedih
ketika melihat anak buahnya, Pardi, yang sering melamun saat
berjualan karena tak ada yang
dikerjakan.
Sementara
itu, dagangan bakso Kirman mulai ramai. Satu per satu pelanggan Juki beralih ke
Kirman. Penjual bakso di sekitar alun-alun itu memang hanya mereka berdua.
***
Sore
itu, Juki dan Pardi baru tiba di alun-alun dan menyiapkan segala peralatan sebelum
membuka dagangan. Beberapa meter dari sana, bakso Kirman sudah buka beberapa
jam lalu. Sejak ramai pembeli, Kirman buka lebih awal beberapa jam dari
biasanya. Juki melihat Kirman yang sibuk melayani pembeli dengan tersenyum. Dalam
hatinya, ia berharap dagangannya bisa ramai kembali seperti dagangan Kirman
saat ini.
Lepas
dari dagangan Kirman, pandangan Juki menangkap sebuah mobil yang melesat cepat
dari kejauhan. Juki merasa ada yang tak beres dengan laju mobil itu. Beberapa
detik kemudian, mobil itu sudah semakin mendekat ke arah Kirman.
“Awaaass!”
teriak Juki panik.
Namun
terlambat. Mobil itu terlanjur menghantam keras gerobak bakso Kirman hingga
terguling. Beruntung, Kirman yang saat itu sedang mengaduk kuah tak mengalami
luka parah. Ia hanya terkaget dengan tangan dan kaki yang lecet, tergores bagian
samping gerobak bakso yang terguling. Pembeli yang sedang menikmati bakso
Kirman, sontak terkejut dengan kejadian tiba-tiba itu.
Di
tengah kerumunan pembeli dan pengguna jalan yang berhenti, Juki berlari menghampiri
Kirman dan membantunya berdiri. Beberapa saat terhenti, mobil itu kembali
melaju dan menjauh, seolah si pengemudi tak peduli dengan apa yang sedang
terjadi. Orang-orang di
sana pun seperti tak memperhatikannya. Seluruh perhatian
mereka saat itu tertuju pada hal lain.
Orang-orang
yang berkerumunan di tempat kejadian, pandangannya mengarah pada
sebuah kain panjang butut yang terlihat basah bercampur kuah bakso yang tumpah
mengucur dari dalam gerobak Kirman. Mata mereka terbelalak. Sebagian sontak merasa
mual dan ingin muntah. Terutama mereka yang baru saja menyantap bakso Kirman.
*Al-Mahfud,
menulis cerpen dan esai,
dari Pati.
menulis cerpen dan esai,
dari Pati.