Marsinah. Nama yang tak asing lagi terdengar di telinga para aktivis. Tepat di tanggal, 08 Mei 2020 kemarin, 27 tahun tahun yang lalu. Menjadi sejarah kelam yang mencoretkan sejarah hitam Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Pada tahun 1993, Marsinah dibunuh saat usianya 24 tahun. Ia dibunuh lalu diperkosa. Luka parah di sekujur tubuhnya menjadi saksi atas kekejaman yang dilakukan oleh orang yang tak bertanggungjawab.
Usia yang sangat muda untuk kematian yang tak sia-sia. Kini namanya masih dikenang sebagai simbol perjuangan buruh di Indonesia. Di setiap hari-hari buruh maupun aksi kamisan yang masih disuarakan hingga sekarang, namanya kerap kali disebut dan diteriakkan. Sebuah spirit yang masih berlanjut, meski nyawa telah direbut.
Dengan keberanian dan perlawanannya, menuntut hak-hak buruh membuatnya terjerat ke dalam masalah. Di orde yang syarat akan kekejaman dan sangat militeristik, siapapun yang menentang aturan harus berurusan dengan militer. Demokrasi seolah-olah telah dikebiri. Dan otoritarianisme gagah berdiri.
Saat itu, Marsinah tercatat sebagai Buruh di PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo Jawa Timur. Pabrik yang beroperasi memproduksi jam tangan/arloji ini menyalahi peraturan yang telah ditetapkan . Marsinah menuntut kenaikan upah buruh yang berdasarkan surat edaran Nomor 50 Tahun 1992 yang dikeluarkan Gubernur Jawa Timur. UMR Jawa Timur yang seharusnya ditetapkan sebesar Rp.2.250 per hari dan malah waktu itu buruh hanya digaji Rp. 1.700 per hari. Melihat ketidakadilan dan merugikan bagi para buruh dan hanya menguntungkan bagi para pemilik modal. Tentunya hal ini yang membuatnya meradang dan segera ia bergerak bersama barisan buruh untuk melakukan perlawanan.
Marsinah melakukan aksi demonstrasi dan mogok kerja bersama para buruh PT CPS demi mencapai semua tuntutannya. Meskipun mendapatkan tindakan represif dari satpam perusahaan yang dibantu Kodim Sidoarjo, tak menghalangkan tekadnya untuk mencapai sebuah kepengtingan mulianya itu. Akhirnya setelah berhasil membawa perusahaan ke meja perundingan, mereka sukses memperjuangkan apa yang dicita-citakan; kenaikan upah pokok buruh.
Namun tak lama kemudian, setelah Kodim Sidoarjo menangkap 13 orang temannya pada tanggal 04 Mei 1993 karena dianggap sebagai provokator yang kemudian dipaksa mengundurkan diri dari perusahaan PT CPS, Marsinah berusaha membelanya. Karena tidak sesuai dengan perundingan kesepakatan yang sebelumnya.Meskipun dalam hal ini, ia tidak terlibat. Tapi ia berencana untuk melakukan advokasi dengan menempuh jalur hukum bagi keadilan teman-temannya.
Akan tetapi setelah itu, maut menimpanya. Pada Rabu, 05 Mei 1993 malam adalah hari perpisahan ia dan teman-temannya sesama buruh. Mayatnya baru diketemukan pada 08 Mei 1993, tepat hari ini. Mayatnya ditemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk. Hasil visum menunjukkan sesuatu yang memprihatinkan. Kemaluannya penuh luka dan bekas diperkosa serta disiksa pedih hingga meregang nyawanya.
Sedangkan polisi memang sudah menangkap sembilan terdakwa yang kemudian dibebaskan dalam persidangan, tetapi sampai sekarang masih belum jelas siapa pembunuhnya. Namun berdasarkan laporan Amnesty Internasional yang dikutip tirto.id, Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan militer tanggung jawab atas pembunuhan itu, tulisnya.
Marsinah memang sudah mati, tapi spirit perjuangannya takkan pernah mati. Selagi kapitalisme dengan moncongnya yang menindas segalanya. Perjuangan buruh untuk mendapatkan hak-hak yang sepantasnya takkan surut.
Perjuangan kolektif seperti Marsinah pasti akan tumbuh bergenerasi. Benar saja ungkapan mati satu tumbuh seribu, karena orang yang memperjuangkan itu mati akan meninggalkan jasa dan semangatnya yang abadi. Jika hari-hari ini pemerintah mencanangkan dengan membuat undang-undang yang menyengsarakan rakyat, RUU Ciptaker atau Omnibus Law, seperti apa kata Widji Tukul, Maka hanya ada satu kata: lawan!
Muhammad Fatwa Fauzian,
Mahasiswa PPI angkatan 2018 yang gemar minum kopi.