Menghadapi pemilihan umum mahasiswa raya adalah rutinitas tahunan yang
lumayan “merepotkan”. Ini tidak sekadar perebutan kekuasaan pucuk pimpinan
mahasiswa, tetapi juga ajang prestisius bagi organisasi mahasiswa internal
maupun eksternal kampus. Sayangnya ini belum mampu menarik keterlibatan
mahasiswa secara umum.
Katanya mahasiswa sudah terlalu apatis dan tidak peduli soal siapa saja
sosok presidennya. Target mahasiswa sudah tidak lagi sibuk mengurusi politik,
gerakan ataupun isu sebagaimana era orde baru. Dari pihak kampus, baik itu
birokrat, dosen maupun pembina organisasi juga tidak maksimal dalam memberi
pengetahuan soal politik kampus kepada mahasiswanya.
Mereka lebih menuntut mahasiswa untuk menyibukkan dirinya dengan tugas
resume makalah, lomba masak-masakan berdalih inovasi produk, ataupun blusukan
mencari narasumber untuk dijejal berbagai pertanyaan berdalih penelitian. Oh
iya, ada satu lagi, mahasiswa sekarang harus menghafal al-quran dan setelah itu
boleh dilupakan.
Padahal tahun ini cukup seru. Ada dua calon presiden mahasiswa yang
disahkan untuk duel memikat mahasiswa dengan program kerja. Masing-masing tentu
memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebagai contoh capresma nomor satu
mengunggulkan pengalaman dan jaringan organisasinya. Sedangkan capresma nomor
dua membawa 16 program sebagai misi utamanya.
Kendati demikian, kita tentu sudah banyak belajar dari para pemimpin
(politikus) di negeri ini. Banyak dari mereka yang tidak sebagaimana harapan,
bahkan juga ada perilaku berbeda dari apa yang diucapkan. Janji dan program
saat kampanye banyak yang keteteran.
Tentu kita tidak mengharapkan itu juga terjadi di kampus kita. Para
calon hendaknya membuang jauh niatan untuk hanya sekadar memikat dalam waktu
sesaat, tetapi harus teguh menjalankan amanat. Soal apatisme mahasiswa bukanlah
penghambat jika memang ada bukti perbuatan nyata dan sifat merakyat.