Oleh Arif Rohman
Pada novel Max Havelar, kita
akan berkenalan dengan tokoh bernama Batavus Droogstoppel, tokoh cerita yang
suka berkata sesuai kebenaran: "Aku sama sekali tidak keberatan dengan
puisi. Jika kau ingin merangkai kata-kata, baiklah; tapi jangan ucapkan sesuatu
pun selain kebenaran."
Droogstoppel jujur dalam
segala hal, termasuk dalam menulis puisi. Ia tak mau mengorupsi kata untuk
kepentingan rima. Dimisalkan, dengan puisi: "Jam berdentang empat
kali/Dan sudah tidak hujan lagi". Seandainya waktu itu pukul tiga kurang
seperempat, maka Droogstoppel akan berkata:"Pukul tiga kurang seperempat, dan hujan sudah
berhenti."
Bagi seorang penyair,
Droogstoppel bisa dibilang bukanlah penikmat seni, puisi atau pun karya fiksi
lainnya, yang tentu saja memerlukan keterampilan bertutur, agar pembaca merasa
tertarik membaca, menikmati membaca yang di antaranya berkat rima yang ditulis
dengan diksi yang pas.
Droogstoppel berlebihan dalam
melihat kebenaran. Melihat karya fiksi sebagai hal yang penuh kebohongan. Jauh
dari keyakinannya yaitu kebenaran.
Di tahun politik 2018 ini,
kita bisa melihat kepribadian Droogstoppel
dalam Max Havelar sebagai metafora. Coba kita sandingkan pendapat
Droogstoppel terhadap "Si Pembuat Rima" itu dengan para politisi yang
mencalonkan sebagai pemimpin kita. Figur yang tampil "sempurna" lewat
potret yang terpampang di pinggir jalan. Figur yang berperan sebagai "Si
Pembuat Rima", mengubah kata untuk keindahan baca. Kita hanya melihat yang
baik-baik saja: baliho besar dengan gambar senyum, simbol kebaikan; dengan
slogan penuh optimisme, juga simbol kebaikan, dan lain sebagainya.
Pencitraan diri
Pada masa kampanye, baliho
wajah calon pemimpin kita bemunculan. Bahkan, dengan mengakali peraturan kampanye,
beberapa figur yang berniat mencalonkan diri entah calon bupati atau gubernur
sudah muncul fotonya di pinggir jalan jauh-jauh hari sebelum terompet
pergantian tahun ditiup.
Melihat masa kampanye di
desa, tidak lepas dari laku pemberian kaos partai atau calon, esais A.S.
Laksana, pernah memberi saran, jika ingin mengakomodir banyak orang berilah mereka seragam.
Dan tim sukses akan mendatangi
rumah-rumah membagikan amplop, mirip yang digambarkan A. Mustofa Bisri atau Gus
Mus dalam puisinya Di Negeri Amplop (1414): Di negeri amplop/ amplop-amplop
mengamplopi/ apa saja dan siapa saja. Yang paling banyak memberi uang akan
dipilih adalah keyakinan masyarakat yang sudah umum. Mungkin, dilandasi rasa
kecewa karena banyak pemimpin tercokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di luar urusan politik uang,
para politisi mengenalkan dirinya lewat potret. Cekrek. Dibumbui senyum manis,
janji manis, dan slogan yang optimis. Kemudian memasangnya di titik strategis
jalur yang dilalui masyarakat.
Di ranah nasional, kita juga
bisa melihat wajah-wajah politikus di layar televisi. Yang hadir di sela-sela
iklan, yang muncul di sela-sela berita.
Alih-alih mengenalkan diri
lewat rekam jejak alias sumbangsing yang telah diberikan kepada masyarakat.
Para politikus masih banyak yang berkenalan melalui potret dan video
pencitraan.
Sisanya kita mendapati para
pemilih yang menolak amplop akan golput dan melihat amplop bekerja: Amplop-amplop
menguasai penguasa/ dan mengendalikan orang-orang biasa/ Amplop-amplop
membeberkan dan menyembunyikan/ mencairkan dan membekukan/ mengganjal dan
melicinkan. Selamat pikir-pikir menentukan pilihan.
Arif Rohman, anggota Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku) dan
Paradigma Institute (Parist) Kudus.