Ilustrasi: patinews.com
Oleh: Muayyadah*
Belakangan ini kerap muncul isu radikalis dan komunis yang terus berkembang di tengah masyarakat indonesia. Esktrem kanan paham PKI mencuat di permukaan. Alih-alih ingin mengajak menonton film justru berujung pada pemahaman membangkitkan PKI di bumi pertiwi. Belum lagi persoalan tentang kisruh pendakwah bersertifikat dan label agamis dengan indikasi memakai 'celana cingkrang' menjadi polemik baru di lini masyarakat. Polemik yang tiada henti memunculkan konflik berkepanjangan sehingga stabilitas hidup beragama terganggu.
Isu tentang agama dan ideologi kerap dijadikan kambing hitam oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat awam pun tak luput jadi sasaran pembenturan oleh pihak yang merasa diuntungkan. Memberikan jawaban atas kisruh radikalis dan liberalis ataupun komunis moderasi menghadirkan ruang baru bagi pemecah diantaranya.
Moderasi yang diempukan sebagai
solusi juga memiliki tantangan tersendiri bagi bangsa ini. Sejatinya sikap
moderasi sudah memiliki landasan hukum Al-Qur’an di Al-baqarah: 143. Rasulullah
telah meneladani sikap moderasi beragama dari salah satu hadis riwayat ibn
Abbas. Rasulullah SAW bersabda
”Janganlah kalian berlebihan dalam agama. Sungguh umat sebelum kalian binasa karena berlebihan dalam agama”
Berbicara tentang sunah moderasi murni ajaran Nabi Muhammad Saw. Lalu santri menempatkan dirinya sebagai orng yang mencari dan memperdalam ilmu agama kepada kiai untuk terus mengawal jalannya moderasi di bumi Indonesia seperti diajarkan rasulullah, sahabat, tabi'in dan ulama ahlussunnah wal jamaah.
Potret santri yang punya peran strategis dalam memaksimalkan fungsi moderasi juga mendapatkan tantangan tersendiri. Tantangan ini bersifat internal sebagai kaum santri dan kedua tantangan eksternal yang terjadi di tengah masyarakat.
Kata santri mencuat ke permukaan dan digadang-gadang memiliki peranan strategis dalam pembangunan bangsa. Sejak diterbitkannya hari santri nasional pada tanggal 22 Oktober 2017 oleh presiden ke 7 Bapak Joko Widodo dengan tujuan mengingatkan kiprah santri dalam memperjuangkan bangsa ini. Sampai detik ini kontribusi santri masih dinantikan.
Label istimewa telah disandang oleh para santri, sikap jumawa kerap meracuni para santri sendiri, oleh sebab itu agar tak terjerumus pada jumawa atas apresiasi luar biasa ada benteng pertahanan yang berasal dari diri seorang santri. Suatu benteng berarti memberikan pencegahan agar sesuatu buruk tak berhasil menimpanya, santri telah dibekali ilmu agama yang kompleks. Selain itu terdapat tasawuf sebagai pembersihan hati santru serta adab sebagai tindak laku santri.
Bentengi dengan Adab
Dijelaskan dalam kitab Minhajus Showi s.197-198 bahwa adab lebih tinggi daripada ilmu. Pegangan ini yang dimuat oleh santri agar tak merasa paling benar dan bisa ketika telah menguasai suatu bidang ilmu yang dimiliki.
Di sisi lain tawadhu dan sendhiko dawuh dari para kiai kerap memunculkan prilaku skeptis dan primordialis. Ia bisa jadi tak merasa paling benar tapi ia merasa bahwa tempat dan kiainya yang paling dan paling dari siapapun. Ta'dhim tak berlaku untuk melemahkan justru saling menghormati ahli ilmu. Ilmu harus diimbangi dengan adab dan adab harus diimbangi dengan sikap tipa slira.
Isu agama sangat kental dipresisikan pada kaum santri sebagai tafaqquh fid diin. Analogi sederhananya, api akan cepat menyambar bila terkena api lainnya. Agama akan semakin diperdebatkan bila dibenturkan sesama agama. Agama memiliki ideologi, sebagai pedoman pemeluknya untuk mengarahkan diri kepada hal baik.
Namun agama terus dijadikan tunggangan mengejar kepentingan. Santri sebagai benteng harus mampu melawan arus ekstrem kanan maupun kiri. Pagari ilmu dengan adab, pagari pengetahuan dengan adab. Orang boleh sealim apapun tanpa adab ia hanya nama belaka.
Untaian ini bukan dijadikan pengayom bahwa tak ada ilmu juga tak masalah asal punya adab yang baik. Padahal ibadahnya orang alim lebih baik daripada ibadahnya orang bodoh. Setelah tantangan internal diatasi santri juga punya benteng atas tantangan global salah satu di antaranya adalah memutuskan berkembangnya paham radikalis.
Kaum santri bukan waktunya didikte oleh ilmu agama dengan terang tapi juga analogi sebagai ajang perkembangan diri yang solih. Tradisi ngaji sorogan dan bandongan harus dipertahankan. Ajaran para salaf punya kesan tersendiri baik bagi santri maupun luar santri.
Tradisi ini bahkan diikuti oleh
para pemuda ansor yakni mengaji kitab risalah ahlussunah wal jamaah karya mbah
hasyim Asy’ari tujuannya agar moderasi neragama kian melekat pada tiap para
santri. Banyak penerapan dari prinsip moderasi yakni tawasuth, tawazun,
i'tidal, tasamuh.Manfaat yang didapatkan dari moderasi beragama. Ajaran kitab
risalah ahlussunah wal jamaah memang sangat relevan untuk dipelajari baik
kalangan santri dan awam. Apalagi di zaman seperti ini, penting untuk bersikap
proporsional dalam menyikapi perbedaan dan ajaran ahlussunah wal jamaah.
*Mahasiswi Program studi Ilmu Pendidikan Sosial IAIN Kudus sekaligus santri Cendono, Dawe, Kudus