EGOSENTRISME dalam menulis sejarah
tanpa metodologi penelitian dan uji data ilmiah yang tepat akan menghasilkan
data yang batil. Apalagi menulis sejarah instansi lain dan bukan
menjadi aktor di dalamnya, seharusnya sikap telaten harus
diperhatikan karena ketika ada data sejarah luput ditulis akan
menimbulkan silang pendapat yang berujung pada pertikaian.
Buku ini lahir untuk mengklarifikasi sejarah almamater penulis yang salah ditulis oleh orang lain yang miskin data sehingga outputnya pun sangat jauh dengan realita sejarahnya. Menulis, dengan hanya bermodalkan perkiraan tanpa diselingi usaha untuk mengkaji data dari berbagai sumber merupakan sebuah kealpaan, apalagi menulis sejarah instansi lain adalah hal yang rentan menjadi titik awal lahirnya suatu perkara. Seperti yang dilakukan oleh penulis buku Satu Abad Qudsiyyah (SAQ) yang melenceng menulis sejarah almamater penulis Madrasah Tasywiquth-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan Mahaguru Sepuh KH. Ma’mun Ahmad Kudus yang disinggung, ditulis sambil lalu sehingga salah memuat data. (hlm. 4)
Buku ini lahir untuk mengklarifikasi sejarah almamater penulis yang salah ditulis oleh orang lain yang miskin data sehingga outputnya pun sangat jauh dengan realita sejarahnya. Menulis, dengan hanya bermodalkan perkiraan tanpa diselingi usaha untuk mengkaji data dari berbagai sumber merupakan sebuah kealpaan, apalagi menulis sejarah instansi lain adalah hal yang rentan menjadi titik awal lahirnya suatu perkara. Seperti yang dilakukan oleh penulis buku Satu Abad Qudsiyyah (SAQ) yang melenceng menulis sejarah almamater penulis Madrasah Tasywiquth-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan Mahaguru Sepuh KH. Ma’mun Ahmad Kudus yang disinggung, ditulis sambil lalu sehingga salah memuat data. (hlm. 4)
Dari judulnya saja
pembaca sudah diberikan indikasi ihwal yang dibahas oleh buku setebal 154
halaman ini yaitu sebuah resensi kritis yang ditujukan kepada penulis buku SAQ
yang melakukan beberapa kesalahan dalam penulisan sejarah almamater penulis.
Buku ini ditulis hanya untuk langkah awal saja untuk mengklarifikasi data
sejarah almamater yang serabutan ditulis tokoh lain. Sementara untuk sejarah
lengkapnya akan ditindaklanjuti dengan usaha konkret berupa penggalian data
sejarah lebih intensif untuk merangkum segenap data sejarah TBS agar tidak
“kepaten obor” dan validitasnya reliabel sehingga menihilkan usaha orang
lain untuk menyebar data sejarah TBS yang keliru.
Data miring yang
disandangkan penulis SAQ kepada TBS tentang kompromi dengan Belanda jelas
salah. Menilik fakta sejarah dalam buku ini, bahwa saat Ordonnantie
Wildeschollen lanjutan diterapkan, Madrasah Tasjwiqoeththoellab (TB)
yang sudah berdiri selama empat tahun. Untuk menghindari ordonasi yang tidak
adil itulah pada tahun 1934 TB kemudian ditambah dengan kalimat ‘school’ (Bahasa
Inggris). Kata madrasah juga diganti dengan ‘pergoroean’ (dari
Bahasa Indonesia di-Indonesia-kan), sehingga menjadi Pergoroean
Tasjwiqoeththoellab School (TBS) Koedoes. Pergantian TB ke TBS tahun
1934 justru bagian dari jihad melawan ketidakadilan Belanda yang mengeluarkan
kebijakan ordonasi diskriminatif. Peralihan nama adalah perlawanan strategis
dan kreatif KH. Abdul Jalil Hamid yang saat itu posisinya sebagai Guru Kepala
(Pengurus) TBS. (hlm. 46)
Berkaitan
peralihan school ke Salafiyyah yang sekarang
dikenal berawal mula dari usulan KH. Ma’mun Ahmad dengan kata Sunniyah/Sunni sesuai
dengan visi besar TBS yang sejalan dengan Ahlussunnah Waljama’ah. Kemudian
setelah disowankan kepada KH. Turaichan Tajussyarof kata Sunniyah dan Salafiyyah artinya
sama-sama positif, tetapi kata salafiyyah yang akhirnya digunakan
sesuai nadzam: fatabi’is shaliha mimman salafa, wa jannibil bid’ata
mimman khalafa-wakulluhu khairin fit tiba’I man salaf, wakullu syarrin fib
tida’i man khalaf (hlm. 58). Untuk akronim TBS (Tasywiquth-ThullaB
Salafiyyah) yang dikenal sampai sekarang disamakan dengan tradisi penomoran
dokar di Kudus waktu itu yang menggunakan singkatan KS (KuduS).
Sampai sejauh ini
penulis berhasil mencapai tujuannya untuk membantah pendapat penulis SAQ
tentang TBS yang kompromi dengan Belanda dengan sajian data yang lengkap.
Selanjutnya, penulis membahas tentang siapa sosok pendiri Madrasah TBS. Namun
hingga akhir bab Membedah Sejarah Berdirinya TBS penulis tetap
belum bisa mengukuhkan sesiapa pendiri TBS; antara Mbah KH. Ahmad dan KH. Nur
Chudrin karena artefak dan bukti masih minim untuk menentukan benang merah
versi sejarah nama pendiri TBS yang berdiri itu. (hlm. 70) Tetapi meski begitu
penulis mampu menuliskan dengan detail kapan TBS itu berdiri, siapa aktor
penting yang menjadi bagian berdirinya TBS dan siapa yang menjadi pengajar
pertama di TBS itu yang kesemuanya penting sekali dalam bagian bab ini.
Dengan bahasa yang
menohok dan pemilihan diksi yang tepat, penulis mampu membuat emosi
pembaca bergolak hingga membuat pembaca tak sadar bahwa telah sampai pada bab
akhir buku ini; Mereka Menggugat KH. Ma’mun Ahmad. Pada bagian
ini penulis kembali berhasil mendedahkan data lengkap dengan narasi bahasa yang
baik menjelaskan siapa sesungguhnya Mahaguru sepuh KH. Ma’mun Ahmad
dengan apik sepanjang 35 halaman sehingga pembaca pun akan dibuat menganggukkan
kepala tanpa sadar sebagai tanda mengerti sekaligus kagum dengan sosok yang
diulas dalam bab akhir tersebut.
Menulis tentang
sejarah instansi lain adalah hal yang rentan menimbulkan perselisihan jika
tidak cermat dalam mengulik data sejarah. Apalagi sampai dibukukan dan beredar
ke tangan pembaca dengan tingkat pemahaman dan penafsiran yang berbeda membuat
proses klarifikasi data dibutuhkan usaha ekstra.
Dengan data sejarah
yang disajikan apik dan fokus buku ini berhasil mencapai tujuannya
sebagai langkah awal untuk melakukan klarifikasi data sejarah yang telah
melenceng ditulis orang lain. Dan sebagai pelengkap, penulis juga menambahkan
poin pendukung yaitu pada bab Peladjaran Tinggi Pergororean TBS. Akhirnya,
lahirnya buku ini sebagai pelajaran untuk siapa saja bahwa segala hal memang
butuh pertanggungjawaban dan harus siap dengan resiko apapun yang timbul
sebagai dampak apa yang kita lakukan.
*Penulis merupakan Mahasiswi semester 4 IAIN Kudus dan bergiat di Paradigma Institut