Oleh: Abdul Ghofur
Seminggu sudah acara Pengenalan Budaya
Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) berlangsung di kampus hijau tercinta IAIN
Kudus. Acara yang selalu dihelat untuk menyambut kawan-kawan mahasiswa baru
yang diharapkan mampu menciptakan budaya dan kultur akademik yang kritis,
mengembangkan tradisi riset dan membentuk mahasiswa yang berkarakter, bermoral
dan berakhlakul kharimah. Artinya, dalam segala kegiatan PBAK dimulai dengan
mengindahkan segala peraturan yang berlaku oleh segala elemen penyelenggaranya
sehingga mampu menciptakan kegiatan yang baik dan mencapai tujuan yang
diharapkan pada kegiatan PBAK.
Kegiatan PBAK 2018 perlu kita apresiasi karena
dapat dikatakan sukses dan berjalan lancar, namun bukan berarti tanpa masalah
dan anti-kritik maupun risi akan evaluasi. Karena
apa yang tertulis pada tulisan ini terjadi begitu adanya. Penulis hanya ingin
menyampaikan yang memang seharusnya disampaikan oleh mahasiswa sebagai agent
of changeyang selalu
gelisah ketika merasa ada kekeliruan dalam ruang mahasiswa IAIN Kudus. Dan
sebagai pemuda yang semangatnya masih menggebu-gebu karena terilhami perkataan
Tan Malaka (Bapak Republik), idealisme adalah kemewahan
terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.
Banyak fenomena yang
terjadi dari persiapan acara sampai pada hari H acara yang selalu
mengganggu nalar sehat kita. Terutamakaitannya dalam implementasi surat edaran tentang penyelenggaraan
PBAK 2018 oleh Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Pendidikan Islam.
Ada beberapa persoalan yang harus kita sadari
bersama yakni terkait kewajiban panitia yang harus memakai jas almamater
selama kegiatan PBAK berlangsung, larangan untuk tidak menggunakan
atribut-atribut tambahan, serta syarat susunan formasi kepanitian yang
harus dipenuhi, diantaranya: terdaftar sebagai mahasiswa aktif minimal pada
semester IV dan maksimal semester VIII, IPK minimal 3,00 dibuktikan dengan
menunjukkan KHS (atau HSS) yang sah dan telah mengikuti dan dinyatakan lulus
PBAK dengan menunjukkan sertifikat.
Namun, fakta di lapangan berkata lain. Terlalu
mudah kita menemukan kawan-kawan panitia yang tidak menggunakan jas almamater
dalam agenda terutama waktu screening. Terlalu sering kita melihat
kawan-kawan panitia yang menggunakan atribut tambahan, diantaranya pin dan
emblem organisasi eksternal.
Susunan kepanitian pun tidak terlepas dari
kritikan yang banyak diisi oleh kawan-kawan mahasiswa yang masih semester III
itupun belum genap dan mahasiswa yang lebih dari semester VIII. Bahkan tidak
menutup kemungkinan dalam penyususnan kepanitiaan tidak menyertakan KHS (atau
HSS) dan sertifikat PBAKnya.
Apa mungkin kawan-kawan panitia tidak membaca
peraturan terkait penyelenggaran PBAK atau bahkan jangan-jangan membaca tapi
tidak ingin melaksanakan karena dengan alasan peraturan dibuat untuk
dilanggar. Semoga asumsi tersebut tidak benar adanya, hanya kekhilafan
pribadi sebagai manusia biasa.
Nyatanya kejadian semacam ini
bukanlah pertama kalinya, seakan-akan sudah mentradisi. Menurut hemat penulis
karena tidak adanya kepekaan dari segala stakeholder. DEMA SEMA sebagai
penyelenggar tidak teliti dalam menganalisa, mahasiswa umum apatis karena
menyerahkan segala kepada panitia tanpa ikut andil sebagai social control, pihak
kampus pun terkesan membiarkan praktik-praktik semacam ini terjadi berulang
kali, bahkan terlihat kurang tegas dalam mengawal dan memberi punishment.
Semoga kegiatan PBAK
tahun-tahun mendatang atau kegiatan sejenis dapat mengindahkan
peraturan-peraturan yang mendasarinya, karena dengan perilaku yang menafikkan
aturan akan berdampak pada sikap berkehidupan yang seenak udelnya. Penuh
harapan tulisan ini dapat menjadi bahan refleksi kritis untuk penulis dan dapat
memantik kawan-kawan mahasiswa IAIN Kudus agar tetap bergerak dan mengatakan
apa yang perlu dikatakan, tidak takut terhadap tindak represif dari
berbagai pihak. Meminjam perkataan Wiji Thukul “Jangan kau penjarakan ucapanmu, jika Kau menghamba pada
ketakutan kita akan memperpanjang barisan perbudakan”.
)* Penulis adalah Ketua Umum PK IMM adz-Dzikr IAIN Kudus dan Pegiat Pustaka
Jalan-an Kudus