oleh : Dea Oktaviana*
Manusia
tidak terlepas dari emosi yang ada dalam dirinya. Dalam konteks awam,
emosi sering dideskripsikan dengan kemarahan saja, namun sebenarnya
emosi memiliki arti yang lebih luas dan mewakili banyak perasaan. Emosi
diartikan sebagai reaksi seseorang terhadap suatu kejadian, baik berupa
reaksi senang, marah, takut, sedih dan lain sebagainya.
Emosi
berasal dari kata emotion dalam bahasa Prancis, dan dalam bahasa latin
dikenal dengan istilah emorove yang artinya keluar. Sehingga secara
etimologis emosi diartikan “bergerak keluar”. Emosi merupakan suatu
reaksi dapat berupa reaksi positif maupun negatif sebagai bentuk
rangsangan baik dari dalam diri sendiri maupun dari luar.
Banyak
kasus menyimpang yang terjadi disebabkan emosi yang tidak terkendali.
Misalnya kasus pembunuhan, bullying hingga pelecehan seksual. Tentu
dampak negatif ini harus segera dicegah sedari dini.
Dilansir dari pendidikan.co.id,
emosi bisa disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yang memicu timbulnya emosi seseorang adalah perasaan tidak
mampu atau merasa bodoh, perasaan kecewa terhadap diri sendiri, persaan
sedih karena kurang kasih sayang, rasa iri terhadap seseorang karena
diperlakukan tidak adil, dan rasa tidak percaya diri.
Sedangkan
faktor eksternal pemicu emosi ini meliputi, lingkungan sekitar maupun
sekolah yang sering terdapat menyalahkan seseorang, perlakuan seseorang
di lingkungan sekitar terhadap anak-anak di bawah umur, orang tua
terkadang memberi tahu anaknya untuk tidak menjalin hubungan percintaan,
dan tuntutan dari keluarga maupun bos terlalu banyak resiko kepada
seseorang yang gagal menjalankannya.
Emosi
timbul karena mendapat stimulus dari faktor internal maupun eksternal
tersebut. Jika tidak ditangani dengan bik emosi dapat merugikan diri
sendiri maupun orang di sekitar.
Perspektif Aisyah Dahlan
Menurut
Praktisi Neuroparenting Skill, Aisyah Dahlan, berpendapat, kebanyakan
masalah biasanya ditimbulkan oleh emosi-emosi negatif dalam diri
seseorang. Emosi negatif itu perlu dinaikkan tingkatannya menjadi emosi
positif agar bisa mencegah hal yang merugikan. Ia menuturkan rumus dari
permasalahan ini yaitu masalah sama dengan situasi kondisi ditambah
emosi negatif.
Kunci
dari memanagemen emosi adalah dengan terus bersyukur agar tidak
mengalami kondisi terpuruk. Setiap individu harus terus mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta, dengan cara itu emosi akan naik ke zona ikhlas
dan individu tidak akan terpuruk.
Dikutip
dari laman facebook Aisyah Dahlan, memaparkan ada tingkatan level emosi
yang fitrah di miliki oleh manusia, yaitu apatis, sedih, takut,
buru-buru, marah, sombong, semangat, menerima, serta damai. Meskipun
begitu ia juga menuturkan ada level emosi yang lebih rendah dari apatis,
yaitu depresi.
Cara
menghindarinya adalah ketika kita mulai merasa sepi, kita bangkitkan
semangat, tarik nafas dalam-dalam dan membaca istighfar agar energinya
terus meningkat dan tidak berujung depresi. Depresi akan naik satu
tingkat ke level apatis.
Pada
level apatis individu merasa menjadi orang yang paling sedih, mengalami
keterpurukan, dan sudah tidak mampu menangis. Cara mengendalikannya
bisa dengan orang lain yang menenangkannya, mengusap punggungnya, tanpa
perlu banyak bicara.
Sampai
di level sedih kita bisa mengalihkan pemikiran kita, mengingat motivasi
hidup, membayangkan orang tua dan masa depan. Emosi akan naik ke level
takut, ia masih cemas akan terjadinya hal-hal buruk, namun rasa takut
dan tingkatan-tingkatan emosi selanjutnya bisa digolongkan hal yang
wajar.
Pada tingkatan
semangat inilah seseorang baru bisa diberi saran dan masukan. Dengan
masukan-masukan yang diberikan ia mulai menerima keadaan dan kedamaian
adalah perasaan yang lapang dan menyenangkan. Penuh dengan hikmah dan
rasa aman, sehingga kita enggan pergi karena kita merasa bersyukur.
*Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam