Foto: Istimewa |
Judul |
A‘MALUL QULUB [PEKERJAAN- PEKERJAAN HATI] |
Penulis |
Dr. Khalid Utsman al-Sabt Penulis Qawâ‘id al-Tafsîr |
ISBN |
978-602-5547-72-0 |
Halaman |
284 halaman |
Cetakan |
I, April 2020 |
Allah
SWT telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang
paling mulia diantara para makhluk-Nya. Dikatakan
sebagai manusia, menurut ilmu mantiq, sering menyebutnya dengan 'al insanu
huwa al -hayawanu an naatiqun (manusia merupakan hewan yang berakal).
Penamaan ini menunjukkan implikasi terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk
yang memiliki kelebihan. Kelebihan manusia ini mencakup
pada sempurnanya jasmani dan kebersihan
rohani. Manifestasi
dari kebersihan rohani terletak pada
hati, yang dengannya seseorang dapat
diketahui apakah termasuk orang yang baik atau sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW. ”Ingatlah, dalam tubuh itu ada mudhghah
(segumpal daging). Jika daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun,
jika daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Segumpal daging yang
dimaksud adalah hati.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dalam redaksi hadis yang
lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada sebuah
organ. Jika ia baik, maka seluruh amalnya akan baik. Jika ia rusak, maka
seluruh amalnya juga akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati (HR.Ahmad).”
Bahkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental yaitu
Ihya’ Ulumuddin,
mengemukakan perihal kondisi hati. Setidaknya ada tiga
macam kondisi hati manusia,
diantaranya: Pertama, hati yang shahih (sehat) yang bisa menjadi
salim (selamat), ini yang dijanjikan akan dapat bertemu Allah. Kedua,
hati yang maridh (sakit), yang di dalamnya ada iman, ibadah, pahala,
tetapi juga ada kemaksiatan dan dosa-dosa, kecil ataupun besar. Ketiga,
hati yang mayyit (mati), yang telah mengeras dan membatu karena
banyaknya dosa-dosa yang telah dilakukan sehingga menghalangi datangnya
petunjuk Allah.
Secara fisik, hati adalah segumpal
daging yang berbentuk bundar memanjang, terletak di tepi kiri dada. Di dalamnya
terdapat lubang-lubang yang terisi darah hitam. Fungsi hati
memiliki dua peranan penting. Pertama fungsi jasmani, hati
berfungsi sebagai penyimpan energi, pembentukan protein asam empedu, pengatur
metabolisme kolestrol dan penetral racun dalam tubuh. Kedua
fungsi rohani,
hati merupakan lathifah
rabbaniyah (substansi lembut yang
bersifat ketuhanan) yang punya hubungan erat dengan jantung sebagai organ
pineal yang bersifat fisikal, juga dengan otak dan sinyal-sinyal
sensorik, saraf serta hal-hal lainnya yang
hanya diketahui oleh Allah SWT.
Eksistensi hati
tidak hanya berfungsi tetapi juga memiliki peran penting
dalam kehidupan manusia setiap saat.
Lebih jauh, karena hati yang merasa, mengetahui, mengenal
segala hal dan sebagainya. Maka tak heran jika hati disebut-sebut sebagai
pemimpin atau pusat anggota tubuh (hlm.51). Hati memiliki kemampuan untuk
membedakan antara yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram, bahkan
sesuatu yang berada diantara keduanya, yaitu syubhat (tidak jelas). Hati
yang bisa melakukan itu semua adalah hati yang kondisinya baik dan dipenuhi
dengan keimanan kepada Allah SWT. Maka dari itu
hati harus ditata dan dihiasi dengan perilaku-perilaku yang terpuji.
Dampak mengatur dan menata hati
cukup signifikan. Alasannya, ketika hati sudah ditata dengan
baik maka hati akan siap untuk menghadapi dan menjalani berbagai keadaan yang
harus dihadapi. Sekejap, pemahaman tentang hati mengarahkan pada manusia itu baik atau tidak. Mengingat hati
juga memiliki potensi dasar yang mengandung dua kecenderungan, yaitu baik dan
buruk. Jika hati cenderung baik, maka seseorang akan baik, begitu juga
sebaliknya. Dalam mencapai kebaikan hati, manusia tidak bisa luput
dari yang namanya usaha menata hati. Cara membuat hati cenderung
pada kebaikan adalah seseorang harus
benar-benar mampu menata dan mengarahkannya pada kebaikan.
Setiap
hamba yang lahir memang diciptakan dan disesaki rasa mahabbah
kepada Allah, mengagungkan dan meng-Esakannya.
Namun, terkadang manusia sebagai ‘pemilik’ hati, ketika
dihamparkan kepadanya beragam pernak-pernik dunia, maka dia lekas menyimpang
dari jalan yang telah digariskan Allah. Hawa nafsu menjalar, menerkam setiap
fitrah penciptaan.
Memburu hawa
nafsu memang harus dihindari. Hal yang bisa mendukubg pasa kebaikan hati adalah
melakukan pekerjaan hati. Sama halnya dengan jasmani, hati
juga memiliki amalan atau perbuatan yang luhur bahkan mengungguli
perbuatan-perbuatan jasmani. Dan juga amalan hati dapat berimplikasi kepada
pahala dan dosa. Sebagaimana definisi dalam buku ini, amalan hati adalah
perbuatan yang tempatnya dalam hati dan selalu berkaitan dengan hati. Amalan
hati tidak dapat dilepaskan dari seorang hamba. Sebenarnya perbuatan hati dan
perbuatan badan tidak ada bedanya. Hanya saja perbuatan hati lebih mulia dan
lebih unggul (hlm.61), dan juga perbuatan-perbuatan hati itu adalah pokok atau
inti, sekaligus sesuatu yang diinginkan dan dituju. Sedangkan
perbuatan-perbuatan anggota tubuh adalah pengikut, penyempurna, dan
pelengkapnya. Maka sepantasnya bagi kita untuk memperhatikan dan memperbaiki
perbuatan hati kita, karena tidak ada yang sulit untuk diobati kacuali hati.
Imam al-Hasan al-Bashri pernah berpesan,”Obatilah hatimu, sebab yang
diperhatikan Allah dari para hamba-Nya adalah hati mereka. Sungguh Dia tidak
pernah melihat tubuh dan rupa kalian. Dia hanya melihat hati dan amal
kalian (hlm.27).”
Dalam hal memperhatikan perbuatan
hati, kondisi manusia terbagi tiga kelompok. Pertama, mereka yang hanya
fokus memperhatikan amalan hatinya, memperbaiki keadaan hatinya. Namun, mereka
berani meninggalkan amalan lahir bahkan mengabaikannya. Kedua, mereka
yang sibuk dengan amalan-amalan lahir, seperti puasa, shalat, dan sebagainya.
Namun, pada saat yang sama, mereka tidak mau memperbaiki hatinya. Tak heran
jika dalam hati mereka muncul rasa dendam dan dengki kepada orang lain. Ketiga,
mereka yang seimbang, artinya mereka memperhatikan amalan hati dan amalan lahir
(tubuh) secara adil. Tidak condong ke amalan hati juga tidak condong ke amalan
lahir (hlm.81). Dari pemaparan ini, kita harus menyeimbangi antara kebutuhan
amalan lahir sekaligus amalan hati. Kita tidak boleh condong kepada salah
satunya atau beranggapan kalau salah satu dari dua hal tersebut tidak penting.
Ini adalah persepsi yang salah dan keliru serta harus diluruskan sejak awal.
Inilah yang ingin dipaparkan penulis
kepada kita melalui buku ini mengenai perbuatan hati`dan aspek-aspek keunggulan
hati dibandingkan dengan amalan jasmani. Tapi penulis hanya membatasi
pembahasan amalan hati pada tiga macam, yaitu ikhlas, yakin dan khusyuk. Pada
bagian awal kita akan disuguhkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan hati,
mulai dari definisi hati, kedudukan hati, hal-hal yang dapat memperbaiki dan
merusak hati, dan lain sebagainya. Setelah itu, Dr. Khalid Utsman Sabt
memaparkan secara rinci mengenai tiga amalan hati yang telah disebutkan.
Dengan buku ini, kita dapat belajar
memperbaiki hati. Memperbaiki hati merupakan suatu hal yang penting untuk
dilakukan oleh setiap orang. Karena barangsiapa yang memperbaiki hatinya, maka
Allah Swt. akan memperbaiki jasmaninya. Sebaliknya, siapapun yang merusak
hatinya, secara tidak langsung Allah akan membuat buruk aspek lahirnya.
Kelebihan buku ini juga dapat memberikan pencerahan dan motivasi. Karena di
buku ini, Dr. Khalid Utsman banyak mengupas kata-kata mutiara yang kemudian
dilanjutkan dengan kisah-kisah para sahabat hingga para tabi’in yang kesemuanya
mengandung pelajaran berharga bagi kita.
Buku ini juga menggugah kesadaran
kita untuk memperbaiki amalan atau perbuatan hati kita. Karena kebanyakan
manusia, ada yang hanya memperhatikan dan mengutamakan perbuatan tubuhnya
secara dhahir. Terlebih dengan hati yang baik maka perbuatan lahir kita insyaallah
akan baik juga. Dari sinilah pentingnya kita memperhatikan, menata, dan
mengarahkan amalan-amalan hati kita masing-masing. Betapa menyesalnya orang
yang dalam hidupnya tidak pernah menyadari betapa pentingnya amalan hati
baginya. Dan betapa beruntungnya orang yang sepenuhnya sadar akan pentingnya
memperhatikan amalan hati yang perlu diimbangi dengan amalan (perbuatan)
jasmani. Wallahu a’lam bisshawab.
*Diresensi oleh M. Rizal, Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Semester II