PARIST.ID, KUDUS - Tidak ada perbedaan antara etika media informasi milenial dari dulu dengan sekarang. Media informasi tetap harus bersikap menyeluruh dan tidak boleh membuat etika sendiri.
Pernyataan itu disampaikan oleh Amir Machmud NS, SH, MH, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah, dalam sosialisasi UU ITE-Pers dan Literasi Media "Indonesia Merdeka Tanpa Hoax" dalam materi Etika Media Milenial dan UU Pers, yang diselenggarakan oleh PWI Kudus di aula hotel Hom Kudus, Senin (20/08/2018).
Menurut Amir, sebuah media informasi tidak boleh menyebarkan berita hanya sepotong. Media harus secara menyeluruh menyebarluaskan informasi berdasarkan data dan fakta di lapangan.
"Jangan sampai ada pandangan posting dulu, kalau salah baru dibenahi. Hal itu jelas melanggar UU ITE dan UU Pers. Sebab media informasi harus memberi informasi yang sifatnya menyeluruh," jelas Amir.
Selain itu, lanjut Amir, media informasi harus ada dikotomi sebab akibat sebelum menyebarkan informasi. Harus ada hakikat sosial yang diuntungkan dan dirugikan.
"Banyak pengguna media sosial yang tidak mau mempertimbangkan sebab akibat yang ditimbulkan saat membagi informasi. Padahal arus utama media sosial adalah harus ada pertimbangan tanggung jawab yang dijadikan pijakan," tuturnya.
Tercatat 45 ribu, tambahnya, pengguna media online yang muncul sebagai kepentingan politik, sosial budaya dan ekonomi, namun yang terverifikasi dewan pers tidak lebih dari 300 media.
"Kebanyakan mereka sering mengabaikan kewajiban pendalaman verifikasi dan melemahnya semangat dalam pengujian informasi," tambahnya.
Padahal menurutnya, melakukan pendalaman verifikasi dan pengecekan secara detail sangat penting untuk dilakukan.
"Verifikasi dilakukan untuk mengetahui layak tidaknya berita untuk dimuat. Sebab kebiasaan media cetak atau online mengolah berita dengan mengambil anggapan-anggapan para publik yang belum jelas kebenarannya," jelasnya.
Ia berharap piranti sosial media dapat dijadikan berkah dan bukan musibah untuk masyarakat Indonesia.
"Semoga saja ke depannya masyarakat Indonesia lebih berhati-hati dalam menanggapi berita," harapnya.
AKBP Agusman Gurning, SIK, MH, kapolres Kudus, dalam sambutannya mengatakan banyak masyarakat yang masih mengabaikan kebenaran berita yang diterima.
"Masyarakat kita terlalu sering menyebarluaskan berita dan ujaran kebencian tanpa tahu sumber dan kejelasannya," ucapnya.
Selain itu, menurut survei lembaga internasional, Indonesia merupakan negara paling banyak bicara di media sosial.
"Negara kita menjadi peringkat nomer lima paling banyak bicara di media sosial dengan konotasi negatif. Hal ini tentu menjadi citra buruk untuk negara," jelasnya.
Untuk itu, Agusman berharap setelah terselenggaranya acara ini mahasiswa dan pelajar dapat berhati-hati dalam menanggapi berita.
"Jangan lupa ilmu yang kalian dapatkan untuk disebarluaskan kepada khalayak banyak agar hoax tidak merajalela" harapnya. (Falis)