oleh : Umi Zakiatun Nafis*
Minat
baca bangsa Indonesia memang sangat memprihatinkan, terbukti melalui
hasil survey "Most Littered Nation In the World" oleh Central
Connecticut State Univesity Maret 2016 yang menempatkan Indonesia jatuh
di peringkat ke-60 dari 61 negara, Posisi Indonesia persis berada di
bawah Thailand peringkat 59 (Kompas, 29/8/2016).
Sementara
itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2012,
mengungkapkan, banyak anak di Indonesia Timur menghadapi tantangan
multisektoral, salah satunya adalah kesenjangan pendidikan dan kemampuan
dasar. Keterbatasan itulah yang membuat empat dari 34 provinsi di
Indonesia, terutama di Indonesia Timur memiliki tingkat literasi
terendah, yakni Papua (36,1 persen), Nusa Tenggara Barat (16,48 persen),
Sulawesi Barat (10,33 persen), dan Nusa Tenggara Timur (10,13 persen).
Ada
beberapa problematika bangsa Indonesia yang menyebabkan budaya membaca
tidak lagi digandrungi, misalnya kemampuan guru dalam menerapkan
pembelajaran yang berbasis literasi masih rendah, buku bacaan yang ada
masih minim, kurang memadainya kondisi perpustakaan, siswa sulit
mengakses buku-buku yang bisa menarik minat baca atau bahkan guru dan
orang tua sendiri mempunyai minat baca yang rendah.
Disamping
itu, upaya pemerintah dalam meningkatkan pendidikan–termasuk minat
baca-- memang sudah dilakukan antara lain berupa naungan payung hukum di
bawah UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Pencanangan Gerakan
Membaca. Disusul dengan Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang
penumbuhan budi pekerti, bentuk implementasinya berupa penggunaan 15
menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata
pelajaran.
Sayangnya,
upaya tersebut tidak menjadikan masyarakat Indonesia sadar mengedepankan
pentingnya baca buku. Lalu bagaimana dengan negara-negara maju seperti
Jepang, Amerika, Cina, Italia atau bahkan Jerman dan negara lainya yang
masyarakatnya berbudaya membaca.
Mulai Sedari Dini
Menurut
hasil studi terhadap 24 negara di dunia, menghasilkan bahwa Jepang
merupakan negara dengan kemampuan literasinya yang terbaik. Penelitian
yang dilaporkan OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development) terhadap 166.000 partisipan yang berumur 16-65 tahun
mengungkapkan bahwa orang dewasa Jepang mempunyai kemampuan super
ketimbang mereka-mereka dari negara lain.
Dilansir
dari TribunJogja.com, ada beberapa kebiasaan masyarakat Jepang tentang
kebiasaan membaca mereka salah satunya yakni membaca di tempat umum. Di
Jepang, terdapat banyak sekali ruang publik yang umumnya dibuat untuk
membaca.
Jika di
Indonesia kerap kali banyak orang selalu sibuk dengan gawainya saat
berada di transportasi umum, maka kita akan disuguhi pemandangan yang
berbeda saat berada di Jepang. Sekalipun sambil nongkrong ataupun minum
kopi, masyarakat kerap memanfaatkan fasilitas publik itu untuk membaca.
Termasuk pula di dalam alat transpostasi umum.
Rupanya
kebiasaan membaca Jepang memang diawali sejak di bangku sekolah dasar.
Menurut Yoshiko Shimbun, sebuah harian nasional Jepang terbitan Tokyo,
para guru mewajibkan para siswa untuk membaca selama 10 menit sebelum
melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Kebijakan
ini telah berlangsung selama 30 tahun ini, diakui ahli pendidikan
Jepang terlalu bersifat behavioristik, di mana terdapat reward
(penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam pelaksanaan aturan
tersebut. Namun, kebijakan tersebut berpengaruh besar dalam mengatur
kebiasaan membaca masyarakatnya.
Selain
itu, ada salah satu kegiatan membaca gratisan yang dilakukan sambil
berdiri di toko buku Jepang yang disebut dengan Tachiyomi. Di Jepang,
banyak toko buku yang menyediakan buku-buku yang plastik pembungkusnya
sudah terbuka, sehingga dapat dimanfaatkan oleh banyak orang untuk
melakukan kegiatan tachiyomi ini.
Beberapa
kebiasaan negera Jepang memang tidak mudah untuk diaplikasikan di
Indonesia. Namun, setidaknya kebiasaan membaca masyarakat Jepang yang
memang dilakukan sedari dini menjadi contoh buat para orang tua, guru,
dosen, mahasiswa ataupun diri kita sendiri bahwa membaca memang harus
dipaksa. Diawali paksaan yang kemudian menjadi kebiasaan dan berlanjut
sebagai kebutuhan.
Yuk budayakan membaca !
*Pegiat Literasi Mahasiswa IAIN Kudus