Seakan baru kemarin, angin bertiup sangat kencang meratakan pepohonan dan rumah bergelimpang di tanah. Memusnahkan di setiap sudut altar kenangan. Orang bilang rumah adalah bukanlah sekedar tempat tinggal, bukan melindungi hujan panas tanggal. Benar saja sebelum terwujud manusia, rumah itu masih kokoh menaungi leluhur. Hanya rumah using, bangunanya kini telah roboh, hantaman angin menerpa rumah itu tanpa kasihan. Menghampar sama halnya tanah biasa dengan gundukan rerutuhan kayu dan bata. Barang berharga dan tidaknya terlihat sama saja, waktu tidak menyisakan beberapa menit kesempatan selamatkan yang berharga di hidup kami.
Rumah usang dengan susunan
kayu jati dan ukiran, titah mewarisi dengan penjagaan sepenuh hati dari leluhur
hanya iangan belaka. Rasa sesal, telah gagal menjaga kepingan kisah di
dalamnya. Setidaknya ada setitik terima kasih kepada Sang Maha Kuasa, ayah
kehilangan salah satu kakinya dari semua angggoa tubhnya. Di sela kehimpitan,
Nurani mengajak berdebat dan akhirnya mengakui anugerah-Nya. Terima kasih
kuucap,bukan proses mudah, nenek kakek seakan mengetahui kejadian ini, hingga
sejak di pangkuan ibu, kalimat thoyibah terus mengiang di telinga. Mematri ke
hati dan mewujud di tingkah. Bahkan sebelum kakek mengembuskan napas terakhir,
kira-kira satu bulan lalu, ia mendongeng tentang betapa luar biasanya nikmat
sampai tidak ada kesempatan untuk mengkufurnya. Teringat dalam sebuah hadis
riwayat Bukhori dan Muslim,
“Pandanglah orang yang
stratanya berada dibawahnya dan janganlah kau pandang orang yang stratanya
berada diatasmu. Hal yang demikian itu lebih pantas agar engkau tak meremehkan
nikmat Allah kepadamu.” Atau dimata lain, kakek tidak mengartikan musibah
sebagai nestapa, tapi belajaran berharga.
Dalam al qur’an sudah
disebutkan bahwa “ Saat ditimpa musibah, niscaya ucapkanlah innalillahi wa
inna ilaihi roji’un.’" Sederhana, dengan mengucap istirja’ tanda pasrah bukan
kaleng-kaleng.
Lidaku tak lagi kelu, mataku tak lagi sayu, hatiku tak lagi
layu. Ayah ibu masih menemani di jalan hidupku. Sontak sangat bahagia bukan?
Leluhurku menitipkan pesan. Pesan hidup yang lebih berharga dari segalanya.
Ayah ibu dan aku diungsikan tetangga ke rumah pak dhe, masih satu rumpun desa.
Kursi ranjang itu masih
tersisa di teras reruntuhan tadi, kami bersepakat mengambil sisa barang yang
masih bisa diselamatkan pasca reruntuhan kemarin. Beralaskan sandal jepit, ayah
memandang kami bertiga- ibu, aku, dan Pak Dhe.
Pikirku akan selamatkan ijazah dan buku kesukaanku, tapi sepertinya aku
memindahkan haluanku sesaat memandang foto kakek nenek tak tersentuh reruntuhan
bangunan sedikitpun.
“Kakek nenek,” batinku.
Ku ambil sisa foto tadi dan
meletakkan di kardus yang telah ibu persiapkan.
Ku pandangi ayah, wajahnya sumringah, tapi tidak dengan mata. Matanya
mengisyaratkan semuanya, bahwa ia sangat terpukul dengan kondisinya sekarang.
Netranya memutar ke setiap sudut rumah itu. Ku biarkan ayah memandangi setiap
jejak yang ada. Lalu ku menuju pandangan ibu, ia masih sibuk tepatnya mencari bukan
mengambil apa yang ada.
“Ibu… sedang mencari apa?”
“Tidak apa-apa Nak,”
jawabnya tak senada dengan netranya, ia teliti melihat apa yang dilintasi. Lalu
tak selang kemudian ia mengatakan “Alhamdulilah masih utuh." Ingin tahuku
merasuki dadaku, ku menghadap ke arah ibu yang sebelumnya di belakang
punggungnya.
“Apa Bu?”
Ibu seakan
memang tiada ada niat memberitahuku, terpaksa aku menurutinya. Namun bukan
berarti aku diam, berpasrah dengan ketidaktahuanku. Ku cba menyelinap di kamar
ibu dulu dan mencari perkakas sejarah. Ku sibak reruntuhan dengan alat bantu
cangkul dan ku gali sampai kedalaman kurang lebih satu meter, terbungkus rapi
di amplop biru ada dan kubuka ternyata ada foto sosok perempuan memakai kemeja
putih dan stetoskop melingkar di lehernya yang dilumuri tanah. Tanpa berpikir lama kusimpan di saku baju,
entah kapan ada kesempatan bisa mengetahui segalanya.
Selang beberapa jam
berjibaku mengais sisa kenangan di reruntuhan itu, kami beristirahat di teras
tampak Bu dhe sudah menyiapkan makan siang untuk kami, tapi diriku masih
berontak ada apa gerangan?
Selepas makan siang,
berhadap-hadapan dengan ibu, kutanyakan kembali, belum saja sampai aku bicara
ibu sudah maksud gerak gerikku, ia memintaku mengantar ayah pulang untuk
istirahat di rumah pak dhe. Aku hanya bisa mengiyakan.
Kini rumah sebesar kapal
serasa sempit ayah sedng beristirahat di kamar, sedang aku masih diam seribu
Bahasa dengan seribu pertanyaan.
Gundahku sangat ingin kuketahui, selama ini ibu hidup dengan penuh tanda
tanya, ia terkadang sibuk bak pegawai negeri bahkan di hari libur, atau
sebaliknya, sekadar mengurus rumah di hari sibuk.
Ibu tidak membiarkan aku
tahu apa yang ia jalani. Ku tanyakan kepada ayah rasanya tidak mungkin. Kondisi
kehilangan salah anggota tubuh tidak bisa kuberikan gadi luka itu dengan
pertanyaan. Setelah lamunanku buyar, ibu menyapaku.
“Sedang apa Nak?”
“Memikirkan Ibu… eh.”
Kututup mulutku.
“Untuk apa?”
“Jawaban.”
Ibu bergeming, dan memintaku menatapnya dengan lamat.
“Sudah saatnya ibu cerita
Nak."
“Sebelum
menikah dengan ayah, dokter menjadi karir
dan pengabdian Ibu dengan memiliki klinik gratis di seberang desa. Dulu Ibu yang mengelolanya sebagai dokter umum disana. Kamu
mungkin tidak lupa banyak yang mengucapkan terima kasih kepadaku. Semenjak ibu menikah dengan ayah, kakek dan nenek
memintaku
fokus ke urusan rumah tangga. Ibu hanya menerima Nak, karena cintaku pada ayah juga keluarganya. Ibu lepaskan semua karirku sebagai dokter, sebab tidak ingin kamu membenci siapapun. Tapi kini sudah
saatnya kamu tahu.”
Melihatnya kembali menunduk, aku memutar kembali memori itu. Saat usiaku
beranjak remaja duduk di bangku SMP aku kerap kali mendengar untaian terima
kasih. Pernah seorang nenek datang ke rumah kuno itu, ia membawa buah tangan
kue brownis sebagai pertanda syukur atas bantuan klinik ibu.
Tampak di ruang tamu kursi panjang kayu jati diduduki
ayah dan ibu serta nenek itu. Aku mengintip dari dinding kayu lain. Namun,
selepas nenek pulang, kakekku beringsut kepada ayah ibu, dan bertanya keduanya.
Aku yang tidak sempat mendengar dan melihat karena nenekku mengajak diriku
keluar rumah untuk
membeli gula di
warung sebelah. "Apa benar waktu itu kakek marah?" batinku.
Aku tidak
percaya kalau kakek berbuat demikian, aku menampik dan menggelengkan kepalaku
sampai ibu menegurku.
"Kenapa Nak?"
Aku hanya menatap bingung,
bukankah dokter profesi yang baik? Kenapa kakek melarangnya? Aku hanya bisa
membisik diriku sendiri, dirasa tidak kuat menahan, aku terus mengungkapkan
“Kenapa kakek melarang
Bu?”
“Tempat kerja ibu harus
lepas hijab, tapi… ibu
tetap mencuri waktu untuk menunjang klinik gratis itu Nak. Maka dari itu, aku menerima praktik disana setiap hari ahad. Maafkanlah Nak, ibu telah bohong kepada kalian semua. Ibu
sebenarnya tidak tega, tapi dada ini terasa sesak.”
Sadarku baru menyergapku. Inikah
alasannya kakek mendidik agama sangat kental agar aku bisa mewujudkan apa yang
menjadi titahnya. Berat sekali. Apa daya, rumah yang menjadi sekolah agama bagi
jiwa haus ilmu sudah runtuh. Menepis untuk tidak memperjuangkan kakek juga
bukan hal yang baik. Setidaknya ajaran kakek tetap mematri di lubuk hati dan
kembali menggema saat tiba waktunya.
Gelombang air mata kian
mengombak di tepi mata indahnya. Isak tangis tak terbendung, segera kutadahkan
tangan menyambut bulliran. Sesak dada menghinggap selama belasan tahun, kini
buncah di altar kejujuran. Ibu menyimpan segala lara dan duka seorang diri, ayah hanya memanggut tidak berkutik disaat kakek menyabdakan diri akan keputusannya.
Siapa yang bertahan sejauh itu?
Seakan mengiyakan selama
ini, kakek menaruh harap untuk mengemban amanah besar. Ibu menceritakan
seketika kakek mengetahui tentang karirnya di dunia kedokteran, berbagai alasan ibu berikan untk
meyakinkan kakek bahwa ini perjuangan mulia, mengentaskan masalah ksehatan pada
rakyat jelata, kakek tetap memakai baju besi sama seperti pendiriannya tidak
bisa ditembus oleh senjata apapun. Bahkan kewajiban muslimah ibu lakukan, tetap saja tidak bisa mengubah keridoan kakek.
Aku hanya berpangku bimbang,
kakek menaruh
harap yang belum sempat ditunaikan ibu, tapi aku juga tidak bisa dililit amanah
tanpa berbuat apapun
kecuali menjadi
ustazah
dan pelengkapan yang menyertainya.
“Ibu jangan merasa bersalah seperti itu, aku paham maksudmu."
Sergap, muka ibu tercampak bingar, perasaanya telah
kalut dengan kebencian anak terhadap dirinya, justru dukungan anak
menggamangkan gundahnya selama ini.
“Kamu tidak benci pada ibumu nak?”
Aku hanya
menggelengkan kepala tanpa sepatah kata terucap di bibirku.
Kursi kayu dan sepiring
kentang goreng mengguyurkan diri dalam kedinginan. Lalu aku tunjukkan foto yang
kutemukan tadi kepada ibu. Ibu menatap sendu, dan memancarkan senyum tipis
padaku. Bergeming. Sajak boleh saja tidak seirama dengan syair, aku? Anak
seorang pejuang, masih bolehkah tidak meniti perjuangan ibunya?
Di
masa seperti ini, hidup menumpang di rumah saudara sekali pun, menumpang adalah
bukan memiliki. Aku tetap memperjuangkan
perjuangan ibu yang tidak bisa maksimal. Klinik itu harus tetap berjalan, meskipun
tidak dengan menjadi dokter, tapi menjadi bagian donatur. Ibu sudah memulai
tinggal diri yang melanjutkan. Tidak boleh dilupa, juang kakek
tetap membara di sanubariku.