Banyuwangi, PARIST.ID - Lakon Barong Kemiren, pertunjukan yang digelar semalam suntuk. Diungkap oleh Wiwin dalam acara Workshop Pers Mahasiswa oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) pada 10 November 2020.
“Pertunjukan Barong Kemiren dilakukan semalam suntuk oleh masyarakat Suku Using di Kemiren. Ada reka adegan pemainnya disusupi roh dayang desa,” ungkap Wiwin.
Aliansi Masyarakat Adat Pimpinan Daerah (PD) Using Wiwin Indiarti menjelaskan bahwa Barong Kemiren adalah salah satu tradisi khas Using yang masih dilestarikan. Dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada cikal bakal desa (dayang desa) yakni Buyut Cili yang diyakini hadir menjelang subuh merasuki pemain barong. Masyarakat Kemiren percaya itu adalah waktu sakral perjumpaan dengan leluhurnya.
“Sekitar jam 3 menjelang subuh, di situlah pertemuan masyarakat Using Kemiren dengan dayang desa atau leluhurnya,” jelasnya pada Rabu (10/11).
Mbok Wiwin, begitu akrab disapa, bercerita jika Barong Kemiren yang dimainkan oleh dua orang dilaksanakan pada perayaan perkawinan, sunatan dan nadar-nadar yang sudah tercapai dari masyarakat Using, khususnya Desa Kemiren.
“Masyarakat Using, terutama Kemiren sering nanggep Barong Kemiren saat ada perayaan mantu perkawinan, sunatan atau nadar yang telah diucap terlaksana,” imbuhnya.
Sejarah Masyarakat Using
Mbok Wiwin bercerita bahwa sejarah Using adalah orang-orang dari Kerajaan Majapahit yang lari ke Blambangan karena terkalahkan oleh Kerajaan Malaka. Dari situlah Kerajaan Blambangan berdiri dengan corak Hindu dan Budha, Suku Using yang menjadi terusannya.
“Suku Using itu terusan orang-orang dari Kerajaan Blambangan, yang coraknya Hindu dan Budha,” ungkapnya.
Mbok Wiwin, juga menyebutkan adat istiadat dan tradisi kebudayaan yang ada di Suku Using. Diantaranya Gandrung yang mulai merambah masuk ke dalam daftar wisata tahunan Banyuwangi.
“Gandrung merupakan tradisi perpaduan antara etnis Jawa dan Bali. Salah satu cabang Gandrung, Tari Gandrung. Mulai dimasukkan dalam daftar wisata tahunan Banyuwangi,” imbuhnya.
Tari Gandrung masuk dalam kalender wisata tahunan Banyuwangi, menurut penjelasan Mbok Wiwin sudah terjadi perombakan dalam segi busana. Seperti pemakaian manset dan jarik yang dibuat tidak lagi ketat. Karena pernah dilarang saat didaftarkan, bentuk kompromi para seniman dengan pihak pemerintah.
“Aslinya Tari Gandrung jariknya itu ketat dan tidak memakai manset, tapi sekarang diwajibkan memakai manset. Itu kompromi para seniman dan pihak pemerintah,” ujarnya.
Choliqul Ridha selaku Sekertaris Dinas Pariwisata Banyuwangi yang dihubungi via pesan membenarkan bahwa pemerintah Banyuwangi dahulu pernah bersitenggang argumen tentang adat yang didaftarkan ini.
“Dahulu pemerintah, lebih tepatnya bupati pernah keberatan Gandrung dimasukkan di daftar wisata tahunan Banyuwangi, tapi sekarang sudah dibolehkan,” ceritanya pada Selasa (17/11).
Ridha juga menjelaskan adanya manset dan jarik yang dimodif sebagai upaya tidak mengumbar aurat. Jika adat kebudayaan yang diperkenalkan ke khalayak ramai bisa relevan untuk dipertunjukkan.
“Manset dan jarik yang dimodifikasi adalah upaya agar relevan diperkenalkan ke khalayak publik luar Banyuwangi,” jelasnya.
Mbok Wiwin selaku Sekertaris Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Pimpinan Daerah Using juga mengungkapkan kekhawatirannya jika tradisi kebudayaan itu hanya digunakan untuk komoditas perekonomian saja, sehingga menghilangkan beberapa makna dalam tradisi itu sendiri.
“Saya kira beberapa hal hanya dijadikan selebrasi untuk pariwisata Banyuwangi, karena sebagian menghilangkan makna kebudayaan tersebut. Seperti penggunaan manset dan jarik bentuk modifikasi itu,” tandasnya.
Mbok Wiwin juga mengutarakan bahwa di sinilah peran AMAN, karena termasuk tangggung jawab dari AMAN dalam merawat roh budaya dan adat di Using. Ia juga menegaskan Suku Using sendiri saat ini masih melaksanakan ritual atau adat Gandrung masih dengan nuansa asli dari dahulu.
“Di suku Using, terutama kemiren itu masih melaksanakan gandrung sama seperti nuansa asli, tidak menggunakan manset dan jariknya juga ketat. Karena itu ada filosofinya sendiri,” imbuhnya.
Peran Lare (Pemuda) Using
Pengembangan potensi lare Using juga dipaparkan oleh Mbok Wiwin yang juga salah satu penggerak anak muda Using, sebagai sarana mewarisi tradisi. Seperti dalam ritual Mocoan Lontar Yusuf, Mocoan Babat Tawangalun Milenial, pelatihan Tari Gandrung dan juga tradisi lainnya.
“Mocoan lontar ataupun babat juga melibatkan para pemuda dalam mewarisi kebudayaan tradisi Using, di dalamnya ada pelatihan mocoan dan menembang,” pungkasnya.
Venedio Nala Ardisa, salah satu lare Using yang ditemui secara virtual melalui Google Meet pada 16 November 2020 mengungkapkan bahwa dirinya juga ikut terlibat dalam Mocoan Babat Tawangalun Milenial yang di dalamnya juga terdapat Wiwin Indiarti sebagai penggagas kegiatan.
“Saya juga bergabung dalam MBT milenial, di sana saya dan teman-teman khususnya lare Using diberi pelatihan mocoan dan menembang Lontar Yusuf, salah satu penggagasnya ya Miss Wiwin itu,” ungkapnya.
Dio, sapaan akrabnya, menanggapi tentang Tari Gandrung yang dimasukkan dalam Banyuwangi festival. Mengungkapkan rasa senangnya saat adat itu bisa diperkenalkan kepada khalayak ramai. Namun, tidak begitu setuju jika hanya sekadar dipergunakan untuk petunjukan saja.
“Gandrung dimasukkan dalam Banyuwangi festival secara positif itu adalah suatu hal yang baik, bisa mengenalkan kepada khalayak ramai. Namun, secara negatifnya jangan sampai adat itu hanya sekedar dijadikan pertunjukan saja,” sahut Dio.
Dio juga berharap kebudayaan Using tetap harus dilestarikan terutama para lare Using sendiri. Karena tonggak kebudayaan yang melestarikan adalah dirinya dan juga lare Using lainnya.
“Ya saya berharap tradisi-tradisi kebudayaan yang ada di Using ini dapat tersampaikan dengan baik kepada para lare Using, saya dan teman-teman itu sebagai tonggak penerus lestarinya kebudayaan dan tradisi di Using ini,” harap Dio.
Jadi seperti yang disampaikan Mbok Wiwin, bahwa perlunya usaha untuk merawat kebudayaan. Mengenalkannya di khalayak ramai dengan lazim tanpa menghilangkan makna filosofi di dalamnya. Peran pemerintah, masyarakat, dan para anak muda adalah upaya konkret dalam merawat roh kebudayaan di Banyuwangi.
“Kebudayaan itu dirawat, diperkenalkan boleh asal tidak menghilangkan makna filosofinya. Peran pemerintah, masyarakat dan para pemuda juga jadi usaha merawat roh kebudayaan di Banyuwangi,” tutupnya.
*
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.(