Oleh
Al-Mahfud
Pembangunan tugu atau monumen,
sering dipilih sebagai simbolisasi suatu nilai yang telah, sedang, dan akan
diperjuangkan bersama. Kita mengenal Tugu Pahlawan di Surabaya yang dibangun
untuk mengabadikan heroisme peristiwa 10 November 1945 saat arek-arek Suroboyo melawan Sekutu dan penjajah. Semangat dan nilai yang sama
juga terkandung dalam Monumen Nasional (Monas) yang menjulang tinggi di
Jakarta, yang dibangun pada tahun 1961 untuk mengenang kobaran semangat perjuangan
bangsa dalam melawan bangsa kolonial. Di Palu, berdiri Tugu Perdamaian
Nosarara-Nosabatutu, yang menjadi simbol persatuan dan persaudaraan masyarakat
Palu.
Sejak zaman dahulu, sudah banyak
tugu didirikan, banyak monumen dibangun di pelbagai kota dan daerah di
Indonesia. Masing-masing punya sejarah, membawa nilai, semangat, dan pesan. Kebiasaan
membangun tugu nampaknya terus berlangsung. Sampai sekarang, orang-orang masih
ketagihan membangun monumen dan tugu. Di Pekanbaru Riau, bertepatan dengan Hari
Antikorupsi Internasional 9 Desember 2016 beberapa tahun lalu, diresmikan Tugu
Antikorupsi. Tugu setinggi tujuh meter tersebut menjadi simbol komitmen
pemerintah provinsi Riau dalam menegakkan integritas kinerja aparatnya dalam
melayani masyarakat dan memerangi praktik korupsi.
Kabarnya, tugu tersebut dibangun
atas inisiatif Gubernur Riau, Andi Rachman, yang ingin ada suatu tanda
peringatan integritas agar seluruh aparat di Riau berkomitmen untuk menjauhi
korupsi. Tugu tersebut kemudian menjadi kebanggan masyarakat Riau. Masyarakat
menaruh harapan besar pada pemerintah daerahnya. Terlebih, sebelumnya Riau
kerap mendapat stigma negatif, terutama tentang laku korupsi pejabatnya. Ini
tak lepas dari tiga gubernur sebelumnya yang berturut-turut masuk penjara
gara-gara korupsi. Belum lagi para anggota dewan, pejabat daerah, serta para
kepala dinas yang terjerat kasus suap perizinan kehutanan, pendanaan PON, dan
sebagainya.
Tugu pun dibangun dan diresmikan.
Pemerintah bangga. Masyarakat mulai menggantungkan asa. Lewat Tugu tersebut,
masyarakat melihat komitmen pemerintah untuk bekerja jujur dan menjaga
integritas, sehingga menaruh harapan besar sejak saat itu. Sayangnya, setelah itu muncul kabar
mengejutkan.
Awal November 2017, Kejaksaan Tinggi
Riau mengungkap skandal korupsi dan menetapkan 18 orang tersangka proyek Ruang
Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar Integritas, yang mana di dalamnya termasuk
pembangunan Tugu Antikorupsi tersebut. Penyidik kejaksaan menaksir, korupsi
berjamaah yang melibatkan seorang staf ahli Gubernur, 12 pegawai negeri, dan
lima orang swasta tersebut mengakibatkan negara merugi hingga 1, 23 miliar (Tempo.co, 8/11/2017).
Komitmen memerangi korupsi yang
dicanangkan Gubernur rupanya tak sepenuhnya dipatuhi seluruh aparatnya. Mereka yang
bertugas mengurus pembangunan Tugu Antikorupsi, tak semua berpikir tentang apa
yang mereka bangun. Simbol penegakan integritas yang akan dibangun tak cukup
menjadi halangan bagi seorang untuk berbuat koruptif. Seolah, nilai yang sedang
diperjuangkan dikhianati di detik yang sama. Tugu memang sudah berdiri dan
diresmikan. Masyarakat sudah bisa melihat, berkunjung, berfoto-foto dan
membanggakan nilai antikorupsi yang dipancarkannya. Namun tugu ternyata
menyimpan paradoks yang ironis; ada korupsi di balik pembangunan Tugu
Antikorupsi.
Korupsi telah lama menjadi persoalan
genting bangsa ini. Kita bahkan masih ingat kasus-kasus korupsi yang dianggap
sangat ironis. Korupsi dana penyelenggaraan ibadah haji yang melibatkan Menteri
Agama misalnya. Atau korupsi pengadaan kitab suci Al-Quran. Kasus-kasus korupsi
tersebut dianggap sangat ironis sebab menunjukkan laku koruptif atau amoral
yang justru terjadi di lingkungan kementrian yang dianggap menjadi sandaran
moral bangsa. Hidup, bekerja, dan berpikir di lingkungan Kementrian Agama
ternyata tak menjamin seseorang bisa terhindar dari laku koruptif yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri.
Kita boleh terkejut, heran, sedih, geram
dan marah mendengar kasus korupsi dana ibadah Haji dan pengadaan kitab suci
Al-Quran. Tapi para koruptor seakan tak pernah kehabisan cara mengerjai kita.
Bahkan, semakin menjadi-jadi. Kita disuguhi kabar ada pembangunan Tugu
Antikorupsi yang dikorupsi! Sebuah tugu yang dibangun sebagai komitmen
menegakkan integritas dan memerangi korupsi, yang dibangun di daerah yang
sedang berjuang membersihkan stigma negatif sebab banyaknya kasus korupsi di
sana, yang juga diresmikan di Hari Antikorupsi Internasional di mana daerah
tersebut menjadi tuan rumah peringatannya, yang telah menyalakan asa dan
harapan baru masyarakat pada pemerintahnya, pembangunanya ternyata malah korupsi.
Sulit dibayangkan bagaimana
orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi Tugu Antikorupsi tersebut
menjalankan rencananya. Bagaimana mereka menyusun kesepakatan untuk bertindak
menyeleweng, kongkalikong mengatur pemegang tender, sampai merekayasa dokumen
atau laporan pembangunan sebuah tugu simbol kejujuran: anti penyelewengan, anti
kongkalikong. Kita seperti melihat orang-orang yang menutup mata, terpisah dari
hati dan jiwanya dari nilai-nilai yang sebenarnya sedang diperjuangkan di dalam
tindakan dan tugas-tugasnya.
Jika sebuah tugu dibangun sebagai
simbol atau tanda akan komitmen memerangi korupsi, idealnya semua proses
pembangunannya haruslah dijalankan dengan memegang teguh nilai-nilai kejujuran:
keterbukaan atau transparansi. Dengan begitu, ketika nanti tugu selesai
dibangun, akan tercipta sebuah ikatan emosional tentang bagaimana nilai-nilai
antikorupsi itu benar-benar ditegakkan sejak awal proses pembangunannya.
Korupsi Tugu Antikorupsi akhirnya
menjadi gambaran masih sulitnya para aparat atau pejabat melepaskan diri dari
laku korupsi meski komitmen terus digaungkan dan tugu-tugu terus ditancapkan.
Benar bahwa tugu tersebut kini sudah berdiri tegak dan sudah diresmikan. Namun,
terkuaknya praktik korupsi dalam pembangunannya membuat tugu tersebut
seakan-akan sudah roboh sebelum dibangun. Sebagai bentuk komitmen memerangi
korupsi, pembangunan tugu perlu diapresiasi. Tapi kasus korupsi dalam
pembuatannya sungguh sebuah ironi.
Tapi, sekali lagi, Tugu Antikorupsi
adalah tugu komitmen. Bagaimanapun tugu sudah berdiri, dan meski pembangunannya
dikorupsi, kita tetap masih bisa berharap agar ia (tugu) tak malu terus berdiri
tegak menginspirasi orang-orang untuk melawan korupsi.
*Al-Mahfud, penulis, dari Pati.
beberapa tulisannya bisa diakses di
gemuruhdalamsunyi.wordpress.com