Banyak orang menganggap perkembangan puisi tanah air
hanya melulu berpaku pada senja, kopi dan hujan. Seolah puisi Indonesia
berkutat pada ketiga hal itu saja.
Dalam
Perbincangan Sastra Blak Blakan (PSBB) yang diselenggarakan Sastra
Penerbit Gramedia Utama (GPU), narasumber Sastrawan Tanah Air, Joko
Pinurbo menanggapi hal tersebut. Bincang online yang bertajuk Ibadah
Puisi Cerpen Joko Pinurbo digelar via live instagram bersama host Tri
Sukma Dewi pada Jumat, (03/07).
Menurut
Jokpin, sapaan akrab Joko Pinurbo, tidak ada yang salah dengan puisi
kopi, senja dan hujan. Poin sastra bukan melulu dibagian itu saja karena
sastra merupakan seni kata serta usaha merawat bahasa benda yang sudah
klise dan usang.
"Tingkat kualitas penyair diuji dengan pengolahan bahasa pada objek generik," jelasnya.
Sejatinya,
lanjut Jokpin, ritual singkat minum kopi menjadi kesempatan seorang
penyair untuk memeluk dirinya sendiri sebelum kembali ke rutinitas. Hal
ini dilakukan M Aan Mansyur puisinya berjudul Barangkali, buku Melihat
Api Bekerja (2016:139)
"Kopi bisa jadi kesempatan orang untuk berinteraksi dengan diri sendiri," ujarnya.
Di
sela perbincangan, ia juga membacakan puisi Nezar Patria pada buku
berjudul di Kedai Teh Ahmei. Di tanah Aceh, Nezar Patria membahasakan
kopi menjadi bahasa kehidupan dan kegembiraan orang aceh. Dalam
puisinya, segumpal kopi dikaitkan dengan trauma sejarah.
"Kopi bisa jadi transformasi kuliner menuju trauma akan penindasan dan kekerasan," kata Jokpin.
Ia
menambahkan, puisi yang berlalu lalang di media sosial yang kurang bisa
membahasakan objek general memang menjadikan stigma bahwa kopi, senja
dan hujan sebagai ciri puisi Indonesia.
"Banyak
penyair muda yang kini sudah memiliki kemampuan puisi dan prosa
sehingga puisi Indonesia lebih cair dan luwes," tambah Jokpin (Um)