Buku Lisanul Hal; Kisah-Kisah Teladan dan Kearifan
Identitas Buku
Judul
Buku : Lisanul Hal;
Kisah-Kisah Teladan dan Kearifan
Penulis : K.H.
Husein Muhammad
Penerbit : PT Qaf Media Kreativa
Cetakan : Pertama, 2020
Tebal
Buku :
235 halaman
ISBN : 978-602-5547-75-1
Menjadi pemimpin bukanlah suatu
pilihan. Meskipun tidak memilih kita tetap akan menjadi pemimpin walaupun dalam lingkup kecil, seperti pemimpin
keluarga atau lebih mengerucut lagi pemimpin bagi diri kita sendiri. Jangan
kira pemimpin ialah mereka yang
hanya berprofesi sebagai presiden atau yang duduk di kursi parlemen. Lebih luas
lagi kita semua adalah pemimpin baik bagi orang yang berada di sekitar kita,
keluarga, bahkan diri kita sendiri. Karena setiap kita adalah pemimpin di
lingkup masing-masing, maka kita butuh figur para pemimpin dan tokoh-tokoh
penting dalam dunia Islam dari beragam latar belakang lintas dunia dan lintas
masa.
Maka terbitlah buku dengan judul
“Lisanul Hal; Kisah-Kisah Teladan dan Kearifan” ini sebagai media bagi kita
untuk menjadi pemimpin yang ideal. Buah tangan K.H. Husein Muhammad ini
memaparkan keteladanan-keteladanan para
pemimpin terdahulu sejak Nabi Muhammad saw, khulafaur rasyidin, hingga generasi
setelahnya. Najib Mahfuzh, peraih nobel sastra dari Mesir, mengatakan bahwa
keteladanan memiliki pengaruh yang besar dan sangat menentukan bagi kemajuan
dan kemunduran suatu bangsa. (hlm. 8)
Jika
melihat dari keseluruhan kisah yang tersaji dalam buku ini, maka dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa tema, yaitu kepemimpinan, toleransi, asketisme
(zuhud), cinta ilmu pengetahuan, dan keterbukaan pikiran serta penyamarataan di
depan hokum.
Ketika
membaca buku ini, pada bagian awal kita akan disuguhkan dengan bentuk-bentuk
keteladanan Nabi Muhammad saw.
Semasa hidupnya, beliau
adalah sosok pemimpin yang baik hati, jujur, dan dapat dipercaya. Nabi juga
dikenal sebagai sosok yang memiliki sikap yang lembut serta keterbukaan
pikiran. Dengan sifat-sifat itulah Nabi Muhammad mampu meluluhkan hati orang
yang membencinya, Bahkan
orang yang sangat benci dan dendam kesumat bertekuk lutut dan menangis
tersedu-sedu di hadapan beliau karena telah berbuat kasar kepada Nabi.
Nabi Muhammad menjadi sosok yang begitu dirindukan
kehadirannya oleh setiap orang, lebih-lebih ketika beliau wafat. Maka
tak heran jika Husein Haikal dalam bukunya yang sangat terkenal “Hayat
Muhammad” mengatakan bahwa “Nabi bukanlah manusia yang mengenal permusuhan atau
yang akan membangkitkan permusuhan di kalangan umat manusia. Dia bukan seorang
tiran, dan tidak mau menunjukkan sebagai orang yang berkuasa. Tuhan telah
memberinya kemampuan mengalahkan musuhnya, tetapi dia justru memberi mereka
pengampunan. Dengan begitu, beliau telah memberikan keteladanan luar biasa
kepada seluruh dunia dan semua generasi manusia tentang kebaikan, kesetiaannya
dalam janji dan kebesaran jiwa yang belum pernah dicapai oleh siapapun.” (hlm. 38)
Mungkin,
setelah membaca keseluruhan kisah dalam
buku ini, dalam pikiran kita muncul pertanyaan, apakah hikmah yang dapat kita
ambil dari kisah teladan Nabi dalam buku ini, sedangkan kita hidup sangat jauh
dari kehidupan beliau?
Kisah-kisah
keteladanan Nabi Muhammad dan para sahabatnya hingga ulama yang berdedikasi
dalam kebersehajaan semasa hidup yang jauh setelah wafatnya khatamunnabiyyin, keseluruhannya masih
relevan dengan situasi bangsa kita saat ini, yang belum sepenuhnya berhasil
keluar dari krisis kebudayaan (untuk menyebut lebih dari sekadar krisis ekonimi
). Barang kali terjadinya krisis multisisi tersebut dikarenakan oleh
pemimpinnya. Karena pemimpinlah yang menentukan arah dan mau dibawa kemana
Negeri ini. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan al-Ghazali dalam
kitabnya al-Tibr al-Masbuk Fi Nashihah
al-Muluk bahwa “ Kebaikan rakyat
adalah karena baiknya kepribadian pemimpinnya, kelakuan rakyat adalah akibat dari
kelakuan para pemimpinnya dan manusia (rakyat) mengikuti kelakuan para
pemimpinnya.”
Kata-kata bijak di atas ingin
menegaskan bahwa baik dan buruknya masyarakat, sejahtera atau tidaknya
kehidupan sosial, sangat ditentukan oleh perilaku dan keteladanan para
pemimpinnya. Jika pemimpinnya
baik, jujur, rendah hati, dan adil maka rakyatnya juga akan mengikutinya. (hlm. 7)
Pada kenyataannya, kita melihat banyak pejabat
Negara yang terlibat kasus korupsi,
baik pejabat tertinggi sampai pejabat yang terendah sekalipun. Ditambah lagi
keluarga pejabat dan orang-orang yang selalu berfoya-foya kerap kita saksikan
di tengah kemiskinan di tengah masyarakat. Belum lagi pandemi
korona yang melanda seluruh dunia semakin
membuat resah seluruh masyarakat. Semua ini memperlihatkan potret buram
kepemimpinan di banyak Negara, tak terkecuali di Indonesia.
Mari kita lihat potret kepemimpinan
khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai pemimpin yang adil dan jujur.
Ia tidak setuju dengan tindakan korupsi yang dilakukan para pejabat Negara,
maka khalifah Umar tidak segan-segan memecat sejumlah pejabat Negara yang korup
dan bertindak otoriter. Ini membuktikan keseriusannya membersihkan negaranya
dari tradisi korupsi para pejabat. Tetapi, satu hal yang paling dikhawatirkan
Sang khalifah adalah
tuntutan istrinya mengikuti tradisi para istri pejabat sebelumnya; mengumpulkan
kekayaan sebanyak-banyaknya seperti kebiasaan para istri atau anak-anak raja
dan pejabat tinggi Negara sebelumnya. Namun ia tak peduli. Keadilan bagi rakyat
harus ditegakkan dan ini harus dimulai dari keluarganya sendiri (hlm. 63). Begitulah, untuk
memulai sesuatu yang baik memang harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga. (hlm. 64)
Dalam hal kesamarataan hukum, kita
bisa mengambil keteladanan khalifah Umar bin Khattab yang menghukum anak
seorang gubernur Mesir yaitu Amr bin Ash lantaran memukul seorang petani
miskin. Khalifah Umar ingin mengajarkan kepada kita beberapa hal, pertama, kemerdekaan
atau kebebasan adalah hak dasar manusia yang tidak seorang pun berhak
menghilangkannya atau merampasnya. Tuhanlah yang memberikannya. Merampas hak
dasar ini sama dengan menentang hak Tuhan. Kedua, Umar juga ingin memperlihatkan
kepada dunia bahwa semua manusia memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Ketiga,
Umar, pemimpin besar bagi berjuta-juta rakyat itu ingin memenuhi seruan
Tuhannya untuk bertindak adil. Keempat, Umar ingin mengikuti jejak Nabi
Muhammad saw. (hlm. 207)
Walaupun secara garis besar buku ini
menghadirkan topik
perihal kepemimpinan, namun ada beberapa cerita dari sosok ulama, sufi, dan
zahid yang bisa dinikmati sebagai bahan refleksi diri agar hidup ini lebih
bermakna.
Demikianlah kisah-kisah teladan dan
kearifan yang ditulis kembali oleh Kyai
Husein Muhammad dengan alasan, menunjukkan persoalan-persoalan fundamental
dalam penyelenggaraan republik ini.
Salah satunya, tidak adanya keteladanan dari pemimpin saat
ini. Sekali lagi, buku ini mengajak kita untuk menengok kembali ke masa silam
dengan pikiran jernih di mana suatu Negara dipimpin oleh individu-individu yang
melayani rakyatnya.
Seperti pepatah Arab “Imamul Qawm Khadimuhum” (pemimpin
masyarakat adalah pelayan mereka). Dan yang tak kalah penting, adalah menjadi
teladan bagi rakyat itu jauh lebih baik dari sekadar basa-basi tanpa memberikan
contoh yang baik, sebagaimana maksud di balik judul buku ini, Lisanul Hal. (*)
Penulis: Muhammad Rizal
Santri
PP. Annuqayah daerah Lubangsa Selatan sekaligus Mahasiswa Institut Ilmu
Keislaman Annuqayah