Ada sebuah meme yang menurut saya mengusik jiwa “nasionalisme” saya terhadap IAIN Kudus. Meme itu menyandingkan logo terbaru kampus hijau kita itu dengan bolu kukus dengan keterangan yang cukup menggelitik. Sekilas memang ada kemiripan, tetapi meme tersebut juga tidak bisa dianggap wajar atau hanya sekadar guyonan. Saya memandang ada beberapa hal yang harus segera kita benahi dalam persoalan ini.
Logo adalah jati diri yang tidak ternilai harganya. Ia memuat definisi lembaga : yang tentu saja bermakna mutlak dan tidak bisa dibantah, apalagi dicela karena alasan apapun. Logo juga merupakan cermin kolektif bagi setiap individu yang ada didalamnya. Logo memuat makna semangat, energi serta visi misi sebuah lembaga yang sedang bergerak dan berproses. Itu sekaligus menjadi citra yang harus terjaga wibawanya sehingga tidak ada seorangpun bisa mengusiknya.
Kendati sebuah hal yang mutlak sebuah logo perlu
pengkajian mendalam agar tidak mengurangi wibawa lembaga. Saya pernah menemui
beberapa kasus serupa hingga akhirnya membuahkan keputusan yang mengubah sebuah
logo.
Tahun 2015 silam, persoalan tentang logo dialami oleh
Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang menuai kritik netizen sebab
memunculkan “Drawa” sebagai logo dan maskot Asian Games 2018. Sebagaimana
dilansir oleh detiksport.com, Drawa dianggap terlalu kuno dan tidak
memenuhi ekspektasi publik yang modern dan digital. Drawa yang merupakan gambar
burung cendrawasih berkostum pencak silat itu bahkan dianggap lebih mirip ayam
dan tidak memiliki nilai jual (detiksport.com, 2015).
Eveline.co.id mencatat sepanjang Desember 2015
terdapat lebih dari tigapuluh ribu tweet yang membincangkan logo tersebut.
Mereka menganggap panitia Asian Games 2018 tidak bisa bertindak semestinya dan
minim kreatifitas. Akhirnya, Presiden dan Wakil Presiden menggelar rapat
tertutup dan meninjau ulang serta merevisi logo itu dengan yang lebih elegan
seperti yang kita lihat sekarang.
Era Digital
Kembali pada tataran Logo IAIN terbaru yang sudah beredar
itu, saya kurang begitu setuju sebab beberapa alasan yang hampir serupa dengan
kasus “Drawa”. Gabungan konsep bola dunia, menara dan putik bunga saya kira
telah ada sejak sebelum kemerdekaan dan amat klise digunakan oleh lembaga
dimanapun. Pun logo IAIN Kudus yang baru tersebut juga tidak ramah posisi
(multiplace) sehingga bisa digunakan dalam berbagai olah digital.
Sebagai perbandingan, logo IAIN Tulungagung menyelaraskan
antara aksara jawa dengan olah digital kekinian yang elegan. Desainnya juga
simpel dan mudah diaplikasikan di semua media olah digital. Contoh lain, kita
bisa melihat logo IAIN Pekalongan yang juga sangat dinamis dan elegan dengan
memadukan aksen khas Kufi (Iran). Begitulah memang, desain visual adalah
keharmonisan antara sentuhan budaya dan kecanggihan teknologi yang memuat visi
besar sebuah lembaga.
Berkaca
dari kedua Institut tersebut logo IAIN Kudus seharusnya bisa dikemas lebih
sederhana. Tentu pengaplikasian Menara, bukan secara utuh langsung ditempel
begitu saja. Melainkan diolah kembali sedemikian rupa agar menghasilakan desain
yang simpel dan mudah diaplikasikan berbagai media. Selain itu masih banyak
ciri kota Kudus yang dapat diaplikasikan kedalam sebuah logo. Misalnya mengolah
kata kudus itu sendiri, mengolah digital rumah joglo dan lain sebagainya. Atau
seperti mengolah khat (kaligrafi) dalam bentuk yang simpel dan enak dipandang
dengan nilai seni yang tinggi.
Libatkan Mahasiswa
Meski logo itu sudah tersebar di beberapa sudut desain
grafis, baik dunia nyata maupun maya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada sang
kreator logo, saya menyarankan agar para pejabat kampus meninjau ulang logo
tersebut. Terlebih kita memiliki ribuan mahasiswa yang saya kira beberapa
diantara mereka memiliki keahlian desain grafis. Melibatkan mahasiswa adalah salah
satu cara untuk mencari desain terbaik demi citra IAIN Kudus kedepan.
Sebenarnya di IAIN Kudus sendiri ini bukan lah hal baru.
Ketika Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) diubah namanya oleh Kementerian Agama
menjadi Senat Mahasiswa (Sema) pada tahun 2015 mereka mengadakan sayembara
logo. Hasilnya pun tidak mengecewakan, logo Sema kini terlihat lebih berwibawa
daripada sebelumnya.
Logo memang bukan segalanya, karena ia juga tidak lebih
penting dari kualitas birokrasi di dalamnya. Akan tetapi mengabaikan peran
mahasiswa juga bisa jadi malapetaka yang berujung pada rusaknya citra kampus
bahkan negara.
)*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Syariah dan EI, Prodi Ekonomi Syariah Semester 8