Judul Buku : Selamat Tinggal
Penulis :
Tere Liye
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Kedua, November 2020
Tebal :
350 halaman
ISBN :
9786020647812
Resensator :
Nonik Nurhanifah*
“Tulislah sesuatu yang harus dibaca banyak orang, bukan yang
ingin dibaca orang banyak”. Menulis
tidak hanya ingin mendapatkan uang banyak atau mempertontonkan kehebatan
melainkan menulis untuk menebarkan manfaat pengetahuan tentang suatu hal. Pesan
itulah yang tersampaikan dalam buku berjudul “Selamat Tinggal” yang ditulis
oleh Tere Liye.
Melalui dinamika kisah mahasiswa yang bernama Sintong
Tinggal, Tere Liye menggambarkan maraknya buku bajakan sebagai masalah serius
yang ada di negara Indonesia. Dikutip dari berita VOA Indonesia bahwa Indonesia
masuk 10 besar kasus pembajakan. Kasus pembajakan karya memang sangat merugikan
banyak pihak mulai dari pencipta, pemerintah, dan konsumen. Padahal, hakikatnya
setiap karya telah dilindungi oleh Undang-undang tentang Hak Cipta.
Sintong Tinggal memang tak memiliki pilihan lain, jalan satu-satunya agar ia tetap bisa membiayai ongkos kuliah yakni dengan menjaga toko buku bajakan milik pamannya, Maman. Ditemani Slamet, Sintong menjaga toko buku yang diberi nama Toko Berkah. Meskipun isinya semua buku bajakan, pemberian nama tersebut terselipkan doa semoga bisa membawa keberkahan. Letaknya yang strategis membuat Toko Berkah selalu ramai dikunjungi mahasiswa yang sekadar mampir atau membeli buku bajakan.
“Ini buku bajakan. Semua bajakan. Oleh sebab itu, setiap bulan biasanya ada petugas berseragam yang datang minta jatah. Upeti. Kadang permintaan mereka normal, lancar, kadang mereka bertingkah. Nanti Slamet yang akan menjelaskan, lama-lama kamu akan paham,” kata Pak Maman kepada keponakanya itu. (hal. 22)
Kemajuan teknologi yang semakin pesat dan kemudahan dalam
bertransaksi menjadi keuntungan tersendiri bagi si penjual buku bajakan. Fitur marketplace
banyak menjual buku bajakan yang terjual tanpa disaring terlebih dahulu. Jika
buku bajakan telah menguasai pasar online akan sangat merugikan buku yang
orisinal.
Sebagai pembeli buku harus lebih bijak dalam membeli tidak
hanya menginginkan harga murah yang penting dapat. Tetapi memikirkan nasib
penulis buku juga. Tidak mendapatkan hasil royalti, ide pikiran sudah terkuras
habis. Sebaliknya, tetapi penjual buku bajakan melimpah ruah hanya sekadar
menjualnya saja. Demikian disiratkan Tere Liye dalam kutipan obrolan Istri
Maman
“Alaaah, pemilik yunikon-yunikon itu kan yang penting bisnis
mereka ramai. Semakin banyak yang jualan, semakin besar transaksi mereka, nilai
perusahaan mereka semakin tinggi. Tutup mata saja mereka, mau isinya bajakan,
atau aspal. Di depan ngomong melarang, di belakang membiarkan saja”. (hal. 63)
Skripsi dan Buku Bajakan
Rentetan cerita menjadi mahasiswa tingkat akhir setiap
individu berbeda-beda. Perjuangan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi
harus dilewati. Ada mahasiswa yang ingin segera lulus ada pula yang betah
berlama-lama berstatus “mahasiswa”. Banyak kendala yang dialami mahasiswa
tingkat akhir, bisa berupa kemalasan, belum punya niatan, mentoknya pikiran,
dan sulitnya bertemu dosen.
Lain halnya dengan Sintong Tinggal yang menjadi mahasiswa
selama enam tahun dan hampir di DO (Drop Out). Pada semester awal, Sintong
adalah mahasiswa yang aktif dalam perkuliahan dan organisasi. Ia pernah menulis
di koran nasional. Dosen pun mengagumi kehebatannya. Ketika memasuki semester
akhir, Sintong tidak segera mengerjakan skripsinya karena kekasih yang
dicintainya telah menikah, yang menyebabkan Sintong patah hati.
“Apa susahnya
menyelesaikan skripsimu, Sintong. Itu bukan seperti memindahkan gunung. Atau
mengeringkan lautan. Itu cuma skripsi. Ada ratusan juta orang di muka bumi yang
pernah menyelesaikan menulis skripsi. Itu artinya pekerjaan biasa. Kamu nulis
setiap hari, lama-lama selesai juga. Ini hampir dua tahun, skripsimu bahkan tidak
maju-maju satu halaman pun,” kata Dekan Fakultas Sastra (hal. 23)
Buku ini hadir tak sekadar hanya membahas tentang buku
bajakan yang marak di pasaran. Namun juga sebagai semangat dan prinsip hidup.
Sutan Pane adalah penulis besar yang menjunjung keyakinan dalam dirinya dan skripsi.
Tak goyah meskipun badai besar menghadangnya. Seorang penulis netral, berani,
dengan prinsip terbaik. Semangat menulis Sutan Pane patut dicontoh. Meskipun
banyak yang belum kenal, ia adalah penulis produktif di tahun 1960-an dengan
pemikiran menarik, tajam, dan penuh inspirasi.
Seperti penawar obat ketika sakit, Sutan Pane memberikan
solusi untuk hadap masalah negeri ini. Nasehat untuk seluruh penerus bangsa.
Sepenggal kata tersusun rapi nan elok. “Kita tidak pernah sempurna. Kita
mungkin punya keburukan, melakukan kesalahan, bahkan berbuat jahat kepada orang
lain. tapi beruntunglah yang mau berubah. Berjanji tidak melakukannya lagi,
memperbaiki, dan menebus kesalahan tersebut. berani mengucapkan “Selamat
Tinggal”. (hal. 350)
Buku ini menjadi boomerang bagi setiap pembacanya,
menjadi sindirin yang pelik para pembaca buku bajakan, dan menjadi refleksi
untuk kedepannya. Jadilah pembeli yang cerdas dan berhenti melakukan keburukan.
Kasus pembajakan buku pula menjadi PR untuk kita semua karena jika tidak segera
tertangani maka banyak penulis yang enggan menulis lagi.
Akibatnya sangat luar biasa karena kita tidak bisa
mendapatkan ilmu dari tulisan-tulisan mereka. Mulailah dari diri sendiri untuk
tidak membeli buku bajakan sekaligus menyelamatkan industri buku di negeri ini.
Bermodalkan membeli buku bajakan bisa menyelamatkan mahasiswa dari kemarahan
dosen, menghemat uang saku, dan membantu dalam penulisan tugas akhir.
*Penulis
adalah mahasiswa PGMI IAIN
Kudus