PATI, PARIST.ID- Wayang merupakan
salah satu kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia. Perwatakan dalam
lakon pewayangan menjadi perlambang akan ciri khas bangsa Indonesia yang
memiliki beragam sifat dan budaya, mulai dari lakon Ramayana atau Mahabaratha.
Hal itu mengemuka dalam rutinan
selapanan Suluk Maleman yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Kecamatan
Pati kota, Pati, Senin (26/02/18) malam. Acara yang dibuka dengan pagelaran
wayang lakon Dhuryudhana Gugur tersebut dihadiri oleh Budayawan Emha Ainun
Nadjib (Cak Nun:red) sebagai narasumber, serta Dhalang Ki Sigit Ariyanto.
Menurut salah satu narasumber, Ki
Dalang Sigit Ariyanto, penilaian terhadap lakon wayang
itu tergantung pada penontonnya. “Wayang itu bisa memiliki banyak
fungsi, bisa dianggap sebagai hiburan, bisa juga dijadikan media dakwah dan
belajar. Bahkan juga sebagai media kampanye,” tuturnya.
Indonesia yang memiliki keberagaman
budaya sangat riskan dalam menjaga kerukunan bernegara. Sebab banyaknya
penjajah-penjajah asing yang tanpa disadari secara langsung, telah menggilas
tatanan kebangsaan para kaum muda. Dalam hal tersebut, Cak Nun menggambarkannya
dalam tingkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat sandhang, pangan, papan.
“Manusia sekarang sudah tidak
memikirkan lagi tentang sandhang (martabat), banyak diantaranya yang hanya
memikirkan bagaimana caranya memenuhi pangan tanpa mengindahkan bahwa kebutuhan
akan sandhang adalah yang utama. Seolah semua orang berlomba-lomba memenuhi
kebutuhan isi perut dengan menanggalkan harga dirinya,” jelasnya.
Sebagai perumpamaan, Cak Nun
menggambarkan perwatakan manusia itu dalam lakon Sumantri dan Sukrosono. Dimana
Sumantri telah tega membunuh Sukrosono yang notabene adalah adiknya sendiri,
yang telah mati-matian membantunya untuk memperoleh jabatan tertinggi. Namun
kesetiaan dan ketulusan Sukrosono tersebut dibayar dengan pembunuhan yang
kejam. Banyak sekali masyarakat indonesia yang saling berebut kekusaan dan
mempertaruhkan harga diri sebagai
jaminan.
Kemudian lakon Karna dan Pandhawa.
Dimana Karna harus rela di adu domba dengan saudaranya sendiri yakni para
Pandhawa demi mengabdi kepada Dhuryudhana agar memperoleh kekuasaan di kerajaan
Hastinapura. Masyarakat indonesia juga banyak yang memiliki watak demikian.
Apalagi jika musim pemilu tiba. Masyarakat saling berebut dan beradu meskipun
degan tetangga atau bahkan saudara sendiri.
“Mempelajari watak dan kepribadian
bangsa Indonesia itu mudah, belajar saja melalui sifat-sifat para tokoh
pewayangan, maka akan dapat ditemui bermacam-macam watak masyarakat Indonesia,”
ujar budayawan nasional tersebut.
Masyarakat Indonesia juga ada yang memiliki watak seperti lakon
Kumbakarna (adik dari raksasa Dasamuka). “Meskipun ia adalah raksasa, tapi ia
memiliki sifat perwira dan sering menyadarkan kakaknya yang salah. Namun ia
tetap membela kakaknya meskipun tau bahwa kakaknya bersalah. Namun demi
keutuhan kerajaan Alengka ia turun dan berperang melawan Rama. Masyarakat
Indonesia juga banyak yang mengalami permasalahan dilematis seperti yang
dialami Kumbakarna tersebut, banyak yang membela kebathilan demi menjaga
keutuhan NKRI,” tutur Cak Nun.
Sebagai akhir dari pemamaparannya,
Cak Nun berpesan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan suku dan
budaya, sudah selayaknya bangsa Indonesia mempelajari tentang arti perbedaan
dan menanamkan sifat toleransi dalam berbagai hal. Terutama dalam misi
mempersatukan bangsa dan menjaga keutuhan NKRI.
Hal tersebut juga diakui oleh Habib
Anis Sholeh Baasyin, pengasuh dan
pendiri di Rumah Adab indonesia Mulia. “Inilah yang menjadikan masyarakat
Indonesia, terutama kaum muda itu mudah goyah. Sebab mereka bergantung pada
sesuatu yang rapuh, atau dalam istilah Jawa gondelan barang ambruk, karena
mereka hanya memikirkan bagaimana caranya mengisi perut, dan lupa bahwa Allah telah
mengatur segalanya,” paparnya. (Risa)