Oleh : Hasyim Asnawi*
Ungkapan don’t judge the book from the cover sering kita dengar bahkan berulang kali terlebih ketika membahas hal yang berkaitan dengan orang lain. Ungkapan yang bermakna jangan menilai seseorang dari penampilan atau luarnya saja, tetapi nilailah orang tersebut dari kelakuan atau esamee orang tersebut. Hal ini memang mudah diucapkan dan dikatakan kepada orang lain, namun apakah kita sendiri telah melakukannya, atau jangan-jangan malah kita abai dan melupakan hal tersebut.
Bukan hal yang jarang ditemui bahwasanya masyarakat Indonesia ataupun masyarakat dunia lebih menghargai orang-orang berpenampilan menarik daripada orang yang berpenampilan biasa saja. Hal ini dapat terlihat dari pelbagai aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan, ekonomi, pendidikan, dan kehidupan sosial sekalipun. Dalam ruang lingkup yang lebih sempit, dapat kita temui dalam bergaul dan berorganisasi.
Misalnya ketika berdiskusi atau sedang bercengkerama, orang-orang yang terlihat goodlooking akan lebih mudah mendapatkan perhatian dari orang lain. Halnya ketika menyampaikan pendapat, mengajukan pertanyaan, atau menanggapi hal yang sedang dibicarakan, mereka lebih mudah mendapat atensi atau perhatian dari lawan bicaranya.
Begitu juga dalam hal pekerjaan atau bidang lain. Pasti kita sering melihat lowongan pekerjaan yang mempersyaratkan pendaftarnya berpenampilan menarik atau goodlooking. Pekerjaan seperti marketing, public relation, customer service, front liner, yang lebih mengedepankan penampilan akan mudah dimasuki orang-orang yang berpenampilan goodlooking. Tidak hanya itu, kesalahan-kesalahan yang mungkin saja diperbuat oleh orang-orang tersebut dapat lebih mudah dimaklumi atau dimaafkan hanya karena penampilan fisik mereka.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa mereka yang goodlooking mempunyai keistimewaan dalam hal ini dari segi fisik sehingga selalu mendapat prioritas dan diutamakan. Secara manusiawi semua orang lebih suka mereka yang goodlooking karena berparas cantik/tampan, enak dipandang, dan tidak membosankan sehingga tidak jarang selalu menjadi pusat perhatian.
Berbeda dengan orang-orang yang berpenampilan biasa-biasa saja. Meskipun memiliki esamee yang baik belum tentu mereka mendapat penilaian dan perlakuan yang sepadan dengan esamee-nya dari orang lain. Sebagai perbandingan, masih ingat lagu “Aku bukan bonekamu” yang dipopulerkan oleh Rahmawati Kekeyi Cantika Putri yang sempat tranding di Youtube dan telah ditonton lebih dari 24 Juta orang? Kekeyi, sapaan akrab Rahmawati ini mendapat cibiran dan dari jutaan warganet bukan hanya karena lagu yang dinyanyikannya itu plagiasi dari lagu “Aku Bukan Boneka” milik Rinni Wulandari, tetapi juga dari videonya tersebut yang dianggap menjijikkan dan tidak bermutu oleh netizen. Padahal, tidak ada salahnya membuat konten tersebut, jika tidak suka cukup ditanggapi dengan esame dan tidak perlu menonton ataupun membahasnya.
Lain halnya dengan kasus Adhisty Zara, artis pemeran film dua garis biru yang mendapat sorotan dari warganet. Melansir dari Tribunnews.com, namanya mencuat gara-gara video mesra dirinya dengan kekasihnya Adi Pohan karena tangan kekasihnya memegang dada Zara. Video ini pun heboh dan menjadi tranding di Twitter, meskipun selang beberapa saat Zara langsung menghapus video tersebut dan menutup semua akun sosmednya.
Meskipun begitu, masih banyak warganet dan juga kalangan artis membela dan mendukung Zara karena selain dia artis, juga berparas cantik. Hal ini menunjukkan realita saat ini bahwa penampilan goodlooking masih saja dibela dan diprioritaskan meskipun melakukan kesalahan yang tidak bisa dianggap kecil. Hal ini berarti dan konteks adil di Indonesia masih bergantung pada siapa yang bersalah, bukan apa kesalahan yang diperbuat. Lantas mau sampai kapan hal ini terus dibiarkan?
Minim empati
Dalam kehidupan kita akan menganggap ini sebagai hal yang lumrah. Hal yang manusiawi bahwa orang goodlooking selalu mendapat tempat khusus dan disukai banyak orang. Hal ini juga yang membuat kita seolah-olah hanya berempati pada mereka yang goodlooking.
Padahal dalam berempati atau pun berbaur dengan masyarakat kita tidak boleh demikian. Sudah selayaknya kita menghargai siapa saja tanpa memandang fisik atau penampilan. Minimnya empati masyarakat yang justru membuat kesalahan kecil dibesar-besarkan dan kesalahan besar dikecil-kecilkan. Hal ini tentunya harus diperhatikan sedari sekarang. Jangan sampai toleransi menjadi salah kaprah hanya karena ditujukan kepada orang-orang goodlooking saja. Jangan sampai sila kelima Pancasila diubah menjadi ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang goodlooking’.
Sejatinya toleransi dan sikap saling menghargai ini dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan manusia tanpa memandang fisik, suku, ras, agama, dan sebagainya. Namun, dalam kenyataannya, tak sedikit yang bersikap toleransi tetapi masih dengan memandang aspek fisiknya. Sehingga menjadi penting bagi kita untuk memahami toleransi dan bagaimana seharusnya kita bersikap.
Pada dasarnya yang terpenting dari itu semua adalah attitude seseorang. Tidak masalah tidak berpenampilan menarik, memiliki tampang yang biasa-biasa saja namun selalu menghargai orang lain dan menjaga perilaku kita dalam bermasyarakat. Dengan saling mengingatkan dan saling menghargai, semoga dapat sedikit meningkatkan rasa empati kita terhadap esame, sehingga, meminimalisir timbulnya pertikaian karena beda pendapat atau yang lainnya, dan kesalahan-kesalahan sebelumnya tidak terulang kembali. Yang paling penting, semoga kita bisa merubah mindset kita bahwa kita harus mengedepankan attitude daripada penampilan.
*Penulis adalah mahasiswa semester 7 PIAUD IAIN
Kudus