PATI, PARIST.ID - Kerinduan akan keabadian
akan mengantar manusia pada sesuatu yang di Ridhoi Tuhan. Sebab yang abadi hanyalah
satu, Allah Azza Wa Jalla. Dan sejatinya manusia itu hidup selama- lamanya,
akan tetapi manusia hidup di dunia ini hanya sementara. Begitulah pembukaan
yang di utarakan oleh Emha Ainun Najib
atau yang akrab disapa Cak Nun dalam pengajian umum bertajuk Halal bi halal dan
Sinau Bareng Cak Nun yang di gelar di Desa Sundoluhur Kecamatan Kayen, Pati. (03/07/2018)
Malam.
Cak Nun menuturkan, Allah menciptakan
makhluk berbeda-beda dengan keistimewaan masing-masing. Akan tetapi manusia sering
kali salah dalam menafsirkan, sehingga terjebak pada suatu paham, pluralisme
yang di salah artikan. Pemahaman yang keliru tersebut mengakibatkan perpecahan
karena kekeliruan dalam pengaplikasian tujuan, sehingga timbullah
golongan-golongan yang mengakui diri paling benar dan enggan membenarkan
sesamanya.
Hal tersebut tak ayal menjadikan
persaingan antar golongan yang sengit. dan jadilah pertengkaran saudara, pertikaian
antar suku, serta pemberontakan pada pemimpin. padahal jika ditelisik lebih
dalam, kecenderungan pemikiran masyarakat berlandaskan pada ideologi pemimpin yang memimpinnya.
"Kita sebagai umat yang mengakui
bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil Al-Amin seharusnya mau menerima
kepercayaan dari setiap golongan. Bukan karena terprovokasi dan hanya mengikut pada
atasan. Atasan (pemimpin) itu hanya menjadikan rakyat sebagai alat, padahal
pemimpin sesungguhnya adalah pelayan rakyat. Perbedaan yang menimbulkan
perselisihan bukanlah cermin dari Islam yang Rahmatan Lil Al-Amin. Itu umatnya saja
yang pekok," imbuhnya.
K. H. Muzammil, anggota MUI Pusat yang
juga hadir pada acara tersebut menjelaskan mengenai kerukunan beragama berdasar
cinta pada Allah dan utusan-Nya. Demi terwujudnya kerukunan antar umat, maka
segala hal harus dilandaskan pada rasa cinta. Puncak cinta yang hakiki adalah perasaan
cinta pada Allah dan RasulNya.
"Adalah sebab umat manusia cinta
kepada Allah dan Rasul-nya maka Allah kabulkan lah doa-doanya. Karena pada hakikatnya
manusia tidak dapat mencapai Allah sebab dosa yang telah dilakukannya, akan
tetapi sebab rasa cinta, jadilah manusia meminta tolong kepada Rasulullah
sebagai kekasih Allah. Karena Nabi SAW memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki Nabi lain yakni "as-syafi" sebagai pemberi syafaat,
dan "musyafa'" yakni yang diharapkan syafaatnya" katanya.
Ibadah yang dilakukan manusia,
faedahnya akan kembali pada manusia itu sendiri. Maka jika manusia tidak beribadah
tidak akan ada imbasnya bagi Allah dan Rasulullah. "Akan tetapi karena
kecintaan manusia pada Kekasih Allah maka manusia akan memperoleh cinta dan
pengampunan dari Allah. Salah satu wujud cinta yang paling mudah ialah dengan membaca
Shalawat," Tambahnya.
Habib Anis Sholeh Ba'asyin, menambahkan,
untuk menjadi hamba yang bisa dicintai
Allah, maka manusia harus mencintai kekasih Allah. "Seperti kata Hadist "Barangsiapa
mencintaiku maka akan mengikuti". Maksud mengikuti disini adalah seseorang
yang hendak mencapai cinta Allah, seyogyanya mencintailah dahulu pada kekasih
Allah. Karena Allah pasti akan mencintai orang-orang yang mau mencintai
kekasihNya," tutur Budayawan asal kota Pati tersebut.
Cak Nun kembali menyambung penuturannya,
pangkal urusan manusia pada Tuhannya adalah sebab cinta. "Manusia beragama
itu bukan hanya untuk menyembah Tuhannya saja. Namun juga sebagai alat untuk
menghormati sesama manusia, untuk menebar kasih sayang. Karena di dalam beragama,
manusia memiliki budaya atas bumi yang dipijaknya sebagai landasan berkehidupan
yang luhur, untuk menjaga kesatuan dan persatuan tanah airnya" jelasnya.
Pada dasarnya, jika berkaca pada para
pendahulu kita, manusia yang berbudi adalah ia yang memiliki akal sehat dan
perilaku jernih dalam mengamalkan perintah Tuhannya. Umat yang demikian itu adalah
umat yang memiliki tiga aspek yang termasuk dalam kategori dasar filsafat
kehidupan manusia, yakni benar, baik, dan indah.
"Jika manusia mampu memadukan
ketiganya menjadi sebuah kesatuan yang padu, maka kehidupan damai dan sejahtera
akan dicapai oleh bangsa. Akan tetapi hanya sedikit manusia yang berhasil
memadukan ketiganya. Lebih banyak dari mereka hanya mampu menjadi sepertiganya.
Itulah yang menjadi pangkal adanya pertikaian sesama suku, rumpun, dan bangsa. Urung
jangkep tapi sok ngaku genep," pungkasnya. (Ris)